Monday 7 May 2018

Literatur: Manajemen Harta

LITERATUR 2

Judul : Manajemen Harta
Nama Penulis : Prof. Dr. Sulaiman Al-Asyaqar
Tahun : 2006
Penerbit : Bina Mitra Press, Depok, Indonesia
Keterangan : Judul asli Hukmul Maal diterjemahkan oleh Abu Haikal Fadhel Muhammad

Standar Kecukupan (hlm 14)
Standar kecukupan dan kekayaan diukur berdasarkan adat kebiasaan dan bukan dengan syariat atau bahasa, seseorang dianggap kaya jika ia memiliki harta benda yang melebihi dari kebutuhan dan kecukupannya. Adapun kriteria kecukupan adalah segala sesuatu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak dalam kehidupan, sehingga ukuran kecukupan berbeda-beda untuk tiap zaman, tempat, dan orang. Islam bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat Islam hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya bertahan hidup, dengan cara bekerja dan adanya mobilisasi dana dari orang kaya kepada orang miskin yaitu orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang dianggap dapat digunakan untuk mengukur kecukupan yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pelayan (pembantu), perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku ilmiah, alat-alat kerja produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan, biaya pernikahan, persenjataan bagi yang membutuhkan.
Terdapat banyak dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang standar kecukupan tersebut, diantaranya:
a. Dalil berikut menceritakan bahwa Allah SWT menyediakan bagi Nabi Adam ‘alaihissalam segala kebutuhan pokok di surga berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal.QS Thahaa (20): 118-119: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya". (hlm 15)
b. Hadits muttafaq alaih (Shahih Bukhari dan Muslim) yang berarti “Dari Aisyah r.a. bahwa sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata, “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, dan dia tidak memberikanku harta benda yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali bila aku mengambil sebagian hartanya sedangkan dia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah SAW bersabda “ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan makruf (baik).” Hadits ini menjelaskan tentang urgensi kehidupan yang cukup, dimana Rasulullah SAW menjelaskan tentang nafkah yang harus mencukupi yaitu jumlah yang dikenal cukup untuk ukuran adat kebiasaan. (hlm 18-19)
c. HR Ahmad dan Abu Dawud “Barangsiapa yang menangani suatu tugas, sementara dia belum memiliki rumah, maka hendaklah dia mengambil rumah, atau dia belum memiliki istri, maka hendaklah dia menikah, atau dia belum memiliki pelayan, maka hendaklah dia mengambil pelayan, atau dia belum memiliki hewan tunggangan, maka hendaklah dia mengambil hewan tunggangan.” Hadits ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya orang yang bekerja dan bertugas mengatur harta benda umat, haruslah seorang yang berkecukupan dan memiliki kebutuhan pokok kehidupan yaitu tempat tinggal, istri, pelayan, dan kendaraan. (hlm 19)
d. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Anak Adam tidak memiliki hak selain dalam hal-hal berikut: rumah yang didiaminya, pakaian untuk menutup auratnya, roti yang kering dan air.” Hadits ini merupakan dalil pokok dalam menentukan standar kecukupan. (hlm 19)
e. HR Ibnu Majah “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” Jika menuntut ilmu adalah kewajiban maka segala sarana untuk menuntut ilmu merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. (hlm 20)
f. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa yang bangun pagi dengan rasa aman dalam hatinya, sehat wal afiat jasmaninya, dan dia memiliki makanan untuk hari itu, maka dia seolah-olah telah menggenggam dunia seisinya.” Hadits ini menyebutkan tentang kebutuhan pokok manusia dan merupakan sebagian dari ukuran kecukupan. (hlm 20)
g. HR Abu Dawud “Rasulullah SAW bersabda “berobatlah, karena sesungguhnya Allah SWT tidak menurunkan suatu penyakit melainkan menurunkan pula obatnya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua.” Ketika manusia menghadapi resiko sakit dan membutuhkan obat, maka pengobatan dan terapi merupakan salah satu kebutuhan pokoknya dan bagian dari ukuran kecukupannya untuk menjaga jiwa dan kehidupannya. (hlm 21)

