Monday 7 May 2018

Proposal: Tujuan & Manfaat Penelitian

1.5. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan mengenai:
1. Penyebab terjadinya fenomena konsumerisme, dan dampaknya pada personal finance.
2. Pendekatan Islamic wealth management dalam personal financial planning untuk memecahkan masalah konsumerisme.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, untuk memenuhi persyaratan tugas akhir akademik dan memperdalam pengetahuan mengenai konsep-konsep Islamic wealth management dan personal finance. Juga untuk mendokumentasikan perumusan aplikasi Islamic wealth management dalam personal finance dalam usaha untuk mengeliminir dampak negatif konsumerisme.
2. Bagi praktisi, dapat menjadi salah satu masukan untuk menerapkan konsep-konsep Islamic wealth management ke dalam tataran pelaksanaan di personal finance dan dalam melakukan edukasi bagi masyarakat.
3. Bagi akademisi, dapat menambah khasanah keilmuan di bidang Islamic wealth management dan personal finance, serta dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya di bidang yang sama. Hal ini penting untuk menjadi masukan dikarenakan masih sedikitnya literatur ilmiah yang mengupas tema Islamic wealth management dan personal finance di masa kontemporer. Pengembangan konsep penelitian ini juga dapat diaplikasikan pada pengelolaan keuangan organisasi dan keuangan negara dikarenakan permasalahan konsumerisme dapat berdampak luas hingga ke tingkat organisasi dan negara.
4. Bagi masyarakat, dapat menjadi masukan dan bahan bacaan yang berguna untuk menambah wawasan tentang Islamic wealth management dan personal finance, meningkatkan keterampilan dalam mengelola personal finance dengan didasarkan pada konsep Islamic wealth management dalam usaha untuk mengeliminir dampak negatif konsumerisme.
5. Bagi penentu kebijakan, dapat menjadi masukan untuk mempertimbangkan edukasi personal finance berdasarkan konsep Islamic wealth management kepada masyarakat baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal. Juga dapat menjadi masukan untuk mengeliminir dampak negatif konsumerisme dalam pengelolaan keuangan di tingkat yang lebih luas seperti organisasi dan negara.

Proposal: Identifikasi, Batasan, dan Perumusan Masalah

1.2. Identifikasi Masalah

Abad ke 15 H dicanangkan sebagai abad kebangkitan Islam, sistem perekonomian Islam juga mulai dikembangkan sebagai sistem perekonomian alternatif beserta pengembangan metodologi ilmiah untuk ekonomi Islam. Salah satu definisi ekonomi Islam yang dijelaskan sebagai pengetahuan dan penerapan hukum syari’ah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumber-sumber material dengan tujuan untuk memberikan kepuasan manusia dan melakukannya sebagai kewajiban kepada Allah dan masyarakat (Muhamad, 2004). Sistem ekonomi tersebut dikembangkan dengan sudut pandang makro dan mikro akan tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu mencegah ketidakadilan dan pembuangan sumber daya.
Sistem tersebut seharusnya dapat digunakan aplikasinya dalam mengatasi permasalahan dampak buruk konsumerisme, terutama dimulai dari keuangan personal. Terdapat kesamaan kata kunci dalam permasalahan konsumerisme yaitu adanya pembuangan sumber daya pada level ekonomi mikro yang mengamati perilaku para pelaku ekonomi sebagai individu .
Permasalahan ini dapat dianggap sebagai akar seluruh permasalahan yang terjadi pada kondisi keuangan. Dampak konsumerisme dapat dirasakan pada kualitas hidup mulai dari tingkat individu, keluarga, perusahaan, hingga pada level Negara. Contoh pada level negara adalah kebangkrutan yang sedang terjadi di Yunani dan krisis-krisis ekonomi lainnya yang sering terjadi di berbagai negara merupakan salah satu dampak dari kurangnya financial literacy dalam pengelolaan keuangan .

Grafik 1.1. Data PPN dan PPnBM sebagai salah satu Sumber Penerimaan dalam Anggaran Pendapatan Negara (dalam miliar rupiah)
http://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1179 (1 Agustus 2015)

Data grafik Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dapat dianggap menunjukkan tingkat konsumsi barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan. Data ini secara umum menunjukkan kenaikan dari tahun 2007 hingga 2014. Secara singkat data ini dapat dianggap mewakili keadaan budaya konsumsi yang terus meningkat.

1.3. Batasan Masalah

Penelitian di bidang Islamic wealth management yang khusus untuk diaplikasikan dalam personal finance di masa kontemporer belum banyak ditemui di dunia akademis saat ini. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian masih terbuka lebar dan pembahasannya sangat luas. Maka diperlukan pembatasan dalam penelitian yang dilakukan untuk menghindari meluasnya penelitian, serta agar penelitian ini lebih terarah. Penelitian ini dilakukan dengan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dimaksudkan untuk membahas fenomena konsumerisme, faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, dan pada bagian akhir akan dibahas solusi yang diajukan ditinjau dari pendekatan personal finance dan Islamic wealth management.
2. Penelitian dilakukan dengan meneliti fenomena-fenomena yang terjadi melalui pengamatan kondisi makro yang terlihat baik secara langsung maupun melalui media massa, serta menggunakan indikator-indikator statistik general. Berikutnya dilakukan tinjauan atas literatur-literatur yang memiliki relevansi dengan tema penelitian. Kemudian melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada para ahli di bidang Ekonomi Islam, khususnya bidang Islamic wealth management dan personal finance. Semua data yang telah dikumpulkan akan dianalisa untuk dibuatkan suatu solusi aplikatif atas permasalahan konsumerisme dari sudut pandang personal finance dan Islamic wealth management.
3. Pembahasan personal finance dalam penelitian ini dibatasi dalam sub-tema personal financial planning, yaitu perencanaan keuangan pribadi yang digunakan dalam pengelolaan keuangan individu dan keluarga.
Pembatasan masalah tersebut disimpulkan dalam satu kalimat yang merangkum isi penelitian ini yaitu “Aplikasi Islamic Wealth Management dalam Personal Finance untuk Mengeliminir Dampak Negatif Konsumerisme”.

1.4. Perumusan Masalah

Penelitian dilakukan dengan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi penyebab terjadinya fenomena konsumerisme dan bagaimana dampaknya pada personal finance?
2. Bagaimana pendekatan Islamic wealth management dalam personal financial planning untuk memecahkan masalah konsumerisme?

Referensi:
Drs. Muhammad, M.Ag. 2004. Metodologi Penelitian Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Ekononisia. Hlm 5
SWAGLER, R. (1994), Evolution and Applications of the Term Consumerism: Theme and Variations. Journal of Consumer Affairs, 28: 347–360. doi: 10.1111/j.1745-6606.1994.tb00856.x
Pernyataan Robert kiyosaki dan tokoh2 praktisi personal finance lainnya

Proposal: Latar Belakang

APLIKASI ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT DALAM PERSONAL FINANCE UNTUK MENGELIMINIR DAMPAK NEGATIF KONSUMERISME

Personal finance adalah suatu subjek yang digunakan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari dalam pengelolaan keuangan pribadinya. Kemampuan ini dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya (life skill) karena hal tersebut mempengaruhi kualitas hidup semua orang mulai dari individu hingga tingkat Negara. Edukasi personal finance merupakan bekal bagi calon konsumen untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan personal sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi. Kenyataannya tidak banyak didapati lembaga pendidikan formal yang memiliki perhatian dan dapat mengakomodasi kebutuhan akan edukasi personal finance. (Morton, 2005)

Usaha untuk melakukan edukasi industri keuangan secara informal telah dilakukan beberapa pihak, baik dari regulator, pelaku industri, dan individu maupun organisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya program literasi keuangan dari regulator industri keuangan di Indonesia yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mengeluarkan data indeks literasi dan indeks utilitas sektor keuangan yang dianggap dapat sedikit mewakili keadaan literasi keuangan (financial literacy) di Indonesia. Menurut data tersebut, secara keseluruhan mayoritas masyarakat telah menggunakan industri perbankan dan memiliki tingkat pemahaman yang cukup. Sedangkan untuk sektor keuangan lainnya seperti: asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, pasar modal dan pegadaian; mayoritas masyarakat memiliki tingkat literasi rendah dan hanya sebagian kecil masyarakat yang telah menggunakannya.

Tabel 1.1. Indeks Literasi dan Indeks Utilitas Sektor Keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan

- Well literate: Perbankan 21.80% Asuransi 17.84% Perusahaan Pembiayaan 9.80% Dana Pensiun 7.13% Pasar Modal 3.79% Gadai 14.85%
- Sufficient literate: Perbankan 75.44% Asuransi 41.69% Perusahaan Pembiayaan 17.89% Dana Pensiun 11.74% Pasar Modal 2.40% Gadai 38.89%
- Less literate: Perbankan 2.04% Asuransi 0.68% Perusahaan Pembiayaan 0.21% Dana Pensiun 0.11% Pasar Modal 0.03% Gadai 0.83%
- Not literate: Perbankan 0.73% Asuransi 39.80% Perusahaan Pembiayaan 72.10% Dana Pensiun 81.03% Pasar Modal 93.79% Gadai 45.44%
Utilitas: Perbankan 57.28% Asuransi 11.81% Perusahaan Pembiayaan 6.33% Dana Pensiun 1.53% Pasar Modal 0.11% Gadai 5.04%

Sumber: www. ojk.go.id (8 Agustus 2015)

Selain pengetahuan tentang produk-produk industri keuangan, kebanyakan keluarga terutama di perkotaan memiliki resiko tinggi untuk terpengaruh dengan gaya hidup modern yang konsumtif dan materialistis. Akibatnya, terjadi perubahan budaya ke arah yang bertolak belakang dengan prinsip hidup madani. Gaya hidup berlebihan dan komsumtif merupakan bagian dari pengaruh negatif modernisasi dan globalisasi. (Tamanni dan Mukhlisin, 2013 )

Secara global, kolonialisme dapat dianggap sebagai pemicu awal konsumerisme dimana motivasi utama melakukan konsumsi adalah adanya penawaran dan bukan dari adanya permintaan. Kemudian budaya konsumsi mulai terlihat pada tahun 1600an di Eropa dan meluas pada abad ke 18 yang ditandai dengan meningkatnya produksi barang-barang. Revolusi industri di era industri yang memunculkan produksi massal semakin mengukuhkan budaya konsumerisme. Hal itu ditandai dengan adanya budaya shopping yang dilakukan oleh masyarakat luas dan telah diamati perilakunya di Amerika Serikat pada tahun 1960an . Kemudian pada abad ke 21 telah menjadi trend general untuk mengikuti gaya hidup orang-orang yang berada dianggap berada di tingkat hirarki yang lebih tinggi. Orang miskin ingin mengikuti gaya hidup orang kaya dan orang kaya ingin mengikuti gaya hidup tokoh-tokoh dan selebriti. Konsumerisme telah menjadi ideologi budaya di seluruh dunia.

Hal ini juga dipicu dengan banyaknya informasi yang masuk sehingga masyarakat telah terprogram untuk menjadi bagian dari globalisasi kapitalis. Perkembangan di bidang teknologi informasi telah menjadikan batas antara informasi dan iklan menjadi tidak jelas. Masyarakat terekspos pada budaya yang dianggap modern. Secara tidak sadar, masyarakat telah terprogram untuk mengikuti budaya yang mengedepankan materi dan membagi kelas masyarakat dalam suatu hirarki yang berdasarkan tingkat harta yang dimiliki.
Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Seiring dengan adanya pergeseran nilai, konsumerisme juga menjalar kemana-mana, baik di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Heryanto (2004) membuktikan bahwa dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.

Referensi:
Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia. Nirmana Vol. 6, No. 1, Januari 2004 hlm 52-62.
Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education. Artikel dalam jurnal Social Education 69(2), pp. 66-69 diterbitkan oleh National Council for the Social Studies.
Tamanni, Luqyan dan Murniati Mukhlisin (2013). Sakinah Finance: Solusi Mudah Mengatur Keuangan Keluarga Islami. Solo: Tinta Medina.

Literatur: Rezeki

LITERATUR 10

Judul : Rezeki
Nama Penulis : Prof. Dr. M. Mutawalli Asy Sya’rawi
Tahun : 1993
Penerbit : Gema Insani Press
Keterangan : Judul asli “Ar Rizqu” diterbitkan oleh Maktabah Asy Sya’rawi Al-Islamiyah Muassasah Akhbarul Yaum 1990, Mesir

Apa Rezeki Itu?
Rezeki itu ialah apa yang dapat dimanfaatkan manusia, apakah halal atau haram, baik atau buruk. Semua yang tidak Anda manfaatkan, meskipun Anda memilikinya, ia bukan rezeki Anda, akan tetapi rezeki orang lain. Ada perbedaan antara hasil usaha dan rezeki seseorang atau antara kerja dan rezekinya. (hlm 11)
Banyak orang berkeyakinan bahwa modal harta kekayaan itu bisa melindungi dirinya dari kemiskinan, dan bahkan bisa membahagiakan. Mereka adalah orang yang telah disesatkan setan, jiwanya diliputi rasa takut dan gelisah karena kurang kuat imannya dan mudah tergoda setan yang menanamkan rasa takut miskin di hati manusia. Setan menakut-nakuti manusia sehingga menjerumuskannya ke dalam perbuatan maksiat demi maksiat, sehingga menjadi pekerjaan rutinnya, malah dianggapnya sebagai salah satu bagian dari kebutuhannya sehari-hari. Akhirnya, nafsunya mendorongnya melakukan maksiat tanpa bisikan setan lagi. (hlm 13)
Sementara orang mengira, bahwa yang ditakdirkan Allah Ta’ala itu hanyalah rezeki yang halal saja. Akan tetapi yang benar ialah rezeki yang halal dan yang haram juga. (hlm 12)
Rezeki itu apa yang dapat dimanfaatkan oleh orang itu atau oleh yang diberi rezeki. Manfaat itu ada dua bentuk (hlm 14):
Pertama: manfaat materi, untuk orang itu mempertahankan hidupnya.
Kedua: manfaat nilai-nilai, untuk memperkaya kehidupannya.

