Tuesday 22 October 2019

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017)
Otoritas Jasa Keuangan

BAB 1
Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate dan Financially Inclusive

BAB 2
Transformasi Masyarakat Indonesia Menuju Masyarakat yang Sejahtera

BAB 3
Pengaruh Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat terhadap Perluasan Akses Keuangan

BAB 4
Literasi dan Inklusi Keuangan Sektor Jasa Keuangan Syariah

BAB 5
Delivery Channel Produk dan Layanan Jasa Keuangan

BAB 6
Era Digital dalam Layanan Keuangan

BAB 7
Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia

BAB 8
Core Action Literasi dan Inklusi di Sektor Jasa Keuangan

Monday 20 May 2019

Kerangka Pemikiran Penelitian

2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Variabel pertama adalah konsumerisme, termasuk didalamnya pembahasan mengenai penyebab dan dampak konsumerisme pada masyarakat. Variabel kedua adalah pengelolaan keuangan personal (personal finance) dan variabel ketiga adalah manajemen harta Islami. Manajemen harta Islami digunakan untuk melengkapi pengelolaan keuangan personal dan keduanya membentuk solusi bagi permasalahan konsumerisme. Berikut bagan hubungan antar variabel dalam penelitian ini:

Kajian Literatur

2.3. Kajian Literatur

1. Roger Swagler (2005). Evolution and Applications of the Term Consumerism: Theme and Variations.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas sejarah dan aplikasi istilah konsumerisme yang memiliki dua jenis definisi yaitu: (1) konsumerisme dalam arti pergerakan (consumerist movement), dan (2) konsumerisme dalam arti gaya hidup yang didasarkan pada materialisme.
Persamaan: membahas konsumerisme.
Pengembangan: penelitian ini membahas konsumerisme dalam arti gaya hidup yang didasarkan pada materialisme.

2. Peter N. Stearns (2001). Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire.

Rangkuman: penelitian tersebut berusaha memahami konsumerisme sebagai: (1) suatu fenomena internasional, (2) dari sudut pandang sejarah, (3) agar dapat mengambil pelajaran dan menentukan sikap.
Persamaan: berusaha memahami fenomena konsumerisme agar dapat menemukan solusi.
Pengembangan: penelitian ini berusaha memahami fenomena konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan menentukan sikap berdasarkan konsep manajemen harta Islami.

Textbook by a professor of history, 161 halaman semua membahas tentang konsumerisme sebagai fenomena internasional dan fenomena sejarah. Membahas sejarah konsumerisme di dunia, diharapkan dengan mengerti sejarah dapat mengambil pelajaran dan menentukan sikap terhadap konsumerisme.

3. Alfitri (2007). Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas fenomena konsumerisme dari sudut pandang ilmu sosiologi. Budaya konsumerisme turut disebabkan karena adanya kekuatan media massa, dan ketersediaan fasilitas perbelanjaan modern. Konsumerisme menyebabkan perubahan pola pembelian produk, pengeluaran yang tidak terkelola dan tidak produktif, menyebabkan penurunan kualitas hidup dan menyebabkan kriminalitas serta dapat merusak kehidupan rumah tangga.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme di Indonesia.
Pengembangan: penelitian ini membahas fenomena konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan manajemen harta Islami.

Konsumerisme dalam ilmu sosiologi, menjelaskan penyebab dan dampak konsumerisme, tidak menawarkan solusi.

Consumerism culture affecting someone’s attitude to decide the purchase on one product, that obviously controlled by the power of mass media. The change of this consumerism culture is a logic consequences of living exposure that triggered by city environment that provide modern shopping facility. Consumerism culture create un-manage person in spending money, un-productive, and it only give a fake realization to the society. For a lower class society, this consumerism culture could trigger the decreasing of living quality and it can also create a criminal act and destroying a family living.

4. Liska, Marisa (2011). Konsumerisme sebagai Faktor Penarik Terjadinya Fenomena Enjokousai dalam Masyarakat Jepang Kontemporer.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas penyebab dan dampak konsumerisme di Jepang dari sudut pandang budaya.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme.
Pengembangan: penelitian ini membahas penyebab dan dampak konsumerisme di Indonesia, dan membahas konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan manajemen harta Islami.

5. Raaij, W. Fred van (1993). Postmodern Consumption.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas pola konsumsi era posmodern di dunia dari sudut pandang psikologi ekonomi.
Persamaan: membahas pola konsumsi era posmodern.
Pengembangan: penelitian ini membahas pola konsumsi dari sudut pandangan keuangan personal.

Jurnal economic psychology, menjelaskan pola konsumsi di era postmodern.
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/016748709390032G

6. Neuner, Michael, Gerhard Raab, Lucia A. Reisch (2004). Compulsive buying in maturing consumer societies: An empirical re-inquiry.