Kriteria kecukupan: segala sesuatu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak dalam kehidupan.
Ulama sejak dulu hingga kini memberikan perhatian dalam menjelaskan tentang standar kecukupan sesuai kebutuhan setiap zaman. Mereka memasukkan beberapa faktor berikut ini: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pelayan (pembantu), perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku ilmiyah, alat-alat kerja, produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan, biaya pernikahan, persenjataan bagi yang membutuhkannya. (hlm 32)
Ukuran kecukupan berbeda-beda untuk tiap-tiap zaman, tempat dan orang.
Sesungguhnya ukuran kecukupan dalam praktik nyata ditentukan oleh pemerintah di suatu negeri dan pada zamannya, dengan pertimbangan keadaan dan kondisi yang berbeda-beda dan dibantu oleh orang-orang yang ahli dan spesialis dari para pakar fiqih dan ekonomi dan lain-lain.
Islam bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat Islam hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya bertahan hidup.
Sesungguhnya orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak, harus diberi santunan dengan nyata yaitu lewat usaha dan dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, membuka lapangan pekerjaan lebar-lebar yang sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. (hlm 33)
Sesungguhnya pertimbangan kecukupan merupakan pertimbangan pokok dalam menentukan tingkat minimal upah dan gaji dalam Islam. Sehingga upah dan gaji seseorang tidak boleh lebih rendah dari standar kecukupannya. (hlm 34)

Maksud-maksud syariat di balik usaha meraih kekayaan yaitu: (1) pemenuhan nafsu kepemilikan karena Islam mensucikan nafsu kepemilikan dan meletakkan batasan-batasan atasnya (hlm 120), (2) mengayakan diri sendiri dan keluarga yang ditanggung, dengan dalil-dalil sebagai berikut: menjaga kehormatan diri, mengemban tanggung jawab, jaminan kecukupan, jihad di jalan Allah SWT (hlm 125), (3) ikut serta membangun masyarakat didasarkan pada dalil bahwa manusia diperintahkan memakmurkan bumi (hlm 129), (4) meraih pahala dan balasan dengan berinfak di jalan Allah SWT (hlm 131).

Alokasi Dana yang tidak Diperbolehkan
Pengalokasian dana di tempat-tempat yang terlarang merupakan tindakan yang menyimpang dari tujuan dan maksud syari’at yang berkenaan dengan kekayaan dan harta benda. Ia merupakan pelanggaran terhadapnya dan pendayagunaan harta benda di tempat yang tidak semestinya. Oleh karena itu syariat tidak membiarkan orang kaya mengalokasikan dana kekayaannya sekehendak nafsunya dan keinginannya sendiri, namun harus disesuaikan dengan kehendak Allah SWT. Pemilik hakiki dari harta benda tersebut dan sesuai dengan syariatnya.
Pengalokasian dana di tempat-tempat yang terlarang merupakan prilaku penyia-nyiaan dan penghamburan harta benda. (hlm 135)
Pengalokasian dana di tempat-tempat yang terlarang merupakan penghancuran hak umat secara keseluruhan dalam harta benda.
Tindakan demikian dapat menghalangi nikmat kekayaan, dimana Al-Qur’an menjelaskan bahwa sesungguhnya harta benda bila digunakan dan dikeluarkan di tempat-tempat tersebut dapat menjadi penghalang dari turunnya kenikmatan dan kekayaan, dan menjadi penyebab kelaparan dan ketakutan. QS An-Nahl: 112 (hlm 136)
Sesungguhnya tindakan demikian menyebabkan penyesalan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya setiap manusia akan ditanya tentang harta bendanya; dari mana dia mendapatkannya dan dimana dan untuk apa dia mempergunakannya.” (HR Tirmidzi) (hlm 137)

Alokasi dana yang tidak diperbolehkan adalah terdiri dari dua poin penting yaitu untuk hal yang haram dan untuk hal yang mubah. Adapun alokasi dana untuk hal yang haram tidak diperbolehkan samasekali, baik berupa barang maupun perilaku yang haram. Sedangkan untuk hal yang mubah diperbolehkan tetapi tidak berlebihan (hlm 145), diantaranya adalah: makanan, minuman, pakaian, berkendaraan, pembangunan, pesta dan acara, wisata.

