Monday 7 May 2018

Literatur: Fiqih Finansial

LITERATUR 1

Judul : Fiqih Finansial
Nama Penulis : Abdullah Lam bin Ibrahim
Tahun : 2005
Penerbit : Era Intermedia
Keterangan : Judul asli “Ahkamul Aghniya’ fisy Syari’ah Al-Islamiyyah wa Atsaruhu” diterbitkan oleh penerbit Darun Nafais di Amman, Yordania. Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian ilmiah

Kata Pengantar
Sesungguhnya Islam tidaklah mencela kekayaan pada sisi materinya, tapi hanya mencela keburukan dan bencana yang ditimbulkannya. Bencana dan keburukan ini muncul karena penyelewengan dari manhaj Islam yang seharusnya mengatur dan mengelola perilaku orang-orang kaya, dan karena tidak adanya komitmen mereka terhadap syariat Allah Swt. Ketidakjelasan dan kerancuan dalam masalah ini menjadi penyebab utama kehancuran umat dan individu sejak dulu hingga kini. Pada awal Islam, problem ini telah diperlihatkan kepada umat, namun Rasulullah Saw. belum memberikan solusi hingga wahyu Allah sendiri yang menjawabnya dan memberikan solusi.

Standar Kecukupan dan Kekayaan (hlm 9-33)
Kesimpulan tentang standar kecukupan:
A. Kriteria kecukupan; segala sesuatu yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak.
B. Para ulama sejak dulu hingga kini memberikan perhatian dalam menjelaskan tentang standar kecukupan sesuai kebutuhan setiap zaman. Mereka memasukkan beberapa faktor berikut ini: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pembantu, perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku pengetahuan, alat-alat produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat, pemerdekaan dari perbudakan, biaya pernikahan, peralatan bela diri. (hlm 24)
C. Ukuran kecukupan berbeda-beda untuk tiap-tiap zaman, tempat dan orang.
D. Ukuran kecukupan dalam praktik nyata ditentukan oleh pemerintah di suatu negri dan pada zamannya, dengan pertimbangan keadaan dan kondisi yang berbeda-beda dan dibantu oleh para ahli, seperti para pakar fikih, ekonomi dan lain-lain.
E. Islam bertujuan meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat Islam hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya sampai bisa bertahan hidup.
F. Orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak, harus diberi santunan dengan nyata, yaitu lewat usaha dan dengan cara memenuhi kebutuhan pokok mereka, membuka lapangan pekerjaan.
G. Pertimbangan kecukupan merupakan pertimbangan pokok dalam menentukan tingkat minimal upah dan gaji dalam Islam. (hlm 25)
Standar ukuran kekayaan minimal diserahkan ketentuannya kepada kebiasaan dan adat. Sedangkan untuk standar kekayaan maksimal tidak ada batasannya.

Alokasi Dana Yang Tidak Diperbolehkan (hlm 113-126)
Setelah meneliti nash-nash syariat, diketahui bahwa sesungguhnya hikmah dijelaskannya beberapa alokasi dana yang terlarang adalah sebagai berikut:
1. Merupakan tindakan yang menyimpang dari tujuan dan maksud syariat
2. Merupakan perilaku penyia-nyiaan dan penghamburan harta benda
3. Merupakan penghancuran hak umat secara keseluruhan
4. Tindakan tersebut dapat menghalangi nikmat kekayaan
5. Tindakan tersebut menyebabkan penyesalan di akhirat
Alokasi dana untuk barang dan perilaku yang haram tidak diperbolehkan diantaranya: alokasi dana untuk patung dan berhala, jual beli darah, pembelanjaan harta benda dalam hiburan dan hura-hura. Yang dimaksud dengan hiburan adalah pemuasan hawa nafsu dengan cara-cara yang haram seperti berhura-hura, bermabuk-mabukan, dan sebagainya.
Alokasi dana yang berlebihan dalam perkara-perkara yang mubah, contohnya:
1. Berlebihan dalam hal makanan, minuman, dan berpakaian.
2. Berlebihan dalam hal kendaraan, contohnya berganti-ganti mobil bukan karena desakan kebutuhan, namun lebih karena ingin supaya tampak gengsi, membanggakan diri, dan dikagumi oleh orang lain. Rasulullah SAW bersabda, “Kuda tunggangan (kendaraan) yang mendatangkan pahala bagi seseorang, bisa menjadi tameng baginya, dan bisa pula melahirkan dosa baginya. Adapun kuda tunggangan (kendaraan) yang mendatangkan pahala adalah kuda yang dipergunakan di jalan Allah SWT hingga sebagian besar waktunya berada di lembah dan di lereng, itu menjadi pahala baginya. Seandainya tali kendali kudanya itu putus, kemudian lari naik ke satu bukit atau dua bukit maka seluruh jejak dan kotorannya menjadi pahala baginya, dan seandainya ia berjalan melewati sungai kemudian kuda itu minum, padahal ia tidak bermaksud memberinya minum, maka itu menjadi pahala baginya. Jadi, kuda seperti itu merupakan ladang pahala bagi pemiliknya. Adapun seseorang yang menggunakan kuda tunggangan dengan maksud agar bisa mandiridan menjaga harga dirinya (dengan tidak meminta-minta kepada orang lain), serta tidak melupakan hak Allah SWT di dalam penggunaannya, maka kuda itu merupakan tameng baginya. Sedangkan orang yang menggunakannya dengan sikap sombong, congkak, riya’, dan melawan orang-orang Islam, maka kuda itu merupakan ladang dosa baginya.”
3. Berlebihan dalam membangun, seperti membangun sebuah bangunan yang tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan atau membangun untuk menyombongkan diri dan memamerkannya.
4. Berlebihan dalam acara pesta seperti pesta yang diselenggarakan dengan menghambur-hamburkan banyak harta, termasuk sikap pemborosan, bid’ah, suka pamer kekayaan, membanggakan diri, mengabaikan sunnah dan keberkahan. Itu karena kebanyakan kaum Muslimin tidak lagi berpegang kepada sunah dan aturan syariat dalam menyelenggarakan sebuah acara dan pesta, dan hanya taklid buta terhadap tradisi-tradisi yang berseberangan dengan syariat.
5. Membelanjakan harta untuk wisata secara berlebihan. Wisata pada dasarnya mubah selama: (1) memperhatikan skala prioritas seperti mendahulukan ibadah haji, utang dan kewajiban jihad, (2) tidak bercampur dengan perkara yang terlarang seperti pelacuran dan minuman keras, (3) tetap melakukan amar makruf nahi munkar selama berwisata, (4) perjalanan wisata tidak memperkuat perekonomian musuh-musuh Islam.

