Monday 7 May 2018

Proposal: Latar Belakang

APLIKASI ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT DALAM PERSONAL FINANCE UNTUK MENGELIMINIR DAMPAK NEGATIF KONSUMERISME

Personal finance adalah suatu subjek yang digunakan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari dalam pengelolaan keuangan pribadinya. Kemampuan ini dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya (life skill) karena hal tersebut mempengaruhi kualitas hidup semua orang mulai dari individu hingga tingkat Negara. Edukasi personal finance merupakan bekal bagi calon konsumen untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan personal sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi. Kenyataannya tidak banyak didapati lembaga pendidikan formal yang memiliki perhatian dan dapat mengakomodasi kebutuhan akan edukasi personal finance. (Morton, 2005)

Usaha untuk melakukan edukasi industri keuangan secara informal telah dilakukan beberapa pihak, baik dari regulator, pelaku industri, dan individu maupun organisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya program literasi keuangan dari regulator industri keuangan di Indonesia yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mengeluarkan data indeks literasi dan indeks utilitas sektor keuangan yang dianggap dapat sedikit mewakili keadaan literasi keuangan (financial literacy) di Indonesia. Menurut data tersebut, secara keseluruhan mayoritas masyarakat telah menggunakan industri perbankan dan memiliki tingkat pemahaman yang cukup. Sedangkan untuk sektor keuangan lainnya seperti: asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, pasar modal dan pegadaian; mayoritas masyarakat memiliki tingkat literasi rendah dan hanya sebagian kecil masyarakat yang telah menggunakannya.

Tabel 1.1. Indeks Literasi dan Indeks Utilitas Sektor Keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan

- Well literate: Perbankan 21.80% Asuransi 17.84% Perusahaan Pembiayaan 9.80% Dana Pensiun 7.13% Pasar Modal 3.79% Gadai 14.85%
- Sufficient literate: Perbankan 75.44% Asuransi 41.69% Perusahaan Pembiayaan 17.89% Dana Pensiun 11.74% Pasar Modal 2.40% Gadai 38.89%
- Less literate: Perbankan 2.04% Asuransi 0.68% Perusahaan Pembiayaan 0.21% Dana Pensiun 0.11% Pasar Modal 0.03% Gadai 0.83%
- Not literate: Perbankan 0.73% Asuransi 39.80% Perusahaan Pembiayaan 72.10% Dana Pensiun 81.03% Pasar Modal 93.79% Gadai 45.44%
Utilitas: Perbankan 57.28% Asuransi 11.81% Perusahaan Pembiayaan 6.33% Dana Pensiun 1.53% Pasar Modal 0.11% Gadai 5.04%

Sumber: www. ojk.go.id (8 Agustus 2015)

Selain pengetahuan tentang produk-produk industri keuangan, kebanyakan keluarga terutama di perkotaan memiliki resiko tinggi untuk terpengaruh dengan gaya hidup modern yang konsumtif dan materialistis. Akibatnya, terjadi perubahan budaya ke arah yang bertolak belakang dengan prinsip hidup madani. Gaya hidup berlebihan dan komsumtif merupakan bagian dari pengaruh negatif modernisasi dan globalisasi. (Tamanni dan Mukhlisin, 2013 )

Secara global, kolonialisme dapat dianggap sebagai pemicu awal konsumerisme dimana motivasi utama melakukan konsumsi adalah adanya penawaran dan bukan dari adanya permintaan. Kemudian budaya konsumsi mulai terlihat pada tahun 1600an di Eropa dan meluas pada abad ke 18 yang ditandai dengan meningkatnya produksi barang-barang. Revolusi industri di era industri yang memunculkan produksi massal semakin mengukuhkan budaya konsumerisme. Hal itu ditandai dengan adanya budaya shopping yang dilakukan oleh masyarakat luas dan telah diamati perilakunya di Amerika Serikat pada tahun 1960an . Kemudian pada abad ke 21 telah menjadi trend general untuk mengikuti gaya hidup orang-orang yang berada dianggap berada di tingkat hirarki yang lebih tinggi. Orang miskin ingin mengikuti gaya hidup orang kaya dan orang kaya ingin mengikuti gaya hidup tokoh-tokoh dan selebriti. Konsumerisme telah menjadi ideologi budaya di seluruh dunia.

Hal ini juga dipicu dengan banyaknya informasi yang masuk sehingga masyarakat telah terprogram untuk menjadi bagian dari globalisasi kapitalis. Perkembangan di bidang teknologi informasi telah menjadikan batas antara informasi dan iklan menjadi tidak jelas. Masyarakat terekspos pada budaya yang dianggap modern. Secara tidak sadar, masyarakat telah terprogram untuk mengikuti budaya yang mengedepankan materi dan membagi kelas masyarakat dalam suatu hirarki yang berdasarkan tingkat harta yang dimiliki.
Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Seiring dengan adanya pergeseran nilai, konsumerisme juga menjalar kemana-mana, baik di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Heryanto (2004) membuktikan bahwa dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.

Referensi:
Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia. Nirmana Vol. 6, No. 1, Januari 2004 hlm 52-62.
Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education. Artikel dalam jurnal Social Education 69(2), pp. 66-69 diterbitkan oleh National Council for the Social Studies.
Tamanni, Luqyan dan Murniati Mukhlisin (2013). Sakinah Finance: Solusi Mudah Mengatur Keuangan Keluarga Islami. Solo: Tinta Medina.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...