Rezeki dan Kehidupan
Rasulullah SAW bersabda: “Hartaku, hartaku. Apakah Anda punya harta lebih dari yang Anda makan dan Anda lenyapkan, atau yang Anda pakai dan Anda rusakkan, atau yang Anda sedekahkan dan Anda abadikan?”
Demikianlah perjalanan rezeki anak Adam itu, hanya menuju ke tiga arah saja, seperti yang dijelaskan Rasulullah SAW. Jadi, rezeki anak Adam tidak keluar dari tiga arah itu: apa yang dimakan jadi kotoran, apa yang dipakai jadi sampah, dan apa yang disedekahkan jadi tabungan abadinya di akherat. Sedangkan harta kekayaannya yang lain, yang dikatakan orang hasil jerih payah dan pencahariannya, bukan rezekinya. Ia hanya diamanahkan mencarinya, menjaganya, dan menyerahkannya kepada pemiliknya yang asli kelak. (hlm 26)

- Pencaharian itu bukan rezeki.
- Apabila nilai-nilai lenyap, maka runtuhlah peradaban.
- Kerohanian itu rezeki.
- Berbagai rezeki, karunia, dan bakat lainnya.
- Rezeki itu merupakan dasar-dasar keterkaitan.
- Gerak kemasyarakatan dan kontinyuitasnya.
- Meningkatkan mutu merupakan rahasia keindahan alam ini.

Harta dan Rezeki

Harta yang tidak memberi manfaat kepada Anda, ia bukan rezeki Anda. Harta warisan yang Anda tinggal mati, ia bukan rezeki Anda. Harta yang Anda timbun di berbagai bank, ia bukan rezeki Anda dan bukan harta saja yang dinamakan rezeki. Akan tetapi, segala karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada Anda adalah rezeki juga. Karena Anda dapat memanfaatkannya dan mencukupi kebutuhan Anda juga. Apa yang Anda sedekahkan kepada makhluk Allah lainnya adalah rezeki; sehat dan afiat juga rezeki, pandangan jauh dan sempit juga rezeki, kemurahan hati dan kepelitan juga rezeki. Rezeki itu ialah semua yang dapat Anda manfaatkan dan nikmati secara mutlak. (hlm 42)
Sesungguhnya orang kikir itu orang yang paling dermawan. Karena mereka memiliki dunia, namun tidak memanfaatkannya. Mereka tidak keberatan memberikan sebagian yang dimilikinya. Kecuali karena ingin memberikan semua yang ditimbunnya. Segala sesuatu di alam ini punya kepentingan dan itulah rezeki karena kita dapat manfaat darinya. (hlm 43)

Ada dua macam rezeki, rezeki positif yang penghasilannya selalu lebih, dan ada pula rezeki negatif, di mana rezeki ini tidak dinafkahkan untuk hal-hal yang tidak penting sekali, sehingga habis seluruhnya. (hlm 44)
Contoh pertama, rezekinya sedikit lalu Allah memberinya berkah meskipun sedikit. Seseorang yang mempunyai penghasilan yang halal ketika anaknya sakit diberi aspirin dan segelas teh saja bisa baik dengan izin Allah. Contoh kedua, rezekinya banyak, akan tetapi Allah menjauhkannya dari berkah karena diperoleh dari berbagai jalan, tidak peduli apa namanya yang penting uang. Allah membuka berbagai pintu pengeluarannya, sehingga uangnya segera ludes dengan membuatnya panik dan ketakutan lalu anaknya dibawa kerumah sakit dan diperiksa hingga menghabiskan biaya ratusan ribu padahal penyakitnya hanya influenza. (hlm 45)

Kerja adalah rezeki waktu Anda, sedang rezeki hajat Anda, mungkin terdapat dalam kerja itu dan mungkin juga tidak.
Anda ketika memperoleh rezeki, mendapatkannya secara totalitas. Akan tetapi, Anda tidak tahu pasti berapa besar rezeki Anda, rezeki istri dan anak-anak Anda, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Namun, ketika Anda membelanjakan uang itu, rezeki itu membagi dirinya sesuai dengan ketentuan yang memberinya. Ia sampai kepada alamatnya masing-masing secara detail, seperti yang dikehendaki kodrat iradat Allah Ta’ala. (hlm 50)

Rezeki Yang Haram

Rasa takut dari kemiskinan itu bisa menipu orang, bahwa sebab musabab materialisme itulah yang mampu memberikan rezeki kepada seseorang. Ia mengelabuinya, bahwa rezeki itu sepenuhnya tergantung pada jerih payah manusia semata-mata, dan bahwa ia bisa menambah rezekinya lebih banyak lagi sesuai dengan kesempatan dan kemungkinan yang ada. (hlm 73)
Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada daya upaya dalam rezeki dan tidak ada syafaat dalam kematian.” Artinya, bagaimana daya upaya manusia untuk mendapatkan rezeki, biarpun berusaha keras menggunakan seluruh tenaga jasmani dan akalnya, tidak akan mendapatkan rezeki jauh lebih dari yang sudah ditakdirkan Allah untuknya. (hlm 74)
Terdapat perbedaan antara penghasilan dan rezeki. Adakalanya uang haram yang diperoleh karena rasa takut dari kemiskinan merupakan penghasilan, namun bukan rezeki. Artinya, anda telah mendapatkannya, namun anda tidak dapat memanfaatkannya. Harta haram yang Anda peroleh tidak Anda nikmati, sedang dosanya tetap menyertai Anda. (hlm 76)

Karunia Rububiyah dan Karunia Uluhiyah
Di dunia ini, semua manusia bisa memilih pakaian yang disenanginya sesuai dengan rezeki dan seleranya. Kita wajib menyadari keadilan Allah dalam membagi-bagikan rezeki-Nya kepada semua lapisan masyarakat, karena mereka mempunyai kesempatan untuk memperoleh puncak tertinggi rezeki-Nya yang ada ditengah-tengah masyarakatnya. (hlm 81)
Rezeki adalah soal ghaibi. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengaturnya. Meskipun sudah menjadi kewajiban bagi yang kuat untuk bergerak dan mencarinya, berusaha dan berjerih payah untuk mendapatkannya, malah berkewajiban untuk melipatgandakan upayanya itu, sehingga dapat membantu orang yang tidak mampu untuk bergerak dan berusaha. (hlm 82)
Yang mungkin bertambah itu ialah penghasilan, dan ia membutuhkan berbagai sarana dan sebab-musabab. Penghasilan bukan rezeki, karena apa yang Anda miliki belum tentu rezeki Anda.

Pada dasarnya, ketetapan rezeki itu tidak tunduk pada sebab-musabab manusia, karena ia tunduk kepada kodrat iradat Allah Ta’ala sendiri. Selama Allah memberi rezeki kepada siapa pun yang dikehendakiNya tanpa dihisab, maka kodrat iradat Allah itu mutlak adanya. (hlm 85)
Allah Ta’ala telah memberikan kehormatan pada kebijakan mereka dalam mencari dan membelanjakan rezeki itu seluruhnya dari Allah Ta’ala. Namun dia telah menjadikan sementara makhluk-Nya sebagai pengelola dan pemberi rezeki itu kepada sesamanya. Seorang ayah menafkahkan hartanya kepada anak-anak dan keluarganya, karena rezeki mereka tersalur dalam rezekinya. Orang-orang saleh menafkahkan hartanya kepada para fakir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya. (hlm 86)
Kita wajib memahami perbedaan antara mengadakan dari tidak ada dengan penyaluran barang yang ada di tangan Anda kepada orang lain. Bedanya antara pemberian Allah Ta’ala dan pemberian manusia, bahwa pemberian Allah itu diberikan dari yang tidak ada, sementara pemberian Anda diberikan dari yang sudah ada. (hlm 87)

Mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala bukan hanya menunaikan shalat, zakat, berpuasa, dan berhaji, akan tetapi ia merupakan suatu metode hidup yang saling melengkapi. Memakmurkan bumi ini, menjalin hubungan dengan semua makhluk Allah Ta’ala, terutama dengan sesama manusia. Semua peristiwa hidup kaum muslimin masuk ke dalam metode Allah tersebut, mulai dari takut kepada Allah dalam memperoleh rezeki dan bekerja, dengan mengindahkan titah perintah Allah, baik di rumah maupun dalam hubungannya dengan orang lain, dengan senantiasa menyertakan Allah dalam melakukan apa pun, meskipun hanya untuk menyingkirkan gangguan dari jalanan. (hlm 97)

Allah SWT berfirman “Kehidupan kalian di muka bumi ini terbatas, dan rezeki kalian juga terbatas, karena usia orang didalamnya pendek, sedang kesenangan yang ada hanya sedikit. Akan tetapi, rezeki kalian, umur kalian, dan kehidupan kalian di akhirat, terdapat kenikmatan yang abadi yang tidak pernah meninggalkan kaum Mukminin dan mereka tidak pernah meninggalkannya. (hlm 98)

Literatur: Fiqh Harta: Upaya Menjemput Keberkahan Rizki

LITERATUR 9

Judul : Fiqh Harta: Upaya Menjemput Keberkahan Rizki
Nama Penulis : Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS. dan H. Hilman Hakiem, SP., M.E.I.
Tahun : 2016
Penerbit : UIKA Press
Keterangan : Universitas Ibn Khaldun Bogor


Jangan Membiasakan Berutang (hlm 68-71)

Salah satu hal penting dalam membelanjakan dan mengeluarkan harta adalah sederhana sesuai dengan kemampuan (al-iqtishaad). Rasulullah SAW bersabda “Ekonomis (sederhana dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan) dalam belanja, merupakan separuh dari penghidupan, mencintai sesama manusia, merupakan setengah dari akal (kecerdasan), dan bertanya (pada sesuatu yang tidak diketahui) secara baik, merupakan separuh dari ilmu pengetahuan.” (HR Ath-Thabrani dari Ibnu Umar)
Salah satu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan modern sekarang, yang hampir hampir menjadi gaya hidup (life style) adalah kebiasaan meminjam (utang). Meskipun meminjam itu dibolehkan oleh syariat Islam, tapi seharusnya dilakukan dalam kondisi tidak ada alternatif lain, kecuali hanya dengan meminjam. Salah satu doa yang selalu dipanjatkan Rasulullah SAW adalah doa terbebas dari lilitan utang. Beliau bersabda “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika pun terpaksa meminjam (berutang) maka perlu diperhatikan beberapa hal:
1. Semua utang harus tercatat dan diusahakan ada saksinya. QS Al-Baqarah ayat 282.
2. Harus berniat untuk segera melunasi, jika sudah memilikinya. Jangan sekali-kali meminjam dengan berniat untuk tidak membayarnya. Hal ini akan membuat kerusakan pada harta yang dimiliki itu sendiri dan dianggap perbuatan zalim. Rasulullah SAW bersabda: “Penundaan orang kaya dalam membayar utang adalah kezhaliman, jika seseorang dari kalian melimpahkan utang kepada orang kaya, hendaklah orang kaya itu menanggungnya.” (HR At-Tirmidzi). Rasulullah SAW juga bersabda “Utang itu ada dua. Barang siapa mati sementara dia berniat membayarnya maka akulah walinya. Namun barang siapa mati sementara dia tidak berniat untuk membayarnya maka itu akan diambilkan dari kebaikan-kebaikannya untuk membayarnya pada hari di mana tidak ada dinar dan dirham.” (HR Ath-Thabrani).