Manhaj Islam dalam Membelanjakan Harta Benda (hlm 159)
Al-Asyaqar (2006) menjelaskan bahwa dalam rangka membelanjakan harta secara Islami, maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam diri pembelanja dan ketentuan dalam membelanjakan harta. Syarat untuk pembelanja adalah: iman kepada Allah SWT dan ikhlas karena Allah SWT, diperoleh dengan usaha yang disyariatkan dan baik, tidak membanggakan dan menyebut-nyebut harta yang diinfakkan kepada orang lain, dialokasikan pada tempat-tempat yang disyariatkan, tidak bersikap aniaya dan zalim kepada orang lain, serta menyadari dan mensyukuri nikmat kekayaan adalah dari Allah SWT.
Ketentuan mengalokasikan dana atau berinfak adalah: memulai dengan skala prioritas yaitu dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga dan kerabat yang paling dekat, jika ada kelebihan dari kebutuhan tersebut boleh berinfak kepada orang lain, menyegerakan melakukannya sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, dan sederhana. Ayat berikut menjelaskan tentang bagaimana alokasi pembelanjaan harta yang ideal menurut Islam. QS Al-Furqan (25) ayat 67 “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
Yang dimaksud sederhana (hlm 186) adalah kondisi pertengahan dan keseimbangan, yaitu menghindari: (1) sikap boros, mubadzir dan berlebihan, serta menghindari (2) sikap bakhil dan kikir. Pengelolaan harta dalam Islam bersikap pertengahan, adil, dan seimbang yaitu mengalokasikan infak pada tempatnya yang proporsional dan baik sehingga sistem masyarakat akan terbangun dan berjalan serta tidak terhenti. Pemborosan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sedangkan kikir berakibat pada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan pada orang-orang yang berhak.
Dalil berikut melarang pemborosan atau israf dan kewajiban bersikap sederhana dan adil. Definisi pemborosan (israf) adalah pembelanjaan dan penggunaan sesuatu melebihi kelayakannya yaitu membelanjakan harta pada tempat-tempat yang disyariatkan namun melebihi standar yang dibutuhkan. Definisi tabdzir adalah membelanjakan dan mempergunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya yaitu dapat diartikan pada hal-hal yang haram. QS Al-A’raaf (7) ayat 31 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Selain dilarang berlebihan, juga tidak dianjurkan untuk meninggalkan kebutuhan materi sepenuhnya karena hal itu merupakan hak bagi tubuh manusia yang dapat ditemukan landasannya dalam ayat berikut. QS Al-Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Definisi bakhil adalah menahan diri dari harta sendiri yaitu menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunnah. Definisi kikir (taqtir) adalah bagian dari sikap bakhil tetapi terlalu menyempitkan dan hemat atas nafkah keluarga hingga menyebabkan kelaparan. Dalil pelarangan sikap bakhil terdapat dalam ayat berikut. QS Ali Imran (3): 180 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Skala Prioritas dalam Mengalokasikan Harta
Dalil-dalil berikut menjelaskan tentang skala prioritas yang harus diikuti dalam mengalokasikan harta yang dimiliki yaitu dari dirinya sendiri, kemudian keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungannya, dan kemudian bagi orang-orang lain yang membutuhkan dalam masyarakat:
a. Ayat berikut menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mengontrol harta bendanya yang dapat memenuhi kebutuhannya dan tanggungannya, dan bila masih tersisa melebihi batas kecukupan maka boleh diinfakkan. QS Al-Baqarah (2): 219: “…Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (hlm 175)
b. Hadits Shahih Bukhari dan Muslim “Rasulullah SAW bersabda “Sebaik-baik sedekah adalah yang kamu keluarkan dari keadaan yang kaya, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.” Hadits ini menunjukkan sebaik-baik sedekah dan infak yang utama adalah harta benda yang dikeluarkan setelah menyisihkan sejumlah harta yang cukup untuk dirinya dan keluarganya. (hlm 175)
c. HR Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah kalian!” seseorang berkata “aku punya satu dinar”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas dirimu sendiri”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas istrimu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas anakmu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “kamu lebih tahu (dimana kamu menginfakkannya).” Hadits ini menunjukkan bahwa manusia harus menjamin terlebih dahulu kecukupan dirinya dan tanggungannya baru boleh bersedekah setelah itu dari kelebihannya. (hlm 172)

QS Al-Ahqaf: 20
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan adzab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik".

Larangan Orang Kaya Membelanjakan Hartanya (Al-Hajru)

Al-Hajru yang berarti larangan mutlak adalah larangan terhadap seseorang dalam mengelola dan membelanjakan harta bendanya. Hikmah al-hajru: (1) Memelihara harta benda. Hal itu dilakukan bila pemilik harta tidak pandai mengelolanya sehingga harus diserahkan kepada wali yang mampu mengelolanya dan menumbuhkannya dengan maksud menjaga maslahat pemiliknya. (2) Memelihara maslahat umat secara umum. Harta benda itu meskipun milik orang kaya, tapi umat memiliki bagian hak di dalamnya. Dan bila penyerahan harta ke tangan orang-orang yang kaya dan hak pengelolaannya secara bebas, menyebabkan umat kehilangan dan terlantar bagian mereka dari hak tersebut, maka orang-orang yang kaya itu harus dicegah dari pengelolaannya dan pembelanjaannya. (3) Memelihara harta umat dari kesia-siaan dan diterlantarkan. Hal itu disebabkan pemeliharaan harta benda merupakan salah satu tujuan syariat. Oleh karena itu harta tidak boleh dibiarkan terlantar dan disia-siakan oleh tangan orang-orang yang tak bertanggungjawab, dan menghilangkan maksud yang pokok tersebut. Sebab-sebab al-hajru: (a) tidak professional atau kurang professional, dan (b) kebodohan dan kejahilan. (hlm 190-191)

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...