Rangkuman: sudut pandang penelitian tersebut adalah psikologi ekonomi yang membahas salah satu bagian dari konsumerisme. Bagian yang dibahas adalah pembelian berdasarkan dorongan sesaat (compulsive buying) di negara-negara dengan budaya konsumen yang telah matang seperti Jerman.
Persamaan: membahas fenomena konsumerisme.
Pengembangan: penelitian ini membahas konsumerisme di Indonesia dari sudut pandang keuangan personal.

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167487004000741

7. Zygmut Bauman (2005). Work, Consumerism and The New Poor: Second Edition.

Rangkuman: Bauman memandang konsumerisme dengan sudut pandang ilmu sosiologi. Konsumerisme dikaitkan dengan pergeseran nilai etika kerja menjadi budaya konsumsi sehingga memunculkan kemiskinan jenis baru, yang dianggap kaum miskin adalah orang yang tidak dapat melakukan konsumsi sesuai dengan standar masyarakat.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme.
Pengembangan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal, ditambah solusi atas permasalahan yang disebabkan dari konsumerisme.

professor sosiologi, textbook 136 halaman

8. Douglas Dowd (2009). Inequality and the Global Economic Crisis.

Rangkuman: penyebab konsumerisme dimulai dari perkembangan kapitalisme, globalisasi, dan perkembangan sektor keuangan, ideologi neo-liberal, dan inequality. Inequality atau ketidakmerataan ini terjadi pada pendapatan, kekayaan (wealth), dan kekuasaan (power). Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmerataan semakin meluas adalah budaya konsumerisme dan media yang membantu menyebarluaskannya.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme.
Pengembangan: membahas penyebab, dampak, dan solusi konsumerisme.

9. Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia.

Rangkuman: dengan adanya modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.
Persamaan: membahas penyebab konsumerisme di Indonesia.
Pengembangan: membahas dampak konsumerisme pada keuangan personal dan menawarkan solusi.

Jurusan desain komunikasi visual, fakultas seni dan desain. Membahas penyebab konsumerisme di Indonesia. Modernisasi yang memanfaatkan teknologi dan modal asing menyebabkan pergeseran nilai, termasuk konsumerisme. Nilai-nilai baru ini perlahan-lahan menggeser kebudayaan tradisional. Lebih

10. Kasser, Tim dan Allen D. Kanner. Ed.(2004). Psychology and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World.

Rangkuman: merupakan gabungan beberapa penelitian yang menjadi suatu pembahasan tentang budaya konsumen dari sudut pandang psikologi secara komprehensif. Diantara pembahasannya adalah: (1) permasalahan konsumerisme didasari oleh nilai-nilai materialistis dan bagaimana materialisme telah mempengaruhi kebahagiaan, (2) menawarkan solusi psikologis atas konsumsi berlebihan dengan kontrol diri, (3) komersialisasi kehidupan, (4) globalisasi dan budaya korporasi, dan sebagainya.
Persamaan: membahas penyebab, dampak, dan solusi konsumerisme.
Pengembangan: membahas konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan manajemen harta Islami.

Buku 255 halaman membahas budaya konsumen dari sudut pandang psikologi: permasalahan dan solusi. 1. where is the psychology of consumer culture? 2.materialistic values: their causes and consequences (hlm8) 3.why are materialists less satisfied 4.globalization, corporate culture, and freedom 5.shopping for sustainability:psychological solutions to overconsumption 6.materialism and the evolution of consciousness 7.mindfulness and consumerism 8.lethal consumption:death-denying materialism 9.acquisitive desire: assessment and treatment 10.self-control and compulsive buying 11.money,meaning, and identity:coming to terms with being wealthy 12.the commercialization of childhood: understanding the problem and finding solutions 13.commercialism’s influence on black youth: the case of dress-related challenges 14.”the more you subtract, the more you add”: cutting girls down to size

11. Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education.

Rangkuman: Membahas pentingnya pendidikan personal finance karena para siswa akan terus menggunakannya dalam pengambilan keputusan ekonomi sepanjang hidupnya baik sebagai konsumen, penabung, investor, tenaga kerja, dan warga negara. Sehingga sudah saatnya memasukkan kurikulum pendidikan keuangan personal dalam pendidikan formal tingkat menengah atas. Ilmu ekonomi menyediakan kerangka konseptual untuk pendidikan keuangan personal, sehingga siswa dapat menggunakan prinsip-prinsip dasar ekonomi untuk membuat keputusan kritis.
Persamaan: menggunakan prinsip-prinsip ilmu ekonomi dalam pengambilan keputusan keuangan personal.
Pengembangan: penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip ilmu ekonomi Islam dalam pengambilan keputusan keuangan personal, terkait permasalahan konsumerisme.

12. Mukhlisin, Murniati dan Luqyan Tamanni (2015). Accounting Literacy and Poverty Eradication; Preliminary Case studies in Egypt and Indonesia.

Rangkuman: Merancang sistem pencatatan akunting yang dapat digunakan oleh keluarga dan para nasabah keuangan mikro untuk membantu pengambilan keputusan, dalam rangka menanggulangi kemiskinan di Mesir dan Indonesia.
Persamaan: mencari solusi terhadap permasalahan ekonomi mikro dengan menggunakan sistem pencatatan akunting untuk keuangan personal.
Pengembangan: mencari solusi terhadap permasalahan konsumerisme dalam keuangan personal menggunakan pengelolaan keuangan dan manajemen harta Islami.