Cara Menggunakan Harta (hlm 102-111)

Cara menggunakan atau memanfaatkan harta harus sesuai dengan ketentuan syariah, karena semua yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya adalah titipan dari Allah SWT. QS An-Nuur: 33). Pemanfaatan dan penggunaannya harus sesuai dengan pemberi amanah. Semuanya akan dimintai tanggung jawab di hadapan Allah SWT di kemudian hari kelak. Rasululllah SAW bersabda “Seseorang yang akan terlepas dari empat pertanyaan pada Hari Kiamat nanti: usia dipergunakan untuk apa, masa muda dihabiskan untuk apa, harta benda yang dimiliki bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana pula cara memanfaatkannya; serta ilmu pengetahuan bagaimana pengamalannya.” (HR Abu Dawud)
Memanfaatkan harta sesuai dengan ketentuan syariah Islam, pada dasarnya merupakan perwujudan syukur atas nikmat karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita. Dan jika bersyukur pasti akan bertambah banyak hartanya, sebaliknya jika dalam memanfaatkan harta tersebut tidak sesuai dengan ketentuan-Nya maka bisa menjadi malapetaka dunia akhirat. Allah SWT berfirman dalam QS Ibrahim ayat 7.
Juga dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Aku kagum dengan seorang muslim. Apabila mendapat kebaikan dia memuji Allah dan bersyukur. Dan apabila ditimpa kesusahan dia berharap pahala dan bersabar. Seorang muslim diberi pahala dalam segala hal, sampai dalam makanan yang ia suapkan ke mulut istrinya.” (HR Baihaqi)
Memanfaatkan dan menggunakan harta sesuai dengan ketentuan syariat Islam, antara lain sebagai berikut:
1. Setiap harta yang kita miliki, dikeluarkan dulu zakatnya 2,5% dari penghasilan kotor jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat. Zakat yang dikeluarkan harus disalurkan melalui Amil Zakat yang amanah dan bertanggung jawab. Dan tidak disalurkan sendiri langsung kepada para mustahik. QS At-Taubah: 60.
2. Dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga secara wajar, tidak kikir (bakhil) dan tidak berlebih-lebihan (israf). Seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. QS Al-Israa’: 26-27
3. Memberikan infak kepada kedua orang tua, kerabat dekat, anak anak yatim, orang orang miskin, orang yang sedang dalam perjalanan yang membutuhkan bantuan, dan orang orang yang membutuhkan lainnya, baik perorangan ataupun lembaga.

Literatur: Asas-asas Ekonomi Islam

LITERATUR 8

Judul : Asas-asas Ekonomi Islam
Nama Penulis : M. Sholahuddin, S.E., M.Si.
Tahun : 2007
Penerbit : PT RajaGrafindo Persada
Keterangan : -

Pilihan Perilaku Manusia (hlm 25)
Saat ini ideologi kapitalisme merupakan ideologi yang dominan di seluruh dunia dan menjadi tolok ukur perbuatan mayoritas masyarakat. Pemisahan agama dari kehidupan merupakan asas yang memunculkan ideologi ini. Dan para penganut ideologi ini menjadikan tolok ukur manfaat dalam segenap aktivitasnya termasuk perilaku ekonomis. Mereka beranggapan bahwa setiap permintaan masyarakat harus segera dipenuhi tanpa memandang halal dan haram, selama hal itu menguntungkan.
Di lain pihak, ideologi sosialisme meski telah mengalami era kehancuran, namun masih tetap diperjuangkan oleh para pengikut fanatiknya. Ideologi ini muncul dari konsep materialisme. Mereka meyakini bahwa kehidupan di dunia adalah materi, muncul dari materi dan musnah menjadi materi kembali. Kemiripan dengan ideologi kapitalisme adalah menyatakan bahwa urusan kehidupan manusia adalah mutlak hak manusia. Manusia bebas untuk menentukan aturan sendiri berdasar konsep demokrasi. Hanya bedanya, ideologi ini menafikan sama sekali adanya Tuhan dan menganggap agama adalah candu masyarakat.

Pemanfaatan Harta Pribadi (hlm 129)
Ketentuan pertama dalam syariah tentang kepemilikan ialah kekayaan dilarang untuk dimiliki kecuali untuk dimanfaatkan. Tindakan memiliki harta dan dibiarkan tidak dinikmati jika dilaksanakan oleh setiap individu dalam masyarakat akan menyebabkan produktivitas dan perekonomian menjadi terganggu. Seseorang yang telah memiliki harta kekayaan, namun tidak mau memanfaatkannya dianggap sebagai orang yang bertindak bakhil dan akan mendapatkan dosa. Karena, Allah menganugrahkan kekayaan sebagai sebuah kenikmatan yang layak untuk dinikmati. QS Al-Isra’: 29 dan QS Al-A’raf: 32. “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya agar menampakkan tanda-tanda kenikmatan-Nya.” (HR Imam At-Tirmidzi). “Orang yang menguasai tanah yang tidak bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun menguasainya, ia tidak menggarapnya dengan baik.” Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang mengerjakan tanah tak bertuan akan lebih berhak atas tanah itu.” (HR Bukhari)

Kategori Pemanfaatan Harta Milik Pribadi (hlm 132)
Aturan dalam penggunaan harta secara langsung (konsumtif) dapat mendorong terjadinya pemerataan.
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud Rasulullah Saw bersabda: “Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang 4 perkara: tentang umurnya untuk apa ia dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan, dan tentang ilmu, apa yang ia lakukan dengan ilmunya itu.” Hadits ini menyebutkan bahwa hisab harta itu bukan sekadar darimana harta diperoleh melainkan juga untuk apa harta itu dipergunakan. Ketetapan pemanfaatan harta dalam Islam sebagai berikut:
a. Zakat merupakan kewajiban bagi mereka yang telah mencapai nishab.
b. Nafkah kepada diri sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti istri, orang tua, dan anak-anak, hukumnya fardhu.
c. Silaturahim dengan saling memberi hadiah hukumnya Sunnah.
d. Sedekah kepada fuqara dan yang membutuhkan hukumnya Sunnah.
e. Infak untuk kegiatan dakwah Islam hukumnya fardu kifayah.
Penggunaan harta yang diharamkan terdiri dari: (1) haram zatnya, (2) haram selain zatnya seperti tadlis, taqtir, ihtikar, bai’ najasy, gharar, riba, israf dan tabdzir, (3) tidak sah akadnya. Diantara beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam adalah:
1. Israf dan tabdzir yaitu menafkahkan hartanya untuk berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, seperti untuk melakukan kemaksiatan, membeli barang yang diharamkan, digunakan untuk menyuap (risywah), dan sebagainya. Israf dan tabdzir walaupun sekilas tampaknya ikut berperan mendorong beredarnya harta, namun apabila dilihat lebih jauh sebenarnya peredaran harta tersebut hanya akan berputar pada barang atau jasa yang haram saja. Hal itu tentunya akan menyebabkan terakumulasinya harta pada sektor-sektor yang halal akan mengalami hambatan dalam perputarannya.
2. Taraf yang diharamkan adalah berfoya-foya atau bermewah-mewah dengan jalan melakukan tindakan penyalahgunaan nikmat, sombong dan membangkang karena banyaknya nikmat. Sebagaimana pada israf dan tabdzir, taraf juga akan membawa implikasi yang sama, yaitu akan mendorong harta berputar pada sektor yang diharamkan.
3. Taqtir (kikir) yang diharamkan adalah tidak mau menafkahkan hartanya untuk keperluan yang haq, seperti: tidak mau menafkahi orang yang menjadi tanggungan kewajibannya, tidak mau membayar zakat dan sebagainya.

Prioritas Pemanfaatan
QS An-Nur: 33 dan QS Al-Hadid: 7 memerintahkan kepada setiap orang yang memiliki harta kekayaan agar menafkahkan harta yang dirizkikan-Nya kepada kita. Pedoman-pedoman pokok yang harus dipegang pada saat kita akan membelanjakan harta adalah bahwa kita harus mengetahui skala prioritas yang benar agar pembelanjaan itu mendatangkan keberkahan. Jika kita mengkaji hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah nafkah ini, akan kita temukan bahwa prioritas utama pembelanjaan harta adalah untuk melaksanakan kewajiban, kemudian amalan Sunnah baru kemudian akivitas yang mubah. Sedangkan aktivitas yang hukumnya makruh sebaiknya kita tinggalkan apalagi aktivitas yang haram maka tentunya harus ditinggalkan. Beberapa hukum prioritas pemanfaatan adalah sebagai berikut:
1. Harta yang dimiliki wajib dinafkahkan untuk keperluan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Pertama untuk anak-anak dan istri, kedua orang tua dan karib kerabat yang menjadi tanggungan.
2. Bagi yang mempunyai kelebihan harta yang telah mencukupi nishab dan haul wajib mengeluarkan zakat.
3. Wajib menafkahkan harta dalam rangka jihad fi sabilillah yaitu dalam rangka menyebarkan Islam ke seluruh masyarakat yang ada di dunia.
4. Disunnahkan menafkahkan harta kekayaan manakala kebutuhan primer kita telah terpenuhi, kepada karib kerabat atau famili yang tidak menjadi ahli waris kita. “Sedekahkanlah kepada dirimu sendiri. Bila masih ada lebihnya, maka untuk keluargamu. Bila masih ada lebihnya, sedekahkanlah kepada famili terdekatmu. Bila masih ada sisa-sisanya, sedekahkanlah kepada orang lain yang ada di sebelah depanmu, sebelah kananmu, dan sebelah kirimu.” (HR Khamsah).
5. Sedekah bisa diberikan kepada orang-orang lain yang kita sukai, baik tetangga maupun teman dekat.
Infaq dan sedekah hanya dilakukan jika kita kelebihan harta dari kebutuhan primer kita. Kalau tidak lebih maka tidak ada keharusan untuk itu. (hlm 140)

Literatur: Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam

LITERATUR 7

Judul : Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam
Nama Penulis : Nurizal Ismail
Tahun : 2014
Penerbit : Smart WR
Keterangan : Yogyakarta

Pendahuluan
Berbicara mengenai kehidupan manusia kita tidak bisa lepas dari aturan-aturan yang menuntun manusia untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera. Sebaliknya saat ini aturan-aturan yang dibuat oleh manusia hanya sebatas untuk memberikan keuntungan semata bagi manusia dengan menafikan adanya aturan-aturan atau nilai-nilai agama. Doktrin ini dikenal dengan sekulerisme. Paham ini sudah lama mendarah daging oleh kebanyakan orang baik Muslim atau non-Muslim yang tujuannya memisahkan antara hubungan dunia dengan agama. Sedangkan Islam memandang aspek kehidupan tidak hanya pada materi saja melainkan juga pada aspek spiritual. Sebab dunia adalah ladang amal bagi manusia untuk mencapai kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. QS Al-Qasas: 77. (hlm 1)

Definisi Harta (mal)
Secara etimologi, harta dalam Islam dikenal dengan kata mal, yang berarti condong, kecendrungan, dan kemiringan. Kecendrungan manusia untuk mencintai harta merupakan tabiatnya seperti yang dijelaskan dalam surah al-‘Adiyat, 8: “Sesungguhnya manusia sangat cinta kepada harta”. Adapun secara terminologi beberapa ulama telah mendefinisikannya secara jelas dan lugas.
1. Menurut ulama Hanafiyyah, harta adalah sesuatu yang kecendrungan kepadanya tabiat manusia yang memungkinkan penyimpanannya untuk dipergunakan pada masa dibutuhkan.
2. Menurut ulama Malikiyyah, harta adalah sesuatu yang mengakibatkan atasnya kepemilikan, yang pemilik memisahkannya dari yang lainnya apabila mengambilnya dari tempatnya.
3. Menurut ulama Hanabilah, harta adalah sesuatu yang dibolehkan pemanfaatannya secara bebas atau di setiap keadaan apapun.
4. Menurut Jumhur ulama, harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai materi diantara manusia, yang dibolehkan pemanfaatannya secara syariah dalam keadaan lapang dan ada pilihan, bukan dalam keadaan sempit dan bahaya.
Dari beberapa definisi dapat diambil kesimpulan bahwa harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai materi yang dapat dimiliki, dimanfaatkan dan disimpan menurut ketentuan-ketentuan syariah Islam. Harta yang dimaksudkan dengan dapat dimiliki adalah bahwa harta itu harus dicari oleh manusia dengan bekerja, berdagang atau memberikan jasa kepada orang lain. Sedang yang dimaksud dengan sesuatu yang dapat dimanfaatkan adalah harta yang dapat digunakan manusia untuk kehidupannya seperti untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Adapun yang dimaksudkan dengan dapat disimpan adalah harta yang dapat digunakan untuk kebutuhan akan datang dengan cara menyimpannya baik dalam bentuk tabungan atau investasi.

Hakikat Harta dalam Islam
Dari definisi diatas menjelaskan bahwa harta mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya manusia perlu bekerja dan yang selanjutnya dimanfaatkan untuk saat ini maupun untuk masa depannya. Tahapan seperti ini sudah banyak diketahui oleh kita sebagai manusia, tetapi terkadang kita terlupa apa sebenarnya hakikat harta dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, ada beberapa poin-poin penting tentang harta yang harus benar-benar dapat dipahami maknanya secara mendalam.