Manhaj Islam dalam Membelanjakan Harta (hlm 143-158)
Ketentuan membelanjakan harta: memulai dengan skala prioritas, berinfak dengan kelebihan dari kebutuhan pokok, menyegerakan berinfak sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, sederhana dalam berinfak. Adapun ketentuan yang terkait dengan permasalahan konsumerisme dijelaskan lebih lanjut yaitu sederhana dan seimbang dalam berinfak, dan menghindari israf, tabdzir, bakhil, kikir.
Hadits tentang memulai dengan skala prioritas: Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Seseorang menghadap Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah SAW, aku memiliki uang satu dinar, apa yang harus aku lakukan dengannya?’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Belanjakanlah untuk keperluanmu sendiri’. Dia berkata lagi, ‘Aku memiliki satu dinar yang lain, apa yang harus aku lakukan dengannya?’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Belanjakanlah untuk keperluan istrimu’. Dia berkata lagi ‘Aku memiliki satu dinar lagi’. Rasulullah SAW bersabda, ‘Belanjakanlah untuk keperluan anakmu’. Dia berkata lagi, ‘Aku memiliki satu dinar lagi yang lain, apa yang harus aku lakukan dengannya?’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Belanjakanlah untuk keperluan pembantumu’. Dia berkata lagi, ‘Aku memiliki satu dinar lagi yang lain, apa yang harus aku lakukan dengannya?’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Kamu tentunya lebih tahu dengan urusanmu sendiri’” (HR Ibnu Hibban)
Sederhana adalah sebuah sikap pertengahan dan seimbang, yakni antara sikap berlebihan dan boros dan sikap bakhil dan kikir. Israf atau berlebihan adalah menggunakan sesuatu melebihi takaran yang selayaknya atau melebihi standar yang dibutuhkan. Tabdzir atau pemborosan adalah menggunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya, seperti membelanjakan harta untuk hal yang diharamkan. Bakhil adalah sikap menahan harta milik pribadi. Hakikat bakhil adalah menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunah. Taqtir atau kikir adalah mempersempit pemberian dan terlalu hemat dalam menafkahi keluarganya sehingga membuat kelaparan. Sikap berlebihan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga infak tidak dapat dijaga dan dilestarikan. Sedangkan sifat kikir itu berakibat kepada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan kepada orang-orang yang berhak atasnya. (hlm 155-156)

Larangan Membelanjakan Harta bagi Orang Kaya (al-Hajr) hlm 159
Al Hajr adalah larangan terhadap seseorang untuk mengelola dan membelanjakan harta bendanya. Larangan tersebut disebabkan karena: (1) tidak ada keahlian atau kurang keahlian dan (2) kebodohan. Keahlian atau ahliyyah adalah kapasitas atau kelayakan seseorang untuk menerima beban kewajiban yang disyariatkan atasnya dan untuk memperoleh hak-hak yang telah disyariatkan untuknya. Kebodohan adalah sikap gegabah, ceroboh dan kurang hati-hati yang mendorong seseorang melakukan sesuatu terhadap hartanya, yang tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat.

Pengaruh Kekayaan terhadap Kewajiban Menunaikan Hak-hak Sesama Hamba (hlm 221)
Syariat mewajibkan orang kaya yang memiliki utang agar segera melunasinya dan haram baginya menunda-nunda pembayaran. Urutan kewajiban nafkah: menafkahi diri sendiri, menafkahi istri, menafkahi kerabat yaitu anak, kedua orang tua, dan kerabat lain. Orang kaya memiliki kewajiban terhadap negara dan masyarakat: menopang negara ketika krisis, bersama negara membangun kepentingan umum, bersama negara mengatasi problem kemiskinan.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...