Meneliti penggunaan sistem akunting sebagai solusi dari permasalahan kemiskinan. Kemiripan dalam penggunaan bagian dari ilmu ekonomi dalam menyelesaikan permasalahan keuangan mikro.

13. Bawono, Anton (2014). Kontribusi Religiusitas dalam Rasionalitas Konsumsi Rumah Tangga Muslim.

Rangkuman: hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku konsumsi rumah tangga muslim yang menjadi sampel penelitian menggambarkan rata-rata responden berada pada posisi tingkat religiusitasnya cukup tinggi. Dapat disimpulkan bahwa tingkat konsumsi seorang muslim masih tergolong rasional dan tidak berlebihan. Salah satu penyebab rasionalitasnya konsumsi seorang muslim adalah tingkat religiusitas, sehingga konsumsinya tidak berlebihan.
Persamaan: membahas konsumsi dari sudut pandang agama Islam.
Pengembangan: membahas permasalahan dan solusi konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan konsep manajemen harta Islami.

14. Varul, Matthias Zick (2008). After Heroism: Religion versus Consumerism. Preliminaries for an Investigation of Protestantism and Islam under Consumer Culture.

Rangkuman: membahas bagaimana ajaran agama Protestan dan Islam menyikapi konsumerisme dalam budaya konsumen.
Persamaan: membahas sikap agama Islam terhadap konsumerisme dalam budaya konsumen.
Pengembangan: membahas secara lebih mendalam bagaimana ajaran agama Islam melalui manajemen harta Islami menyediakan solusi bagi permasalahan konsumerisme.

Using Protestantism and Islam as examples, the intricate relation between consumerism and religion is examined. Beyond the opposition of religious ‘heroic’ anticonsumerism and secular ‘romantic’ consumerism, it will be argued, there is mutual accommodation and even convergence. On the one hand consumerism challenges religion by taking over some genuinely religious functions; on the other hand it exacerbates and accelerates a religious dynamics of probation and, thereby, invites religion to a specifically consumerist revival. The condition for such a revival, however, is that friend/enemy distinctions based on religion are transformed into a variant of the decidedly un-heroic ‘war of shopping’. Religious commitment is assimilated to consumer preferences, and becomes reversible.

15. Mujahidin, Anwar (2013). Konsumerisme Dan Konsumisme Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur`an. Laboratorium Studi Al-Qur'an Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.

Rangkuman: membahas paradigma harta sebagai “milik” bersama yang harus menghasilkan manfaat bersama berdasarkan tafsir Al-Mishbah. Konsumsi bahkan pada barang-barang mewah tidak dilarang, namun dikendalikan. Hubungan yang punya dan yang lemah secara ekonomi, tidak hanya sekedar hubungan kedermawanan yang bersifat pribadi namun di dasarkan pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara sesama manusia.
Persamaan: membahas prinsip-prinsip konsumsi dalam ajaran Islam.
Pengembangan: membahas bagaimana prinsip-prinsip konsumsi dalam manajemen harta Islam dapat diterapkan dalam pengelolaan keuangan personal.

https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adzikra/article/view/349/0
http://laboratoriumstudial-quran.blogspot.com/2013/10/konsumerisme-dan-kosumisme-dalam.html

16. Prabowo S., M. Nur (2013). Meretas Kebahagiaan Utama di Tengah Pusaran Budaya Konsumerisme Global: Perspektif Etika Keutamaan Ibnu Miskawaih.

Rangkuman: mendiskusikan budaya konsumerisme dalam masyarakat modern dari sudut pandang filsafat etika yang dikembangkan oleh Ibnu Miskawaih. Penulis berargumen bahwa konsumerisme menyebabkan orang terjerembab ke dalam persoalan krisis identitas. Ini disebabkan karena konsumerisme menyebabkan seseorang terjatuh pada egoisme dan tidak acuh terhadap kehidupan sosial mereka.
Persamaan: membahas budaya konsumerisme dari sudut pandang ajaran Islam.
Pengembangan: mencari solusi atas permasalahan yang disebabkan oleh budaya konsumerisme dari sudut pandang manajemen harta Islam dalam pengelolaan keuangan personal.

Budaya konsumerisme yang lahir dalam masyarakat modern memicu beragam reaksi. Kalangan yang mendukung konsumerisme berpendapat bahwa kebahagiaan individu tidak dapat diwujudkan melainkan melalui kemerdekaan individual dan hak asasi manusia, utamanya dalam menikmati komoditas yang mewah. Namun, apa yang disebut dengan “konsumerisme” itu? Apakah kebahagian yang dilahirkan konsumerisme adalah sejati? Artikel ini mendiskusikan budaya modern dari kacamata filsafat etika yang dikembangkan Ibn Miskawaih. Penulis berargumen bahwa konsumerisme menyebabkan orang terjerembab ke dalam persoalan krisis identitas. Ini disebabkan karena konsumerisme menyebabkan seseorang terjatuh pada egoisme dan tidak acuh terhadap kehidupan sosial mereka.

http://www.oalib.com/paper/2510495#.V3MZhKIXWf4

17. Krishna, Ayu dan Maya Sari dan Rofi Rofaida. Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Survey pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia).