1. Harta mutlak milik Allah SWT
Di dalam al-Qur’an telah banyak dijelaskan bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak seluruh kekayaan yang ada di langit maupun di bumi. Dijelaskan dalam Surah al-Maidah, 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Selanjutnya, manusia sebagai khalifah Allah SWT diberikan hak untuk memanfaatkannya dengan penuh amanah. Menurut Rodney Wilson, basis kepemilikan harta dalam Islam adalah kepemilikan dengan amanah (ownership by trusteeship), dengan Allah SWT sebagai pemilik mutlak kekayaan dan Manusia sebagai wakil-Nya di bumi ini. Karena harta sebagai amanah, maka manusia sebagai pemegang amanah tersebut akan mempertanggungjawabkan di akhirat nanti. Dalam sebuah riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.”
2. Harta sebagai nikmat Allah SWT
Harta yang diberikan sebagai amanah adalah sebuah nikmat yang patut disyukuri oleh manusia. Para ulama dahulu telah banyak berbicara tentang nikmat. Nikmat menurut Imam Ghazali terbagi menjadi 2, yaitu nikmat yang mutlak dalam segala keadaan dan nikmat yang muqayyad dalam segala keadaan. Kategori pertama seperti kebahagiaan akhirat dan keimanan. Sedangkan yang kedua kebanyakan berhubungan dengan kebahagiaan harta benda. Ibnu Qayim al-Jauziyah membaginya menjadi 3 macam, yaitu: 1) nikmat yang sedang di tangan; 2) nikmat yang diharapkan datangnya; dan 3) nikmat yang tidak disadari. Nikmat yang pertama adalah nikmat yang sedang dinikmati semasa hidup seperti harta, kesehatan, kedudukan, dan sebagainya. Bentuk yang kedua seperti kenaikan pangkat dan gaji, sukses dalam ilmu, perdagangan dan usaha. Yang terakhir adalah nikmat tubuh yang diberikan kepada kita yang sampai pada saat ini masih dapat digerakkan.
Nikmat adalah sesuatu yang halal dan baik yang diberikan oleh Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah al-Baqarah, 168: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.” Namun ketika nikmat harta yang dianugrahkanNya tidak disyukuri oleh hambanya bahkan malah mengingkarinya, maka azab Allah sangat pedih, sebagaimana di dalam firmanNya dalam Surah Ibrahim, 14: “dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku".
3. Harta sebagai pilar utama dakwah
Harta atau kekayaan yang dimiliki oleh manusia diharapkan dapat digunakan untuk jalan dakwah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sahabat-sahabat, dan tabi’in. Di masa Rasulullah SAW, sahabatnya Abu Bakar as-Siddiq rela mengorbankan hampir semua kekayaannya untuk mempertahankan Islam dan orang-orang miskin yang pada masa itu Islam masih mendapat ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan kedatangan Islam.
4. Harta sebagai ladang amal di akhirat nanti
Dalam Islam, manusia tidak hanya hidup di dunia saja, melainkan akan menghadapi kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Namun, hal tersebut banyak dilupakan oleh sebagian manusia. Padahal kita telah diperintahkan untuk mencapai pahala akhirat dari apa yang telah dianugerahkan Allah sebagaimana firmanNya dalam Surah al-Qashash, 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dari ayat ini sangat jelas bahwa segala kekayaan yang telah dianugerahkan kepada kita adalah ladang untuk mendapatkan pahala di akhirat nanti. Kekayaan atau harta yang kita dapat dan kemudian kita gunakan adalah untuk mencapai falah (kesuksesan dunia dan akhirat). Kompensasi pahala tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara yakni: shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak yang shaleh yang mendoakan kedua orangtuanya (HR Muslim no 1631 dari Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu). Ketiga perkara ini memerlukan harta untuk mendukungnya. Untuk memberikan shadaqah jariyah maka diperlukan kekayaan dengan cara bekerja. Begitu juga dengan ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang masuk dalam kategori pengeluaran pendidikan yang berasal dari kekayaan yang diterima oleh kita. Sungguh indah Islam menjelaskan hakikat harta yang digunakan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya dunia maupun akhirat. Jika semua mengerti secara mendalam arti dari harta tersebut niscaya keadilan di dunia dapat tercapai karena salah satu sumber permasalahan di dunia ini adalah ketimpangan kepemilikan harta yang beredar di antara manusia.

Perintah untuk Membelanjakan Harta

Di samping Allah SWT menganjurkan manusia untuk bekerja, Allah SWT juga memerintahkannya untuk membelanjakan kekayaan yang dimilikinya pada jalan Allah yang memberikan manfaat kepada dirinya, keluarganya dan orang lain. Islam menjelaskan secara terperinci langkah-langkah dalam membelanjakan harta. Langkah pertama dalam pembelanjaan kekayaan dengan tidak berbuat boros (mubazir) sebagaimana yang terdapat pada Surah al-Furqan, 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” Bahkan orang-orang yang berlaku boros diumpamakan sebagai saudaranya syaitan sebagaimana ditegaskan pada Surah al-Isra, 26-27: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Langkah kedua adalah membelanjakan hartanya untuk membantu orang-orang yang memang memerlukannya seperti orang-orang fakir dan miskin dengan memberikan sedekah, infak, zakat dan wakaf. Pada harta yang kaya itu ada hak bagi orang-orang yang miskin. Hal ini disebut dalam Surah al-Maarij, 24-25: “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),”. Kemudian dianjurkan pemberian tersebut dilakukan kepada kerabat-kerabat terdekat dahulu yang lebih memerlukan dan selanjutnya kepada yang lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam Surah al-Isra, 26: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
Langkah ketiga adalah melakukan persiapan-persiapan untuk masa depan karena manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang diperolehnya esok, namun demikian mereka diwajibkan berusaha, Allah SWT dalam Surah Lukman, 34 berfirman: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Melakukan penyimpanan (saving) harta adalah salah bentuk usaha pembelanjaan atau konsumsi yang akan digunakan pada masa akan datang. Nabi Yusuf as telah memerintahkan raja untuk melakukan penyimpanan (saving) untuk menghadapi masa paceklik yang sangat sulit berdasarkan mimpi sang raja mengenai 7 ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh 7 ekor sapi betina yang kurus dan 7 tangkai gandum yang hijau dan kering. Kisah ini berdasarkan pada Surah Yusuf, 47-48: “Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.”

Prinsip-prinsip Dasar Konsumsi

Konsumsi yang sehat dan layak tidak hanya akan menjamin kelangsungan pembangunan yang akan menguntungkan generasi yang akan datang, tetapi juga mencegah kecendrungan inflasi. Islam telah mengatur aturan-aturan yang jelas mengenai konsumsi ini, yang optimal dan menghindari kerugian (mafsadah) bagi dirinya maupun orang lain. Dalam mencapai tujuan-tujuan konsumsi tersebut, perlunya pengetahuan akan prinsip-prinsip dasar konsumsi dalam Islam, yaitu (hlm 83):
1. Prinsip Halal
Seorang Muslim dianjurkan untuk makan hanya makanan yang halal (halal dan diijinkan) dan tidak mengambil apa yang haram (melanggar hukum dan dilarang). Al-Quran mengatakan: “Makanlah dari apa yang Allah telah berikan pada Anda sebagai makanan halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah di dalam Dia kamu percaya..” (Al-Maidah: 88). Pada ayat lain disebutkan tentang larangan barang haram, sebagaimana firman Allah: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya…” (Al-Maidah: 3). Prinsip halal dan haram juga berlaku untuk jenis-jenis pengeluaran selain makanan. Para pengikut Islam diharuskan untuk menghabiskan pendapatannya kepada sesuatu yang halal dan menjauhi sesuatu yang haram seperti anggur, narkotika, pelacur, perjudian, kemewahan, dll. Selain dari zatnya yang halal, maka prosesnya pun harus dilakukan dengan cara yang halal.
2. Prinsip kebersihan dan kebajikan (hlm 84)
Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat memerintahkan kepada manusia untuk melihat kepada kebersihan dan kebajikan dalam konsumsi. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepadaNya.” (Al-Baqarah: 172). Ayat ini menjelaskan dengan melakukan konsumsi dengan cara-cara yang baik merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT yang direalisasikan dalam syariat Islam. Sedang kata thayyibah menurut Yusuf Ali berarti hal yang baik (good thing), hal yang baik dan murni (good and pure thing) dan hal yang bersih dan murni (clean and pure thing). Karena Islam jelas memandang bahwa konsumsi terhadap sesuatu harus melihat aspek-aspek kebersihan, kebaikan dan kebajikan, sehingga dapat tercapai maslahatnya.
3. Prinsip moderat
Prinsip moderat berarti seseorang harus mengambil makanan dan minuman dengan menghindari kelebihan atau kekurangan dalam konsumsi. Dalam Surah al-a’raf, 31 berbunyi: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Prinsip moderat ini berlaku tidak hanya pengeluaran konsumsi barang dan jasa, melainkan pengeluaran untuk charity, dan hubungan antara pengeluaran dan tabungan. Prinsip moderat ini sangat berhubungan dengan permasalahan ekonomi yaitu kelangkaan (scarcity) yang dihadapi oleh manusia. Karena itu tujuan dari prinsip moderasi adalah untuk menghindari terjadinya kelangkaan barang yang beredar di masyarakat. Penerapannya dapat direalisasikan dengan penghematan dalam konsumsi, yang bertujuan keseimbangan ekonomi. Menunaikan nafkah untuk diri sendiri dan keluarga, sosial dan kebutuhan masa akan datang. (hlm 85)

Skala Prioritas Konsumsi dalam Tinjauan Maqashid Syariah
Dalam berkonsumsi seorang Muslim harus mempertimbangkan aspek-aspek yang membawa manfaat (maslahat) dan bukan kerugian (mafsadah). Hal ini berhubungan dengan kajian maqashid syariah yang terdiri dari dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dalam konsumsi, ketiga elemen ini merupakan skala prioritas yang harus dilakukan oleh manusia dalam konsumsi Dharuriyat merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia, yaitu kebutuhan akan pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Contoh-contoh kebutuhan dharuriyat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan dalam menjaga agama seperti memperdalam ilmu keagamaan, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
2. Kebutuhan dalam menjaga jiwa seperti sandang, pangan, papan, eksistensi diri dan kesehatan.
3. Kebutuhan dalam menjaga keturunan seperti pengeluaran perkawinan dan keluarga.
4. Kebutuhan dalam menjaga akal seperti pengeluaran pendidikan.
5. Kebutuhan dalam menjaga harta seperti pengeluaran tabungan, investasi dan asuransi.
Sedang dalam hajiyat memberikan kemudahan-kemudahan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Fungsi hajiyat adalah untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyat) manusia. Contohnya, pengeluaran zakat, infak dan sedekah merupakan kebutuhan yang dapat merealisasikan aspek ritual (hifzh ad-din). Ketiga, tahsiniyat atau kamaliyat adalah segala sesuatu yang tujuan tidak untuk merealisasikan maqashid al-khamsah dan tahsiniyat melainkan untuk menjaga kehormatan dari maqashid al-khamsah itu sendiri. Pada tingkatan ini lebih difokuskan kepada etika manusia dalam berkonsumsi dengan landasan nilai-nilai Islam.
Beberapa ulama Islam dahulu telah memberikan penjelasan mengenai skala prioritas dalam konsumsi. Omar (2009) dalam tulisannya yang berjudul “Infaq Model based on Al-Shaybani’s Levels of al-Kasb”. Level pengeluaran berkesesuaian dengan konsep al-kasb nya Syaibani, yaitu: 1) Fard al-‘ayn, 2) Mandub, dan 3) Mubah. Pada tingkatan pertama, pengeluarannya mencakup kebutuhan dasar (untuk diri sendiri, anggota keluarganya dan orang tuanya), penyelesaian hutang dan tabungan. Tingkatan kedua dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari kerabat dekat, tetangganya dalam bentuk bantuan. Adapun yang terakhir adalah pengeluaran di luar kerabat dekat yang diwujudkan dalam zakat, infaq, sedekah dan kebajikan-kebajikan yang lainnya. Dari pemikirannya dihasilkan model infaq secara umum yaitu: IQ = f ( Ifa + Imd + Imb). Maka Ifa adalah Fard al-‘ayn (kewajiban) Infaq, Imd adalah mandub (rekomendasi) infaq dan Imb adalah mubah (dibolehkan).
Ismail (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Ibn Sina’s Economic Ideas” juga menyinggung tentang model infaq (pengeluaran) yang berasal dari pemikiran Ibnu Sina. Menurut Ibnu pengeluaran dibagi menjadi tiga. Pertama, infaq (pengeluaran) untuk manusia ittu sendiri dan keluarganya dengan tidak melakukan kekikiran, kelalaian dan pemborosan. Pengeluaran ini disebut dengan infaq ijtima’I atau ‘am.
Kedua infaq (pengeluaran) untuk pintu-pintu kebajikan (al-ma’ruf abwab), shodaqoh, dan zakat. Pengeluarannya disebut dengan infaq dini atau khas. Ketiga, al-iddikhar (tabungan) untuk kejadian-kejadian dimasa akan datang. Dari pemikirannya dihasilkan model infaq teori secara umum yaitu: IQ = f ( Ii + Id + Iid). Maka Ii adalah infaq ijtima’I, Id adalah infaq dini dan Iid adalah al-iddikhar.
Dapat disimpulkan bahwa infaq mewujudkan individu, sosial, material, dimensi spiritual, moral dan hukum dalam pengambilan keputusan dan perilaku pengeluaran individu. Tingkatan pemenuhan kebutuhan oleh Syaibani menjelaskan pentingnya skala prioritas yang didahului oleh suatu yang wajib, mandub, dan mubah. Begitu juga dengan pengeluaran model Ibnu Sina yang memprioritaskan pengeluaran diri sendiri dan kemudian dilanjutkan kepada pemenuhan pengeluaran karena agama dan tabungan masa depan. Keduanya mempunyai ide yang sama bahwa dalam melakukan konsumsi harus memperhatikan skala prioritas. Elemen-elemen pengeluaran ini selaras dengan elemen-elemen maqashid syariah yang lima, yang harus dipenuhi sebagai kebutuhan dasar dalam hidup. Kemudian juga hajiyat dan tahsiniyat yang menjadi pemeliharaan dan memperindah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Karena itu dalam konsumsi Islam prioritas maslahat harus menjadi perhatian oleh manusia Muslim, sehingga tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah) dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

Kesimpulan
Konsumsi merupakan pengeluaran yang didapat dari pendapatan yang diterima oleh seseorang. Pendapatan dapat diterima melalui banyak jalur seperti dengan pekerjaan, perdagangan atau warisan. Islam telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim dalam memperoleh hartanya dan bagaimana mengeluarkannya. Hasil yang diterima dan dirasakan dari konsumsi adalah manfaat atau kegunaan dari barang dan jasa, yang dalam Islam dikenal dengan konsep maslahat (manfaat). Konsep ini berhubungan dengan konsep dasar maqashid syariah yang telah diasaskan oleh para ulama terdahulu. Beberapa pemikiran tentang yang dihasilkan oleh Syaibani dan Ibnu Sina juga menjelaskan tentang skala prioritas dalam konsumsi yang berkesesuaian dengan maqashid syariah.

Literatur: Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik

LITERATUR 6

Judul : Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik
Nama Penulis : Ikhwan Abidin Basri, MA
Tahun : 2007
Penerbit :
Keterangan :


Teori Konsumsi Menurut Imam As Syaibani (hlm 79-81)
Ajaran Islam datang untuk mengubah gaya hidup (lifestyle) yang berlebihan, flamboyant, arogan, dan pamer menjadi sebuah gaya hidup yang sederhana, bersahaja dan zuhud. Gaya hidup yang ditawarkan oleh Islam ini tidak memungkinkan pelakunya mengekspolitasi sumber-sumber daya alam secara berlebihan dan mubazir.
Imam Muhammad bin Al Hasan Assyaibani membagi kebutuhan pokok fisik menjadi empat seraya menulis “Kemudian Allah menciptakan anak cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik) mereka tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara yaitu makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal (rumah)”

Hirarki Konsumsi Menurut Imam As Syaibani (hlm 82-85)
Secara global Imam Assyaibani nelihat tiga tingkatan dalam konsumsi. Dua tingkatan yang pertama memiliki rentang wilayah bawah dan atas. Artinya, pada tingkatan tersebut dimulai dari tingkat bawah kemudian naik ke atas.
Tingkatan konsumsi yang pertama adalah Al-Mutadanni. Tahapan ini dimulai dengan tingkat konsumsi sama dengan nol. Artinya tidak melakukan konsumsi apa-apa. Gaya hidup dengan kecenderungan konsumsi nol adalah bunuh diri dan haram hukumnya dalam Islam. Di samping itu Rasulullah juga bersabda bahwa sesungguhnya diri kita memiliki hak yang harus kita penuhi yaitu dengan memberinya makan dan minum agar dapat hidup dan menjalankan kewajiban ibadah. Diawali dengan kosumsi sama dengan nol , tahapan ini meningkat ke atas mencapai level sedikit di atas di mana konsumsi dilakukan hanya sebatas mengganjal perut dengan kadar yang memungkinkan orang melakukan ibadah dan ketaatan. Menurut beliau tahapan ini hukumnya fardhu ‘ain karena dengan memenuhi hak jasmani ini, individu dapat menjalankan ibadah meskipun dalam keadaan yang lemah. Karena itu maka individu masih dituntut untuk meningkatkan nutrisinya melebihi kadar sada arramq dengan menambahkan menu yang lebih tinggi lagi sehingga tingkat kesehatan dan kekuatan jasmaninya terjaga dengan baik. Namun wilayah konsumsi yang brada di atas level sad arramq bersifat sunnah, bukan fardhu ‘ain.
Tingkatan kedua dalam kategorisasi Imam Assyaibani adalah kecukupan (kifayah). Tahapan ini dimulai dari batas teratas tingkatan pertama dan berakhir pada derajat sarof. Dalam hal ini ada satu hal yang sangat menarik yaitu Imam Assyaibani secara tegas menentukan batas bawah dengan istilah yang diambil dari Alqur’an yaitu taqtir (kikir) batas bawah dan Sarof (berlebihan) pada batas atas. Keseluruhan wilayah tingkatan kedua ini hukumnya mubah. Sekalipun demikian, beliau sendiri cenderung mengutamakan pemenuhan tuntutan konsumsi pada batas bawah dari tingkatan kifayah. Inilah gaya hidup sederhana yang dicontohkan oleh para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan pola konsumsi seperti ini dapat dilihat bahwa fungsi konsumsi dalam model Imam Assyaibani merupakan bagian kecil dari keseluruhan pendapatan. Pola konsumsi ini juga sangat berbeda dari pola konvensional baik model Keynesian maupun lainnya seperti permanent income hypnothesis yang memperlihatkan porsi besar konsumsi dalam permintaan agregat.
Tingkatan konsumsi ketiga menurut Imam Assyaibani adalah Israf (berlebih-lebihan). Tingkatan ini dimulai dari ujung atas dari tingkatan kedua. Keseluruhan wilayah ini tidak diperbolehkan bagi hamba yang beriman dan yang menyerahkan dirinya kepada Allah. Pada masa itu gaya hidup berlebih-lebihan tampak dalam pola makan dan berpakaian. Karena itulah beliau menyoroti keduanya dengan sorotaan tajam. Sorotan ini merupakan kritikan beliau terhadap perilaku sebagian masyarakat yang dinilai telah menyimpang dari pola konsumsi yang Islami.

Gaya Hidup Sederhana Menurut Imam As Syaibani (hlm 86-87)
Dalam menggambarkan fenomena Sarof (berlebih-lebihan dalam konsumsi) beliau menulis : “Karena dengan makan berlebih-lebihan itu hanyalah untuk memenuhi manfaat dirinya sendiri padahal tidak ada gunanya sama sekali makan melebihi kenyang, justru malah berbahaya. Orang yang berbuat demikian seperti orang yang membuang makanan ke tempat sampah bahkan lebih buruk dari itu. Di samping itu, orang yang makan melebihi hajatnya pada hakekatnya ia telah menahan hak orang lain di dalamnya. Sekiranya ia berikan kelebihannya itu untuk orang laindengan gratis atau dengan imbalan, niscaya orang yang lapar akan dapat mengisi perutnya. Karena itu dengan menahannya, ia telah melanggar hak orang lain.”
Dengan demikian makan dan berpakaian berlebihan tidaklah dipandang hanya pada batas pribadi saja. Ia adalah aksi pribadi yang berdampak ekonomi dan sosial. Berdampak ekonomi karena mengakibatkan sumber daya mengalami mis-alokasi sehingga sebagian masyarakat mampu menikmatinya secara berlebihan dan tak terbatas, namun sebagian lainnya tidak kebagian sama sekali. Hal ini berhubungan dengan pemerataan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil (equitable distribution of income and wealth). Pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan serta upaya minimalisasi kesenjangan kekayaan dan pendapatan tidak akan dapat dicapai. Kedua, dalam sebuah perekonomian Islam, keharmonisan hubungan antar individu harus dipertahankan dengan cara di luar mekanisme pasar yang normal, misalnya dengan mendorong ZISWAF. Faktor-faktor redistribusi inilah yang sebenarnya hilang dari sistem kapitalisme, namun sangat dianjurkan dalam Islam.

Falsafah dan Urgensi Ekonomi Islam Menurut Imam Al Ghazali
Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk menggapai keridhoan Allah dan mencapai keselamatan di akhirat. Sedangkan salah satu sarana dan media untuk mencapai tujuan tersebut adalah harta yang halal dan kegiatan ekonomi. Hakekat hubungan ini adalah hubungan antara sarana dan tujuan. (hlm 113)
Dalam pandangan Al Ghazali metode yang paling tepat untuk mencapai tujuan adalah menggunakan wasilah ini (harta dan semua kegiatan ekonomi) secukupnya saja (al-qodr al-kafi). Ini berarti bahwa dalam rangka melakukan aktivitas ekonomi untuk memakmurkan dunia manusia harus membatasi wasilahnya hanya pada batas-batas dhoruriyat saja. Penekanan ini terjadi karena dominasi sufisme dalam diri al Ghazali. (hlm 114)
Beliau hendak menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang amat erat antara ilmu (dan tentunya pendidikan secara umum) dengan masyarakat, dunia usaha, industri dan keterampilan dalam rangka mewujudkan suatu keseimbangan (equilibrium) global multidimensional. Hal ini penting untuk menegakkan kewibawaan umat dan mengendalikan arah peradaban supaya tidak melenceng ke arah materialisme seperti yang terjadi dalam falsafah kehidupan Barat modern. Ilmu-ilmu yang dikembangkan di barat dilandasi oleh falsafah materialisme anti Tuhan sehingga tidak membawa kepada keimanan, malahan mengajak kepada kekufuran dan atheisme. (hlm 116-117)

Teori Konsumsi Menurut Imam Al Ghazali (hlm 117-123)
Masalah ekonomi merupakan persoalan yang sangat penting dalam kehidupan, untuk itu tidak mungkin Islam sebagai agama yang komprehensif tidak mengaturnya. Dalam masalah konsumsi, Islam mengatur mengenai apa yang boleh dikonsumsi (halal) dan apa-apa yang tidak boleh dikonsumsi (haram). Konsumsi yang halal pun bukan berarti tanpa aturan dan batasan. Di samping halal, yang kita konsumsi juga harus thayyib (baik). Selain itu, dalam konsumsi, manusia tidak boleh berlebih-lebihan, bermewah-mewahan dan pamer.

Hakekat Konsumsi Menurut Imam Al Ghazali (hlm 117-119)
Dalam pengertian mikro, konsumsi erat berkaitan dengan konsep kebutuhan (hajat), keinginan (raghbah) dan nafsu (syahwat). Beliau menyampaikan bagaimana memenuhi hajat itu tidak sekedar hanya memenuhi, tetapi dalam rangka memenuhi kebutuhan tetap berada dalam koridor ibadah sehingga tetap mendapat pahala dari Allah. “Jika manusia mengetahui hakikat penciptaan dirinya, keberadaan Tuhannya dan rahasia penciptaan dunia, maka ia akan mengetahui bahwa semua yang ada di dunia itu diciptakan untuk dirinya dalam kerangka beribadah kepada Allah. Ini (beribadah) tidak dimungkinkan kecuali dengan adanya ketahanan fisik (baqa’). Sementara itu tidak mungkin mendapatkan ketahanan fisik (badan) kecuali dengan memberi makanan, minuman, pakaian ataupun tempat tinggal kepada badan. Sebagaimana tidak mungkin kita melaksanakan haji tanpa menunggang onta dengan memberinya makan dan minum.”
Imam Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi sehingga tidak kosong dari makna dan steril. Konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah. Berbeda dengan pandangan konvensional yang materialis melihat bahwa konsumsi merupakan fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa memedulikan dimensi spiritual karena hal itu dianggapnya berada di luar wilayah otoritas ilmu ekonomi. Tidak ada yang dapat menghalangi perilaku homo economicus kecuali tebal koceknya sendiri. Tidak ada perasaan apakah konsumsi sekarang akan berpengaruh kepada masa depan dirinya sendiri (misalnya mengkonsumsi alkohol dan merokok), masa depan umat manusia (misalnya, menguras minyak bumi, menebangi hutan, proses industri yang menimbulkan polusi udara dan air) apalagi masa depan kelak di akhirat.

Kebutuhan dan Keinginan Menurut Imam Al Ghazali (hlm 119-121)
Kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Selain melihat kebuuhan sebagai sesuatu yang independen dan objektif beliau juga memandangnya sebagai sesuatu yang subjektif bahkan mungkin penjelasannya lebih luas pada kasus kedua dari yang pertama. Ini dapat dijelaskan, misalnya, dengan melihat kebutuhan makanan untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun individu harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan misalnya, (syahwah al-tho’am) adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Beliau selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.
Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas antara keinginan (roghbah dan syahwat / wants) dan kebutuhan (hajat / needs). Pemilahan dan pembedaan antara keinginan dan kebutuhan dapat menunjukkan perbedaan ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi konvensional. Ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu merisaukan adanya perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi buta dan menciptakan ketidakseimbangan ekologi yang gawat. Maka tidak heran sekarang terjadi bermacam-macam bencana alam yang mengerikan disebabkan karena doktrin keinginan sama dengan kebutuhan.