Rangkuman: Hasil penelitian menunjukkan tingkat literasi finansial mahasiswa masih jauh dari optimum bahkan mendekati kategori rendah sehingga harus ditingkatkan lagi. Penelitian ini mengajukan rekomendasi bahwa untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan personal finance masuk ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian dari sistem pendidikan di Universitas baik untuk program studi Ekonomi maupun program studi non Ekonomi.
Persamaan: menekankan pada perlunya pendidikan keuangan untuk kepentingan pengelolaan keuangan personal di kehidupan.
Pengembangan: pendidikan pengelolaan keuangan personal yang diperlukan, terutama bagi muslim, adalah yang berdasarkan ajaran Islam.

http://file.upi.edu/Direktori/PROCEEDING/UPI-UPSI/2010/Book_3/ANALISIS__TINGKAT_LITERASI_KEUANGAN_DI_KALANGAN_MAHASISWA_DAN_FAKTOR-FAKTOR_YANG_MEMPENGARUHINYA_(Survey_pada_Mahasiswa_Universitas_Pendidikan_Indonesia).PDF

Literasi keuangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang agar terhindar dari masalah keuangan. Kesulitan keuangan bukan hanya fungsi dari pendapatan semata (rendahnya pendapatan), kesulitan keuangan juga dapat muncul jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan (miss-management). Keterbatasan finansial dapat menyebabkan stress, dan rendahnya kepercayaan diri, bahkan untuk sebagian keluarga kondisi tersebut dapat berujung pada perceraian. Memiliki literasi keuangan, merupakan hal vital untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera, dan berkualitas. Hasil pengukuran skor rata-rata literasi finansial mahasiswa UPI sebesar 63% yang menunjukan tingkat literasi finansial mahasiswa masih jauh dari optimum bahkan mendekati kategori rendah sehingga harus ditingkatkan lagi. Penelitian ini mengajukan rekomendasi bahwa untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan personal finance masuk ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian dari sistem pendidikan di Universitas baik untuk program studi Ekonomi maupun program studi non Ekonomi.


Penelitian ini memiliki tiga variabel yaitu: (1) konsumerisme, (2) pengelolaan keuangan personal, dan (3) manajemen harta Islami. Penelitian terdahulu belum ada yang menggabungkan dan mencari hubungan antara penyebab dan dampak konsumerisme pada keuangan personal dan memasukkan prinsip manajemen harta Islami dalam pengelolaan keuangan personal sebagai solusi terhadap permasalahan konsumerisme.

Landasan Syariah: Konsumsi

2.2.3. Konsumsi

Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (7) ayat ke 31, Surah Al-Israa’ (17) ayat ke 26 dan 27, dan Surah Al-Furqaan (25) ayat ke 67 menjadi landasan syariah untuk konsumsi dalam Islam. Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (7) ayat ke 31 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Sebagaimana ayat-ayat yang lalu menuntun putra-putri Nabi Adam a.s., ayat 31 pun demikian, tapi kali ini adalah ajakan agar mereka memakai pakaian yang indah, minimal dalam bentuk menutup aurat, karena membukanya pasti buruk; memakainya setiap kali memasuki dan berada di masjid, baik masjid dalam arti bangunan khusus maupun dalam pengertian yang luas, yakni persada bumi ini. Tuntunan itu dilanjutkan dengan perintah makan dan minum yang halal, enak, bermanfaat, dan berdampak baik, tapi dengan pesan jangan berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan menambah cara atau kadarnya, demikian juga dalam makan dan minum atau apa saja, karena Allah swt. tidak menyukai, yakni tidak melimpahkan rahmat khusus bagi yang berlebih-lebihan dalam hal apa pun.
Ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat Nabi saw. bermaksud meniru kelompok Hummas, yakni kelompok suku Quraisy dan keturunannya yang sangat menggebu-gebu semangat keberagamaannya sehingga enggan berthawaf, kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan dan kadarnya ketika melaksanakan ibadah haji. Sementara sahabat Nabi saw. berkata: "Kita lebih wajar melakukan hal demikian daripada al-Hummas." Nah, ayat di atas turun menegur dan memberi petunjuk bagaimana yang seharusnya dilakukan.
Pelajaran yang dapat dipetik: (1) Berlebih-lebihan dalam segala hal tidak direstui agama. Makan bukan saja yang halal, tetapi hendaknya yang bergizi serta proporsional, tidak berlebihan. Ditemukan juga pesan yang menyatakan: "Termasuk berlebih-lebihan bila Anda makan yang selera Anda tidak tertuju kepadanya." (2) Islam mendorong penampilan keindahan dan hiasan, termasuk dalam berpakaian. Yang dilarangnya adalah keangkuhan dan atau yang mengundang rangsangan berahi. (3) Makanan yang dikonsumsi hendaknya proporsional, yakni yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi orang per orang. Kalau pun perut akan dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernapasan.

Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat ke 26 dan 27 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).

(26) Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (27) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Setelah memberi tuntunan menyangkut Ibu Bapak, ayat 26 melanjutkan dengan tuntunan kepada kerabat dan siapa pun yang butuh. Di sini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk memberikan hak kepada keluarga yang dekat, baik dari pihak ibu maupun bapak, bahkan walau keluarga jauh. Hak dimaksud, antara lain berupa bantuan, kebajikan, dan silaturrahim. Setelah keluarga, yang berhak mendapat perhatian adalah orang miskin, walaupun bukan kerabat, dan siapa pun yang putus bekalnya sedang ia dalam perjalanan, walau di tempat permukimannya ia mampu, baik pemberian itu dalam bentuk zakat maupun sedekah atau bantuan lain yang mereka butuhkan. Perintah ini dilanjutkan dengan larangan menghamburkan harta secara boros, yakni pada hal-hal yang bukan pada tempatnya dan tidak mendatangkan kemaslahatan. Para pemboros, menurut ayat 27 adalah saudara-saudara setan, yakni sifat-sifatnya sama dengan sifat-sifat setan, sedang setan sangat ingkar terhadap Tuhannya.
Pelajaran yang dapat dipetik: Pemborosan adalah sifat tercela. Ia adalah pengeluaran yang bukan pada tempatnya, karena itu jika seseorang menafkahkan / membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka ia bukanlah seorang pemboros.

Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-Furqaan (25) ayat ke 67 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).


Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Sifat hamba-hamba Allah SWT dalam mengelola harta amat terpuji. Apabila membelanjakan harta yakni baik untuk dirinya maupun keluarga atau orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak juga kikir, yakni pertengahan antara keduanya, yakni mereka bersikap dermawan.

Landasan Syariah: Pertanggungjawaban Manusia terhadap Harta dan Kenikmatan

2.2.2. Pertanggungjawaban Manusia terhadap Harta dan Kenikmatan

Al-Qur’an Surah At-Takatsur (102) ayat 8 berbunyi sebagai berikut:

Arti ayat tersebut “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Buku tafsir al-Mishbah menjelaskan arti ayat tersebut adalah “Kemudian, pasti kamu akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im.” Selanjutnya dijelaskan tafsir ayat tersebut sebagai berikut (Shihab, 2002):
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dan memperingatkan mereka yang bersaing secara tidak sehat memperbanyak kenikmatan duniawi, ayat di atas memperingatkan bahwa kenikmatan apapun bentuknya pasti akan dimintakan pertanggungjawaban. Atau setelah ayat yang lalu menggambarkan ancaman yang menanti mereka karena hanya memperhatikan kenikmatan duniawi, ayat di atas mengingatkan mereka bahwa sikap tersebut akan mereka pertanggungjawabkan dan kelak mereka akan ditanyai tentang sikap mereka menyangkut kenikmatan ukhrawi. Apapun hubungannya, ayat di atas bagaikan menyatakan: Kemudian, Aku bersumpah bahwa pasti kamu semua wahai manusia akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im yakni aneka kenikmatan duniawi yang kamu raih, atau kenikmatan ukhrawi yang kamu abaikan.
Kata la tus’alunna terambil dari kata sa’ala yang digandengkan dengan huruf lam yang berfungsi sebagai isyarat adanya sumpah dan nun yang digunakan untuk menunjukkan kepastian serta penekanan. Sedang kata sa’ala dapat berarti meminta, baik materi maupun informasi. Yang dimaksud bukan permintaan materi, bukan juga informasi dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi pertanggungjawaban. Kata tersebut berbentuk pasif dalam arti bahwa pelaku yang meminta pertanggungjawaban itu tidak disebutkan. Ini untuk mengarahkan perhatian pendengar kepada pertanggungjawaban itu – tanpa mempersoalkan siapa pun yang melakukannya.
Kata an-na’im biasa diterjemahkan kenikmatan. Sementara ulama menyebut beberapa riwayat yang menjelaskan maksud kata ini, seperti angin sepoi, air sejuk, alas kaki, sampai kepada al-Qur’an dan kehadiran Rasul SAW. Sahabat Nabi SA, Anas Ibn Malik ra menyatakan bahwa ketika turunnya ayat di atas seorang yang sangat miskin berdiri di hadapan Nabi SAW sambil berkata: “Apakah ada suatu nikmat yang kumiliki?” Nabi menjawab: “Ya, naungan, rumput dan air yang sejuk” (kesemuanya adalah nikmat yang engkau peroleh).
Jika kita menelusuri penggunaan al-Qur’an tentang kata-kata yang seakar dengan kata na’im, ditemukan bentuk-bentuk ni’mah, na’mah, na’maa’, an’um. Tentu saja maknanya tidak sama. Kata na’mah (dengan fathah pada huruf nuun) yang digunakan al-Qur’an dalam dua ayat (QS ad-Dukhan (44): 27 dan al-Muzammil (73): 11) dan keduanya dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang kafir yang memperoleh limpahan anugerah atau nikmat material yang mereka tidak syukuri. Sedang kata ni’mah (dengan kasrah pada huruf nun) yang terulang sebanyak 34 kali, pada umumnya digunakan untuk menggambarkan anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sadar atau diharapkan dapat sadar, baik nikmat tersebut bersifat material maupun spiritual. Bahkan sementara ulama membatasinya dalam bidang spiritual keagamaan. Atau paling tidak, pada umumnya kata ni’mah dalam al-Qur’an digunakan dalam arti petunjuk keagamaan (perhatikan QS al-Ma’idah (5): 3 dan QS adh-Dhuha (93): 11.
Kata na’im terulang dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali, 8 di antaranya dengan redaksi jannaat an-na’im (surga-surga yang penuh kenikmatan), 3 dengan redaksi jannatu na’im (surga yang penuh kenikmatan) dalam bentuk tunggal dan 6 sisanya digandengkan dengan berbagai kata tetapi seluruhnya digunakan dalam konteks kenikmatan surgawi di akhirat kelak (lihat misalnya QS al-Infithaar (82): 13-14 atau QS al-Insaan (76): 20. Atas dasar itu rasanya kurang tepat memahami kata na’im pada ayat yang ditafsirkan ini dalam arti kenikmatan yang diperoleh manusia di dunia – baik besar maupun kecil. Kata na’im di sini agaknya lebih tepat dipahami pula dalam konteks kenikmatan ukhrawi sehingga ayat terakhir surah ini memperingatkan kepada mereka yang bersaing secara tidak sehat dalam rangka memperoleh dan memperbanyak harta benda, anak, pengikut dan kedudukan – memperingatkan mereka – bahwa kelak mereka akan diminta untuk mempertanggungjawabkan sikap mereka terhadap kenikmatan ukhrawi, mereka akan ditanyai: Bagaimana sikap kamu di dunia menyangkut kenikmatan-kenikmatan ukhrawi? Apakah kamu percaya atau tidak?” Yang percaya tentu tidak akan bersaing memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan duniawi yang kecil itu bila dibandingkan dengan kenikmatan ukhrawi. Yang percaya tentu akan berlomba memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan ukhrawi.
Seseorang yang menyadari bahwa ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan duniawi, tentu tidak akan mengarahkan seluruh pandangan dan usahanya semata-mata hanya kepada kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara. Seseorang yang menyadari betapa besar kenikmatan ukhrawi akan bersedia mengorbankan kenikmatan duniawi yang dimiliki dan dirasakannya demi memperoleh kenikmatan ukhrawi. Demikian awal ayat surah ini berbicara tentang perlombaan menumpuk kenikmatan duniawi. Akhirnya memperingatkan mereka tentang tanggung jawab kepemilikan harta itu bahkan mengingatkan mereka tentang kenikmatan ukhrawi yang tiada taranya. Demikian, Maha Benar Allah dalam segala firmannya. Wa Allaah A’lam.

Hadits berikut menyebutkan bahwa manusia akan dimintakan pertanggungjawaban atas hartanya. Hal yang ditanyakan tentang harta adalah: (1) dari mana harta diperoleh, dan (2) ke mana dibelanjakan (Antonio, 2010).
Abdullah bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami dari al-Aswad bin Amir, dari Abu Bakar bin Ayyasy , dari Al-A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij, dari Abu Barzah al-Aslami bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba belum akan berpindah pada Hari Kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan ke mana dia infakkan, serta tentang tubuhnya untuk apa dia pergunakan.” (HR At-Tirmidzi No. 2417)
Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih. Sa’id bin Abdullah bin Juraij adalah orang Bashrah dan maula dari Abu Basrah al-Aslami, sedangkan nama Abu Barzah al-Aslami adalah Nadhlah bin Ubaid.”

Ayat tersebut menjadi landasan syariah bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawabannya (dihisab) kelak di hari akhir tentang kenikmatan yang telah diberikan kepadanya di dunia (Nizhan, 2011). Termasuk diantara kenikmatan yang diberikan berupa harta. Seluruh ummat Islam, apapun status ekonominya, diwajibkan untuk mengelola harta mereka dengan baik, karena mereka harus bertanggungjawab atas aset dan liabilitas (Shafii, 2013).
Hadits berikut menjelaskan bahwa orang miskin masuk surga lebih dahulu dibandingkan dengan orang kaya dikarenakan orang kaya harus mempertanggungjawabkan kekayaannya terlebih dahulu.
Hadits nomor 2354 yang berstatus hasan shahih dalam kitab Jami’ At-Tirmidzi berarti: Abu Kuraib menyampaikan kepada kami dari al-Muharibi, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang Muslim yang fakir masuk surga setengah hari lebih dahulu sebelum orang-orang kaya, selisihnya lima ratus tahun.”