Tingkatan Konsumsi Menurut Imam Al Ghazali (hlm 121-123)
Penyusunan tingkatan konsumsi ini menjadi menarik karena Islam memberikan norma-norma dan batasan-batasan (constraints) pada individu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Norma dan batasan ini pada gilirannya akan membentuk gaya hidup (life style) dan pola perilaku konsumsi (patterns of consumption behavior) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari gaya hidup yang tidak diilhami oleh ruh ajaran Islami.
Imam Al Ghazali membagi tiga tingkatan konsumsi yaitu sadd al-Ramq dan ini disebut juga had ad-dhorurah, yang kedua had al-hajah dan yang tertinggi adalah had at-tana’um.
1. Had ad-dhorurah adalah batasan darurat yaitu tingkatan konsumsi yang paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya mampu bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Gaya hidup seperti ini dapat meruntuhkan agama karena tidak mampu melaksanakan kewajiban agama dengan baik dan akan meruntuhkan sendi-sendi keduniaan, padahal dunia adalah ladang akhirat.
2. Had al-hajah merupakan area yang keseluruhannya halal dan mubah. Perbatasan daerah ini adalah ujung yang berdekatan dengan perbatasan dhorurah dan ujung lainnya yang berdekatan dengan tana’um. Jika mendekati batas tana’um individu dianjurkan untuk waspada karena secara tidak sadar dapat terjerumus pada hal yang membuat terlena dan melalaikan tugas beribadah pada Allah. Al-Ghazali menganjurkan untuk menetap di had al-hajah dengan sedekat mungkin pada had ad-dhorurah untuk meneladani para Nabi dan Wali.
3. Had at-tana’um: individu pada tahapan ini melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebuuhannya, tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang dan bernikmat-nikmat. Gaya hidup ini tidak cocok bagi seorang mukmin yang tujuan hidupnya untuk mencapai derajat tertinggi dalam ibadah dan ketaatan. Gaya hidup seperti ini tidak seluruhnya haram, sebagiannya dihalalkan yaitu ketika individu menikmatinya dalam kerangka menghadapi nasib di akhirat, walaupun ia tetap akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Kesimpulannya, meninggalkan had at-tana’um tidak diwajibkan secara keseluruhan dan menikmatinya tidak dilarang semuanya.

Inflasi dan Strata Sosial Masyarakat Mesir menurut Allamah Al Maqrizi (hlm 166-168)
Hiperinflasi di Mesir pada tahun 806-808 H disebabkan karena perubahan penggunaan mata uang dari yang didominasi oleh dinar kemudian beralih menjadi dirham dan beralih menjadi fulus yang dapat dicetak oleh siapa pun dan mata uang tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sehingga perekonomian nyaris hancur. Faktor non ekonomi juga mempersulit kondisi ini seperti: penguasa yang korup, administrasi negara yang kacau, melemahnya komitmen penguasa untuk menegakkan syariat, peperangan antar sesame muslim dan lain-lain.
Kelompok yang terkena dampak inflasi dibagi 7 yaitu penguasa dan para pembantunya, pengusaha dan pedagang yang hidupnya mewah, golongan menengah dari pengusaha dan pedagang (kaum professional), petani di pedesaan, golongan fakir seperti mahasiswa dan prajurit, pekerja kasar dan para pelayan, golongan papa dan peminta-minta. Pelajaran dari hiperinflasi di Mesir dan pembagian yang terkena dampak inflasi terburuk dan yang tidak merasakan dampak inflasi padahal pada hakikatnya purchasing power mereka menurun karena inflasi meningkat, tetapi karena memang nominalnya banyak tidak terlalu terasa.

Literatur: Manajemen Islami Harta Kekayaan

LITERATUR 5

Judul : Manajemen Islami Harta Kekayaan
Nama Penulis : Dr. Muhammad bin Ahmad Ash-Shalih
Tahun : 2001
Penerbit : Era Intermedia, Solo
Keterangan : Buku terjemahan yang berjudul asli “At-Takaful Al-Ijtima’i fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah wa Dauruhu fi Himayati Al-Mal Al-‘Am wa Al-Khash.


Tiada Kata Boros dalam Kebaikan dan Ketaatan (hlm 75)

Jika tujuan pembelanjaan (infak) -baik umum atau khusus- untuk mencari ridha Allah SWT, memenuhi kebutuhan kaum Muslimin, dan menyelesaikan situasi yang datang dengan tiba-tiba, maka tidak ada batasan tertinggi. Jika ada orang yang bersedia dengan dua per tiga dari hartanya, maka sedekah itu sah dan benar, dan ia tidak dituntut dengan kewajiban-kewajiban yang menyulitkannya. Jika ia bersedekah dengan harta tersebut untuk kepentingan para mujahid di jalan Allah atau untuk orang-orang yang terkena musibah, maka ini adalah perbuatan baik yang pantas mendapat pujian dan berhak mendapat ridha dari Allah SWT. Sebagaimana dilakukan oleh Utsman ra dalam Perang Tabuk. Pada masa itu adalah masa kesulitan (paceklik). Jika kondisinya berbeda, maka akan dibahas berikut ini.

Petunjuk Pembelanjaan Harta Kekayaan (hlm 77)

Kita telah mengetahui bagaimana membelanjakan harta kekayaan dalam kebaikan, baik perorangan atau jamaah, itu tidak mungkin dikatakan sebagai tindakan yang tidak benar. Sekarang tinggal pembelanjaan harta kekayaan yang tidak masuk dalam kategori di atas, seperti: rekreasi, pemilikan mobil, pembelian istana pribadi, memberi belanja kepada keluarga, dan kepentingan-kepentingan lain seorang Muslim dalam membelanjakan hartanya. Perlu kami jelaskan bahwa kami tidak berbicara tentang pembelanjaan harta kekayaan untuk kebutuhan yang berlawanan dengan syariat, seperti: pembelian ladang peternakan babi, perdagangan minuman keras, dan perjudian, karena perkara-perkara ini tidak masuk dalam kebutuhan seorang Muslim.

Larangan Berlaku Boros (hlm 78)

Pertama kali yang harus disikapi oleh seorang Muslim adalah hendaknya ia tidak berlaku boros dalam membelanjakan hartanya demi kepentingan pribadinya.
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa segala yang baik itu dihalalkan dan kita diperbolehkan menikmatinya dengan syarat tidak melanggar aturan-aturan syariat. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa semua itu adalah karunia dari Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Hendaknya setiap hamba menaati setiap ketentuanNya. Allah SWT berfirman WS Al-A’raf: 31-32 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Allah juga menjelaskan bahwa di antara sifat ‘Ibadur-Rahman adalah tidak berlebihan dalam membelanjakan hartanya. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” QS Al-Furqan: 67
Asy-Syathibi berkata, “Allah menjadikan banyak hal yang mudah untuk diambil manfaatnya sesuai dengan kemaslahatan, dan selama tidak merusak urusan dunia dan agama, yaitu dengan berlaku tidak berlebihan. Dilihat dari sisi inilah semua itu menjadi nikmat dan baik.

Mata Pencaharian yang Baik (hlm 79)

Islam telah menjelaskan bahwa sesuatu yang halal dan baik adalah yang diterima di sisi Allah. Jadi tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim menjual minuman keras lalu memberikan hasil jualnya kepada keluarga dan kerabatnya. Lebih tidak diperbolehkan lagi jika hasil penjualan tersebut disedekahkan pada jalur-jalur kebaikan.
Selain itu, Islam juga mengharamkan perdagangan barang-barang yang diharamkan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi, dan patung. (HR Bukhari, 5/329 dan Muslim, 1581)
Setiap keuntungan yang diambil darinya adalah haram. Rasulullah bersabda, “Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim, 1015 dan Tirmidzi, 2992).
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Baqarah: 267).

Penghamburan Harta Kekayaan (hlm 81)

Jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu dengan mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Allah berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS An-Nisa’: 6).

As-Safah (Bodoh) (hlm 82)
Yaitu menggunakan harta kekayaan bukan pada kemaslahatan. Aturan ini diberlakukan oleh syariat Islam untuk memelihara harta kekayaan yang merupakan penopang hidup dan memelihara hak ahli waris. Allah berfirman “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS An-Nisa: 5)
…Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur… (QS Al-Baqarah: 282)

Literatur: Ekonomi Rumah Tangga Muslim

LITERATUR 4

Judul : Ekonomi Rumah Tangga Muslim
Nama Penulis : Dr. Husen Syahatah
Tahun : 1998
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta
Keterangan : Buku ini merupakan buku terjemahan


Keistimewaan Perekonomian Rumah Tangga Muslim (hlm 49)
- Memiliki nilai akidah
- Berakhlak mulia
- Bersifat pertengahan dan seimbang
- Berdiri di atas usaha yang baik
- Memprioritaskan kebutuhan primer
- Memiliki perbedaan antara keuangan laki-laki dan wanita

Aturan Pembelanjaan dalam Rumah Tangga Muslim (hlm 70) yang relevan dengan permasalahan konsumerisme
- Seimbang antara pendapatan dan pengeluaran
Istri wajib tidak membebani suami dengan beban yang berada di luar kemampuan suami. Dia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya sesuai dengan penghasilan atau pendapatan suami. Banyak ayat yang berkaitan dengan hal ini, diantaranya: QS Al-Baqarah: 286 dan QS Al-Baqarah: 236. Rasulullah pun bersabda “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki cukup dan menerima apa yang Allah berikan kepadanya.” (Muttafaq ‘Alaih). Pada suatu kesempatan, Abu Bakar pernah berkata, “Sesungguhnya aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.” Hal itu diperkuat oleh perkataan Mu’awiyah, “Pengaturan belanja yang baik itu merupakan setengah usaha dan dia dianggap sebagai setengah mata pencaharian.”
- Membelanjakan harta untuk kebaikan
- Mengutamakan pengeluaran untuk hal yang primer
- Menghindari pembelanjaan untuk barang mewah
Islam mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan terkesan mewah karena dapat mendatangkan kerusakan dan kebinasaan. Allah berfirman dalam QS Al-Israa’: 16. Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Mu’minun: 33. Banyak hadits yang menerangkan haramnya bergaya hidup mewah, diantaranya: “Makan, minum, dan berpakaianlah sekehendakmu, sebab yang membuat kamu berbuat kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.” (Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas).
- Menghindari pembelanjaan yang tidak disyariatkan
- Bersikap tengah-tengah dalam pembelanjaan
Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala perkara. Begitu juga dalam mengeluarkan harta, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa, harta, dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat menahan dan membekukan harta. QS Al Furqan: 67 dan QS Al-Isra’: 29. Jika pembelanjaan harta kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah akan memajukan usaha kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan Allah akan memberikan kelebihan hasil usaha agar kita dapat menyimpan dan menabungnya.

Aturan Menyimpan dan Menabung dalam Rumah Tangga Muslim (hlm 83)
- Menyimpan kelebihan setelah kebutuhan primer terpenuhi
- Menyimpan kelebihan untuk menghadapi kesulitan
- Hak harta generasi mendatang
- Tidak menimbun harta
- Pengembangan harta harus dilakukan dengan baik dan halal

Pengeluaran Rumah Tangga Muslim (hlm 104)
Perkiraan pengeluaran rumah tangga harus selalu dilakukan berdasarkan aturan yang bersumber dari syariat Islam, seperti kesadaran, keseimbangan, sikap tengah, tidak boros, tidak mubazir, tidak kikir, dan semuanya dilakukan untuk membeli sesuatu yang baik dan halal.
Secara umum, pembelanjaan-pengeluaran dalam sebuah rumah tangga meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Pengeluaran utama (kebutuhan primer), yaitu pengeluaran yang digunakan untuk:
a. memelihara jiwa, seperti makan, minum, berpakaian, tempat tinggal, dan kesehatan
b. memelihara agama, seperti pengeluaran untuk ibadah, kebudayaan, dan dakwah Islam
c. memelihara akal, seperti untuk belajar
d. memelihara kehormatan, seperti untuk pernikahan anak-anak
e. memelihara harta, seperti untuk membeli kas tabungan
2. Pengeluaran sekunder, yaitu pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan selain kebutuhan primer (pokok) seperti:
a. pengeluaran untuk orang tua
b. pengeluaran untuk istri yang sudah dicerai
c. pengeluaran untuk zakat harta dan zakat fitrah
d. pengeluaran untuk dana perjuangan
e. pengeluaran lain yang sesuai dengan syara’
f. pengeluaran lain yang sesuai dengan hukum atau aturan manusia
3. Pengeluaran sukarela, yaitu pengeluaran yang mengikuti perubahan situasi dan kondisi seperti:
a. pengeluaran untuk kerabat
b. pengeluaran untuk sedekah
c. pengeluaran untuk memindahkan uang
4. Pengeluaran pelengkap, yaitu pengeluaran yang berhubungan dengan kebutuhan yang bersifat luks (mewah) dengan menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan kondisi, seperti:
a. pengeluaran untuk kebutuhan perayaan atau pesta yang dibolehkan syariat Islam
b. pengeluaran untuk membeli perlengkapan rumah tangga
c. pengeluaran untuk memperindah rumah
d. pengeluaran untuk hal yang bersifat aksesoris
e. pengeluaran untuk membeli alat-alat listrik yang komplet
Islam tidak mengharamkan perhiasan dan segala hal yang dapat mempermudah manusia serta dapat menghilangkan kesulitan. Akan tetapi, hal ini hendaknya sesuai dengan segala sesuatu yang Allah halalkan.
Dalam hal ini, kita harus menegaskan bahwa memang sulit menarik garis yang tegas antara pengeluaran yang dianggap oleh suatu keluarga sebagai kebutuhan pelengkap saja pada waktu tertentu, tetapi ternyata dianggap oleh keluarga yang lain sebagai kebutuhan primer pada suatu saat tertentu dan pada lingkungan tertentu pula. Pengeluaran pelengkap atau sekunder akan berubah menjadi pengeluaran jenis lain bagi sebuah keluarga karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

Literatur: Harta dalam Islam: Panduan Al-Qur’an dan Hadits dalam Mencari dan Membelanjakan Harta dan Kekayaan

LITERATUR 3

Judul : Harta dalam Islam: Panduan Al-Qur’an dan Hadits dalam Mencari dan Membelanjakan Harta dan Kekayaan
Nama Penulis : Ruqaiyah Waris Masqood
Tahun : 2002
Penerbit : Lintas Pustaka, Jakarta
Keterangan : Buku ini merupakan buku terjemahan.


Mengelola Kekayaan dengan Manajemen Samawi (hlm 73)

Kekayaan yang dikelola dengan baik akan membawa keuntungan yang besar bagi manusia, sedangkan kekayaan yang tidak dikelola dengan baik hanya akan menghasilkan ketidakadilan dan penderitaan yang besar khususnya bagi orang-orang yang miskin. (hlm 73)
Dengan melimpahkan harta yang banyak kepada umat Islam, Allah SWT juga memberinya tanggungjawab yang berat untuk menegakkan agama Islam dan membantu sesamanya. Semakin mereka bertambah kaya, semakin berat pula tanggungjawabnya.
Elemen-elemen utama manajemen kekayaan menurut ajaran Islam adalah:
1. Peraturan internal terhadap diri sendiri: menggunakan kekayaan untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT, menjamin bahwa kekayaan akan menguatkan imannya kepada Allah SWT, membersihkan diri dari elemen-elemen ketamakan
2. Tanggungjawab kepada keluarga: pemurah tapi bijaksana dalam membelanjakan harta, menggunakan kekayaannya untuk memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak-anaknya sebaik mungkin
3. Perintah kewajiban sosial: membayar pajak pemerintah secara penuh, membayar zakat secara jujur dan penuh
4. Peran produktivitas: membelanjakan kekayaan sebanyak mungkin untuk tujuan-tujuan produktif, merangsang dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, meningkatkan produktivitas dan efisiensi produk, meningkatkan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (litbang)
5. Sukarela dalam tanggungjawab sosial: menyumbangkan kekayaan untuk beramal, berusaha membelanjakan kekayaannya sebanyak mungkin, menghapuskan kemiskinan dan kebodohan, menyumbangkan kekayaannya untuk perkembangan pendidikan masyarakat
6. Peran kepemimpinan: menyebarluaskan dan melindungi agama Islam, berjuang melawan ketidakadilan dan eksploitasi, meningkatkan moralitas diantara pada pengusaha dan professional, meningkatkan ekonomi pasar dan persaingan bebas.
Melalui pendapatan dan manajemen kekayaan yang sesuai dengan ajaran Islam akan mendapatkan kesuksesan baik di dunia dan akherat. (hlm 74-75)
Manajemen kekayaan harus mencari ridha Allah SWT, QS Al-Hadid 57:7
QS Al Munafikun 63: 9
QS An Nur 24: 37

(hlm 79-80) Ada banyak “prinsip” dasar agama Islam yang berhubungan secara langsung dengan hal ini. Salah satu dari prinsip dasar dalam manajemen kekayaan yang tepat bagi seorang muslim adalah membelanjakan kekayaannya demi kebutuhan dan keinginannya dengan baik, tetapi berhati-hati dalam pengeluaran untuk hal-hal yang mewah. Hal ini bisa dijalankan dengan cara-cara berikut:
1. Secara penuh memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
2. Barang-barang yang dihasilkan memberikan kenyamanan bagi kehidupan keluarganya.
3. Barang-barang yang didapatkan dianggap sebagai kesukaan Allah SWT atas manusia karena barang-barang tersebut memberikan keuntungan dan tidak membahayakan. Allah SWT telah berfirman dalam QS Al-Maidan 5:5
4. Menghabiskan sebanyak mungkin hartanya untuk pendidikan anak-anaknya sehingga mereka akan mengembangkan lebih banyak pada masyarakat dan juga akan melanjutkan untuk mengumpulkan dan mengelola kekayaan dengan cara yang Islam.
5. Dia bisa memberikan pengeluaran dan tidak membuatnya terlibat dalam hutang yang tidak perlu.
Banyaknya pengeluaran yang dilakukan oleh orang-orang kaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya akan meningkatkan sirkulasi kekayaan dalam masyarakat. Hal ini akan menjamin pembelanjaan kekayaan yang lebih baik sebagaimana cepatnya perkembangan ekonomi karena mereka adalah kelompok orang yang memiliki porsi besar dari kekayaan masyarakat. (hlm 80)

Kehati-hatian dalam membelanjakan harta bersifat relatif. Orang yang lebih kaya memiliki kebutuhan yang lebih banyak terhadap barang-barang semi mewah atau bahkan barang-barang mewah. Dia juga menginginkan barang-barang yang berkualitas lebih tinggi. Hal ini diperkenankan dalam agama Islam yang ingin seluruh umatnya hidup dalam kehidupan yang nyaman. Barangsiapa yang bisa mendapatkannya mereka diizinkan hidup dalam kehidupan yang lebih nyaman dan memiliki gaya hidup yang lebih baik. Allah SWT berfirman QS Al Furqon 25: 67

Definisi agama Islam tentang kenyamanan hidup dunia termasuk apa yang indah dan elegan yang disediakan adalah bahwa mereka tidak akan menghamburkan dan tidak ada niat untuk pamer. Maka agama Islam menghalalkan perhiasan. Allah SWT mengajukan pertanyaan: “Katakanlah: siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah SWT yang telah dikeluarkannya untuk hamba-hambanya…” QS Al-A’raf 7: 32 (hlm 81)
Yang lebih penting lagi, kenyamanan hidup dunia dalam agama Islam berarti kebersihan dan kerapian. (hlm 82)
Agama Islam menganjurkan hal-hal yang tidak berlebihan meskipun dalam berbuat baik. Agama Islam melarang segala bentuk kemacetan kekayaan. Allah SWT melimpahkan kekayaan pada umat Islam, hal ini harus didistribusikan ke masyarakat luas supaya dapat membantuk perkembangan pertumbuhan ekonomi dan membelanjakan kekayaan sehingga setiap orang akan mendapat kemakmuran. (hlm 83)

Kekayaan harus didistribusikan seluas mungkin. Allah SWT melarang membelanjakan kekayaan yang hanya terjadi diantara orang-orang kaya yang akan menghasilkan sekelompok kecil oran-orang kaya yang anak semakin bertambah kaya sedangkan mayoritas masyarakat akan mengalami stagnasi atau bahkan bertambah miskin. QS Al-Hasyr 59:7

Salah satu sarana membelanjakan kekayaan yang dilakukan oleh orang-orang kaya adalah melalui konsumsi yang banyak. Inilah sebabnya mengapa Allah SWT melarang praktek monastisisme dan mengizinkan makanan yang baik, pakaian yang indah, rumah yang besar dan sebagainya, bagi siapa yang bisa mendapatkannya. Hal ini juga satu alasan bahwa keindahan dan perhiasan yang layak dan tepat dianggap sebagai hal yang mubah.
Tetapi agama Islam melarang keras menunjukkan kekayaan secara mencolok dengan memiliki barang-barang mewah yang berlebihan dan lebih jauh lagi memamerkannya pada masyarakat. (hlm 84)

Segala macam gaya hidup termasuk konsumsi yang berlebihan terhadap barang-barang yang tidak perlu dan memiliki sedikit keuntungan atau yang lebih membahayakan daripada membawa kebaikan juga dianggap sebagai hal yang mubadzir. Memamerkan kekayaan seperti ini adalah sebuah kerusakan dalam masyarakat dengan membelanjakan kekayaan yang tidak merata dimana mayoritas penduduknya hidup dalam kemiskinan. QS Al Isra 17: 27
QS Ali Imran 3: 117
Menghambur-hamburkan kekayaan seperti ini juga dianggap sebagai tidak bersyukur atas nikmat Allah SWT.

Prinsip penting agama Islam lainnya dalam mengelola kekayaan adalah tidak hanya hidup dengan penghasilannya tetapi juga bisa menabung dari penghasilannya dalam jumlah yang layak. Meskipun orang yang paling miskinpun harus berusaha menabung sesuatu. Dengan begitu agama Islam menolak justifikasi terhadap orang-orang boros yang menghabiskan kekayaannya secara berlebihan dengan alasan karena mereka bisa mendapatkannya. Prinsip menabung seperti ini tidak hanya akan menjamin keamanan masa depannya, tetapi juga bisa membuat umat Islam sebanyak mungkin mendapatkan pahala dari Allah SWT (hlm 85) dengan menyumbangkan sebanyak mungkin untuk amal. Dalam istilah ekonomi, kekayaan yang dibelanjakan dengan boros berarti juga kehilangan biaya untuk membiayai hal-hal yang menguntungkan dan tujuan-tujuan produktif.
Maka menjauhkan diri dari belenggu hutang adalah bagian integral dari konsep manajemen kekayaan yang tepat dalam agama Islam. Terlibat dalam hutang untuk hal-hal yang tidak perlu sangat dilarang. Nabi Muhammad SAW selalu berdoa: “Ya Allah SWT, aku mencari perlindungan kepadaMu dari lilitan hutang dan dari orang-orang yang marah padaku.” HR Abu Dawud.
Akibat manajemen kekayaan yang tidak Islami, beberapa umat Islam sekarang ini menyalahgunakan pinjaman fasilitas kartu kredit untuk hidup melebihi kemampuan yang dimiliki sehingga membawa kecemasan dan permasalahan yang serius baginya dan keluarganya.
Yang lebih penting lagi orang kaya adalah pemilik modal yang merupakan salah satu faktor terpenting dalam produksi. Semakin banyak kekayaan yang dia miliki, semakin banyak pula modal yang dapat diinvestasikan dalam produksi dan aktivitas bisnis. Sesungguhnya orang kaya muslim dengan kelebihan kekayaannya dianjurkan menghabiskannya untuk tujuan-tujuan produktif. Menurut pandangan agama Islam, ini dianggap lebih baik untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak, menambah gaji para karyawan, menciptakan kesempatan usaha, mengurangi harga dan memberikan banyak pilihan produk pada para pelanggan daripada menyumbang pada orang-orang miskin untuk sekedar membantu hidup mereka hari ini dan beberapa hari mendatang. (hlm 86)
Orang kaya muslim juga harus menginvestasikan hartanya sebanyak mungkin untuk penelitian dan pengembangan supaya bisa meningkatkan produk-produk baru atau meningkatkan yang sudah ada yang akan lebih menguntungkan.
Seorang pengusaha kaya harus mempertahankan keseimbangan antara kemurahan hati dan kewaspadaan dalam membelanjakan hartanya. (hlm 87)
Dia harus menghindari pengambilan resiko yang terlalu besar atau melakukan pinjaman terlalu banyak. Karena telah dikaruniai kekayaan dia tidak harus bersaing dalam dunia bisnis kompetitif yang akan mengakibatkan persaingan yang tidak adil dan tidak sehat dan bersaing dengan pengusaha kecil yang akhirnya mematikan bisnis mereka. Dia harus meluaskan usahanya dalam dunia yang baru atau keluar negeri dimana diharapkan pembayaran modal lebih besar dan resiko lebih tinggi.(hlm 88)
Kekayaannya harus digunakan untuk meningkatkan persaingan bebas dan terbuka dan bukan untuk memberhentikan pertumbuhannya.
Orang kaya yang mukmin akan selalu berusaha untuk tidak hanya menciptakan kekayaan tetapi juga membelanjakannya. Sebagian dari kekayaannya harus digunakan untuk menyebarkan filosofi hukum berdasarkan etika praktek bisnis dan untuk menjamin bawa sistem pasar terbuka dan persaingan sehat tidak hanya dipertahankan tetapi juga ditingkatkan.(hlm 89)
Porsi substansial kekayaan harus digunakan untuk melengkapi usaha pemerintah dalam meningkatkan ilmu dan infrastruktur pendidikan. (hlm 90)

Dalam suatu masyarakat, ini cukup normal bagi orang-orang miskin memiliki hubungan cinta-benci dengan orang-orang kaya. Di satu sisi orang-orang miskin benci pada orang kaya. Di sisi lain mereka bergantung amal dan pekerjaan dari orang kaya tersebut. Bagaimanapun juga dalam masyarakat Islam orang miskin yang shaleh tidak akan membenci orang-orang kaya yang shaleh karena orang kaya tersebut mendapatkan kekayaan mereka dengan cara yang jujur dan juga membelanjakannya dengan cara yang bertanggungjawab. (hlm 91-92)