Hadits berikut menjelaskan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan harta, artinya sebagai berikut
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.

Harta yang harus dipertanggungjawabkan meliputi sumbernya dan bagaimana pembelanjaannya. Oleh karena itu hadits ini menjadi landasan syariah untuk mengelola keuangan personal berdasarkan ajaran Islam.

Landasan Syariah : Perencanaan Keuangan (Financial Planning)

2.2.1. Perencanaan Keuangan (Financial Planning)

Al-Qur’an Surah Yusuf (12) ayat 47-49 menjadi landasan syariah perencanaan keuangan, ayat-ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
Arti rangkaian ayat tersebut adalah (47)“Dia berkata, “Kamu bercocok tanam tujuh tahun sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. (48) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya kecuali sedikit dari apa yang kamu simpan. (49) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras.”

Buku tafsir al-Mishbah menjelaskan tafsir rangkaian ayat tersebut sebagai berikut (Shihab, 2002):
Mendengar pertanyaan yang diajukan atas nama Raja dan pemuka-pemuka masyarakat itu, tanpa menunggu – sesuai dengan harapan penanya – langsung saja dia, yakni Nabi Yusuf as berkata seakan-akan berdialog dengan mereka semua. Karena itu, beliau menggunakan bentuk jamak, “Mimpi memerintahkan kamu wahai masyarakat Mesir, melalui Raja, agar kamu terus-menerus bercocok tanam selama tujuh tahun sebagaimana biasa kamu bercocok tanam, yakni dengan memperhatikan keadaan cuaca, jenis tanaman yang ditanam, pengairan dan sebagainya, atau selama tujuh tahun berturut-turut dengan bersungguh-sungguh. Maka apa yang kamu tuai dari hasil panen sepanjang masa itu hendaklah kamu biarkan di bulirnya agar dia tetap segar tidak rusak, karena biasanya gandum Mesir hanya bertahan dua tahun – demikian pakar tafsir Abu Hayyan – kecuali sedikit yaitu yang tidak perlu kamu simpan dan biarkan di bulirnya yaitu yang kamu butuhkan untuk kamu makan. Kemudian sesudah masa tujuh tahun itu, akan datang tujuh tahun yang amat sulit, akibat terjadinya paceklik di seluruh negeri yang menghabiskan apa yang kamu simpan unuk menghadapinya, yakni untuk menghadapi tahun sulit itu yang dilambangkan oleh tujuh bulir gandum yang kering itu kecuali sedikit dari apa, yakni bibit gandum yang kamu simpan. Itulah takwil mimpi Raja.”
Lebih jauh Nabi Yusuf as melanjutkan, “Kemudian setelah paceklik itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan pada masa itu mereka akan hidup sejahtera yang ditandai antara lain bahwa ketika itu mereka terus-menerus memeras sekian banyak hal seperti aneka buah yang menghasilkan minuman, memeras susu binatang dan sebagainya.”
Kata yughats, apabila dipahami dari kata ghaits / hujan, maka terjemahannya adalah diberi hujan. Dan jika ia berasal dari kata ghauts yang berarti pertolongan, maka ia berarti perolehan manfaat yang sangat dibutuhkan guna menampik datangnya mudharat. Dari kata ini lahir istilah istighatsah.
Memperhatikan jawaban Nabi Yusuf as ini, agaknya kita dapat berkata bahwa beliau memahami tujuh ekor sapi sebagai tujuh tahun masa pertanian. Boleh jadi karena sapi digunakan untuk membajak, kegemukan sapi adalah lambang kesuburan, sedang sapi kurus adalah masa sulit di bidang pertanian, yakni masa paceklik. Bulir-bulir gandum lambang pangan yang tersedia. Setiap bulir sama dengan setahun. Demikian juga sebaliknya.
Mimpi Raja ini merupakan anugerah Allah SWT kepada masyarakat Mesir ketika itu. Boleh jadi karena Rajanya yang berlaku adil – walau tidak mempercayai keesaan Allah. Keadilan itu menghasilkan kesejahteraan lahiriah buat mereka. Rujuklah ke uraian penulis pada ayat 117 surah Hud, untuk memahami lebih jauh tentang persoalan ini.
Thabathaba’i mengkritik ulama-ulama yang memahami mimpi Raja itu secara sederhana, yakni mereka yang hanya memahaminya sebagai gambaran tentang apa yang akan terjadi pada dua kali tujuh tahun depan. Memang, redaksi penjelasan Nabi Yusuf as bukan redaksi perintah, tetapi redaksi berita. Namun demikian, apa yang dikemukakan Thabathaba’i dapat diterima, karena sekian banyak redaksi berbentuk berita yang bertujuan perintah. Ulama itu menilai bahwa mimpi tersebut adalah isyarat kepada Raja untuk mengambil langkah-langkah guna menyelamatkan masyarakatnya dari krisis pangan. Yaitu hendaklah dia menggemukkan tujuh ekor sapi agar dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus dan menyimpan sebagian besar dari bahan pangan yang telah dituai tetap dalam bulirnya agar tetap segar dan tidak rusak oleh faktor cuaca dan sebagainya. Dengan demikian, menghadapinya, yaitu hendaklah bersungguh-sungguh menanam serta menyimpan sebagian besar hasil panen.
Thabathaba’i, walau memahami ayat 49 di atas sebagai informasi baru tentang apa yang akan terjadi sesudah tujuh tahun sulit, tetapi itu pun dipahaminya dari mimpi tersebut. Dalam arti, jika tujuh tahun sulit itu telah berlalu, maka sesudah itu situasi akan pulih, dan ketika itu tidak perlu lagi mengencangkan ikat pinggang, atau membanting tulang dalam bekerja atau menyimpan hasil panen sebagaimana halnya pada tujuh tahun pertama. Ini karena keadaan telah normal kembali. Itu pula sebabnya, menurut Thabathaba’i dalam mimpi Raja tidak disebut kata tujuh ketika menyatakan bulir-bulir kering, karena masa sesudah tujuh tahun sulit itu akan berjalan normal bukan hanya sepanjang tujuh tahun.