Jika seorang muslim menjalankan manajemen kekayaan dengan tepat, maka proses pengumpulan kekayaan akan berjalan lamban. Dia akan meraih keinginannya untuk menjadi lebih kaya akan tetapi dengan cara yang lamban, jujur, dan aman. Itulah keseluruhan ide di balik manajemen kekayaan Islam, misalnya, menjadi kaya supaya bisa membagi kekayaannya dengan orang lain baik melalui amal dan investasi untuk tujuan-tujuan produktif secara ekonomi. Dengan demikian, seorang muslim akan bersedia mengeluarkan sebanyak mungkin kekayaannya untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT karena telah dijanjikan bahwa barangsiapa yang melakukan ini tidak akan menjadi miskin akan tetapi dia akan semakin kaya. Tujuan-tujuan yang mulia dan diridhai oleh Allah SWT akan menghilangkan ketidaksabaran dan ketamakan untuk mendapatkan kekayaan secara cepat. (hlm 92-93)


Seberapa Jauh Kita Boleh Kaya? (hlm 115)

Hlm 117

Konsep kekayaan yang layak bagi seorang muslim, khususnya seorang pengusaha atau professional, adalah yang memenuhi kriteria berikut ini:
1. Kekayaan yang lebih dari apa yang diharapkan digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok seorang muslim dan keluarganya. (hlm 121)
2. Cukup untuk memberikan kenyamanan hidup yang layak dalam kebersihan yang layak dan lingkungan yang menyenangkan.
3. Cukup untuk memberikan pendidikan agama anak-anak sebagaimana halnya pendidikan keduniawian.
4. Cukup untuk meluaskan bisnis atau usahanya supaya bisa memberikan pelayanan yang lebih baik pada para pelanggannya.
5. Cukup untuk membebaskan dia dari kecemasan yang tidak perlu tentang masa depannya sehingga dia memiliki banyak waktu untuk meraih hal-hal berikut: menunjukkan kewajiban spiritualnya kepada Allah SWT, memberikan kasih sayang dan perhatian kepada seluruh anggota keluarga, meningkatkan atau mempertajam derajat profesionalisme pengetahuannya.
6. Bisa membuatnya jadi pemurah hati dalam beramal.
7. Memberinya banyak waktu untuk meningkatkan kekuatan inovatif dan kreatifitasnya.
8. Memiliki tabungan yang cukup untuk jaminan masa depan seluruh anggota keluarganya sebagaimana untuk melindungi perjuangan agama Islam dari orang-orang yang mengancamnya.
9. Tidak memiliki kekayaan yang berlebih sehingga dia tidak tahu bagaimana menggunakannya secara produktif dan dengan begitu membuka pintu hal-hal yang mubadzir dan penyalahgunaan lainnya.
10. Bisa membuat dia menekuni minat dalam hal-hal kesenian dan pengayaan kebudayaan. (hlm 122)


Membelanjakan Kekayaan (hlm 151)

Skenario dunia terkini tentang budaya komersial yang berlebihan serta penekanan pada perkembangan materi merupakan tujuan utama atau tujuan satu-satunya pengusaha khususnya para pemimpin perusahaan besar untuk menciptakan permintaan, konsumsi secara berlebihan dan keuntungan secara maksimal. (hlm 151)

Kebutuhan manusia bisa diklasifikasikan ke dalam 3 kategori yaitu (hlm 152):
1. Kebutuhan manusia yang mengacu pada kebutuhan pokok seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian
2. Keinginan manusia yang mengacu pada barang dan pelayanan yang tidak esensial tapi menjadi syarat penting karena munculnya standar hidup. Barang tersebut adalah bacaan, sarana transportasi dan komunikasi.
3. Obyek keinginan manusia mengacu pada barang-barang semi mewah atau mewah dan pelayanan seperti mobil, pakaian dan perhiasan yang mahal.

Baik produsen yang bertanggungjawab maupun konsumen yang waspada memiliki peran penting dalam membentuk konsumsi yang sehat dan layak dengan cara mempraktekkan tiga prinsip berikut ini:
1. Memberi prioritas untuk memuaskan kebutuhan manusia.
2. Sekali lagi kebutuhan manusia dapat diperluas, jika tidak secara penuh dipuaskan, prioritas yang cukup bisa diarahkan untuk memuaskan keinginan manusia.
3. Memperluas sumber-sumber minimal untuk memuaskan keinginan manusia.

Agama Islam mengutuk konsumsi yang berlebih-lebihan. (hlm 153)
At-Thabrani telah mencatat bahwa Ibnu Umar, seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW telah memberikan petunjuk yang baik tentang perhiasan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Ketika dia ditanya pakaian macam apa yang bisa dipakai. Maka Ibnu Umar menjawab: “Yaitu pakaian yang tidak akan mengundang cemoohan / caci maki karena kebodohannya (karena harganya yang murah dan jelek) tidak juga yang menyalahkan kebijaksanaan (karena terlalu mahalnya pakaian itu).” (hlm 155)
Pengeluaran yang berlebihan tidak diijinkan meskipun untuk mengkonsumsi kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian. QS Al-A’raaf 7: 31.
Membiasakan pengeluaran yang hati-hati menjadi lebih penting dalam mengkonsumsi barang-barang yang tidak termasuk dalam kebutuhan pokok tetapi dimaksudkan untuk memudahkan hidup manusia dan lebih nyaman seperti mobil, telepon, perkakas rumah tangga dan sebagainya.
Seorang muslim yang kaya harus menahan diri untuk tidak mengkonsumsi barang-barang yang dianggap terlalu mewah dan tidak memberikan keuntungan yang berharga. Konsumsi terhadap barang-barang mahal yang terlalu berlebihan dianggap sebagai pemborosan dan kemubadziran. Pemborosan berarti melebihi batas dari apa yang menguntungkan dalam penggunaan yang dibolehkan dalam agama Islam. Definisi barang-barang yang dianggap terlalu mewah tergantung pada kebutuhan standar kehidupan sebuah negara.
Dalam sebuah negara yang amat miskin, mobil olahraga yang mahal sudah bisa dianggap terlalu mewah. Dalam sebuah negara yang terlalu kaya seperti London dan Paris, menyewa pesawat pribadi untuk membawa seluruh keluarga pergi belanja adalah terlalu mewah (hlm 156). Allah SWT mengingatkan bahwa ketika Dia bermaksud menghancurkan kota-kota besar yang penduduknya sudah melampaui batas dan bertindak dzalim, Dia mengizinkan orang-orang yang mencintai kemewahan untuk melakukan kejahatan. QS Al Isra’ 17: 16.
Nabi Muhammad SAW memperingatkan dalam sabdanya: “Barangsiapa makan atau minum dari alat yang terbuat dari emas/perak, dia telah mengisi perutnya dengan api neraka.” (HR Muslim)
Hal menarik yang perlu dicatat adalah bahwa Imam Al-Ghazali menekankan akan kebutuhan pengawasan tingkah laku konsumen supaya mengurangi pengeluaran yang berlebihan dan pemborosan. Dia menyatakan bahwa pemborosan dalam menghabiskan uang dan kekayaan memiliki dua kejahatan yaitu al-ida’ah (merusak) dan al-isrof (pemborosan). Dia memandang bahwa menghabiskan sejumlah kekayaan untuk hal-hal yang dilarang sama dengan menghabiskan terlalu banyak kekayaan untuk hal-hal yang haram dan keduanya adalah al-ida’ah. Dengan cara yang paling bijaksana, dia memandang pemborosan sebagai suatu istilah yang relatif. Orang kaya yang menghambur-hamburkan kekayaannya untuk sebuah iring-iringan mobil mewah dianggap telah menjalankan al-ida’ah dan al-isrof sebagaimana orang yang layak yang menggunakan kekayaannya yang terbatas untuk mengadakan pesta pernikahan yang mewah untuk anak laki-lakinya. (hlm 157)

Para pengusaha muslim dan konsumen kaya harus sepenuhnya menyadari bahwa alasan pemikiran larangan Islam dari kemewahan yang berlebihan adalah sebagai berikut:
1. Gaya hidup yang berlebihan berjalan jauh melebihi tingkat kenyamanan dan perhiasan yang masuk akal yang diizinkan oleh agama Islam.
2. Gaya hidup seperti itu berarti penghambur-hamburan kekayaan. Hal ini menyelewengkan aset seseorang dari aktivitas produktif yang akan menciptakan banyak lapangan kerja, memproduksi banyak barang dengan permintaan yang banyak dan sebagainya. Karena para pengusaha yang berhubungan dengan barang-barang mewah juga orang-orang kaya, kekayaannya juga akan disirkulasikan di antara orang-orang yang kaya jika mereka menghabiskan banyak dari kekayaannya pada barang-barang mewah. Allah SWT memerintahkan bahwa kekayaan harus tetap disirkulasikan dengan konstan di antara semua bagian yang ada dalam masyarakat dan bukan menjadi monopoli orang-orang kaya. Sekali lagi ini adalah dari kesekian kalinya firman Allah SWT QS Al-Hasyr 54: 7 (hlm 158)
3. Barangsiapa yang menyukai kemewahan secara berlebihan biasanya akan dengan mudah lupa kepada Allah SWT. Mereka menjadi mabuk dengan gaya hidup seperti itu dan menjadi lebih tamak sehingga dia berharap bisa hidup lebih mewah lagi. Mereka tidak hanya melangkah untuk memaksimalkan keuntungan, tapi di antara mereka tidak akan ragu-ragu melakukan penipuan untuk meraih tujuan-tujuan yang lebih tinggi untuk penghidupan yang tidak benar. Mereka bisa dianggap telah menghina atau melawan perintah Allah SWT QS Saba’ 34: 34. Sayyidina Umar bin Khathab telah menyatakan: “Jika kita hidup dengan kehidupan yang mewah di dunia ini, kita akan memiliki sedikit balasan di akhirat.”
4. Kehidupan mewah yang berlebihan, khususnya di tengah-tengah kemiskinan dan penderitaan akan menciptakan kebencian mendalam dari orang-orang miskin terhadap orang kaya. Hal ini akan menjauhi usaha persatuan masyarakat muslim, maka sebuah institusi mutlak diperlukan dalam agama Islam. Agama Islam menganjurkan bahwa seharusnya adalah rasa cinta dan perhatian antara orang kaya dan miskin. Situasi paling jelek yang dapat diterima adalah hubungan cinta-benci oleh orang miskin dan kaya. Situasi dimana orang miskin merasa tidak berarti akan tetapi rasa benci kepada orang kaya akan ditolak secara total dalam agama Islam.
5. Kehidupan mewah yang berlebihan biasanya muncul dari kebanggaan dan keinginan untuk memamerkan kekayaan seseorang. Hal ini dikutuk dalam agama Islam karena akan menimbulkan kecemburuan diantara orang-orang kaya dan akan ikut memberikan pengaruh yang jelek dan tamak. QS Al-Qashash 28: 58. QS Al-Hadid 57: 23. Nabi Muhammad SAW juga telah bersabda: “Di hari pembalasan nanti, Allah SWT tidak akan melihat pada orang yang menyeret jubahnya di belakangnya karena rasa bangga.” (HR Bukhari - Muslim)

Konsumsi yang sehat dan layak tidak hanya akan menjamin kelangsungan pembangunan yang akan menguntungkan generasi yang akan datang, tetapi juga akan mencegah kecenderungan inflasi. Hal ini akan menjamin bahwa para konsumen akan menyesuaikan kecenderungan mereka untuk mengkonsumsi dengan tingkat produktivitas mereka. (hlm 161)

Pengeluaran seorang konsumen tidak boleh melebihi penghasilannya. Sesungguhnya, semakin banyak penghasilannya, tabungannya harus lebih tinggi. Para pemimpin perusahaan dan pemerintah seharusnya menjamin bahwa pengusaha yang tamak dan licik tidak diperbolehkan mengeksploitasi pemborosan orang bodoh dan menghimbau kepada para konsumen yang bodoh untuk mengurangi kebiasaan konsumsi yang berlebihan.
Pengusaha yang jujur yang menanamkan pola konsumsi yang layak, dapat menjamin kemakmuran yang lebih besar untuk generasi masa depan.
Para konsumen yang kaya juga harus setia pada pola konsumsi yang layak, jika dia menghasilkan kekayaannya secara berlebihan, tidak akan banyak yang tersisa untuk tujuan produktif dan amal. Jika mereka menyisihkan sebagian besar dari kekayaannya, akan ada sedikit pengeluaran untuk memberikan penghasilan kepada para pekerja, dan amal bagi orang miskin. QS Asy-Syu’ara 26:151-2. QS An-Nisa’ 4: 36-70.
Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Ada tiga hal yang akan menyelamatkan manusia: takut kepada Allah SWT ketika sendirian atau diantara orang banyak, bersikap layak ketika kaya atau miskin dan bersikap lemah lembut ketika dalam keadaan tenang atau marah.” (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi) hlm 162-163

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...