Rangkaian ayat tersebut menjadi landasan bahwa Islam menganjurkan ummatnya untuk merencanakan kehidupan mereka dengan cara bekerja keras, melakukan pengeluaran keuangan secara moderat, dan menabung untuk masa depan, karena selalu ada ketidakpastian dalam hidup (Shafii, 2013).

Landasan Teori: Keuangan Personal (Personal Finance)

2.1.5. Keuangan Personal (Personal Finance)

Subjek keuangan personal merupakan gabungan antara berbagai ilmu yang dapat dikategorikan dalam ilmu ekonomi, ilmu psikologi, ilmu sosiologi. Keuangan personal adalah aplikasi prinsip-prinsip keuangan, manajemen sumber daya, edukasi konsumen, serta sosiologi dan psikologi dalam pengambilan keputusan hingga studi mengenai cara yang digunakan individu, keluarga, dan rumah tangga dalam mendapatkan, mengembangkan, dan mengalokasikan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan keuangan di saat ini dan di masa depan (Schuchardt, 2007). Kegiatan penelitian, pendidikan, dan praktek konsultasi dan perencanaan keuangan dapat dirangkum dalam sebuah profesi interdisiplin yang terdiri dari beberapa subjek ilmu dan disebut sebagai personal finance. Lebih lanjut dijabarkan kerangka teori yang membentuk subjek personal finance terdiri dari model ekologi manusia, sistem manajemen keluarga, model discounted utility, hipotesis siklus hidup tabungan, hipotesis perilaku siklus hidup, teori tindakan beralasan, teori tindakan terencana, model perubahan transteoritis, keuangan rumah tangga.

A. Perencanaan Keuangan Personal (Personal Financial Planning)

Menurut Kapoor (2012) perencanaan keuangan personal didefinisikan sebagai proses mengelola dana untuk mencapai kepuasan ekonomi personal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses perencanaan keuangan merupakan siklus yang terus berputar, dengan langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) mengevaluasi kondisi keuangan saat ini, (2) menetapkan tujuan keuangan, (3) menentukan alternatif langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencapai tujuan, (4) mengevaluasi alternatif yang ada dengan mempertimbangkan kondisi hidup, nilai-nilai personal, faktor ekonomi serta memperhitungkan resiko dan nilai waktu uang (time value of money) dan cost opportunity, (5) menetapkan dan menjalankan rencana kerja keuangan, (6) meninjau ulang dan memperbaiki rencana keuangan.
Gambar 2.5. Proses Perencanaan Keuangan Personal Finance
(Kapoor, 2012. Hlm. 3)
Tujuan keuangan yang ditetapkan harus memenuhi prinsip-prinsip berikut yang lebih mudah disingkat menjadi SMART “Specific, Measurable, Action-oriented, Realistic, Time-based” yaitu spesifik diketahui dengan jelas apa yang diinginkan, terukur dengan adanya jumlah nominal dan jangka waktu yang jelas, ada konsekuensi kegiatan yang harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tersebut, realistis dan dapat dilakukan dengan kondisi keuangan yang ada, serta dibuat batasan jangka waktunya (Kapoor, 2012).
Proses penetapan tujuan keuangan personal harus memperhatikan kondisi keuangan saat ini yang pada umumnya merupakan salah satu dari beberapa kondisi yang disebutkan berikut: belum menikah, menikah tanpa anak, menikah dan punya anak, orang tua tunggal, rumah tangga multi generasi, orang tua yang anak-anaknya sudah mandiri, dan sebagainya. Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan keuangan personal lainnya, diantaranya: kondisi hidup seperti siklus hidup (life cycle), nilai-nilai (values) yang dipercaya, faktor ekonomi makro seperti suku bunga, inflasi, trend konsumsi, dan lain-lain. Kemudian harus diperhitungkan pula opportunity cost dan nilai waktu uang (Kapoor, 2012).

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...