Tuesday 22 October 2019

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017)
Otoritas Jasa Keuangan

BAB 1
Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate dan Financially Inclusive

BAB 2
Transformasi Masyarakat Indonesia Menuju Masyarakat yang Sejahtera

BAB 3
Pengaruh Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat terhadap Perluasan Akses Keuangan

BAB 4
Literasi dan Inklusi Keuangan Sektor Jasa Keuangan Syariah

BAB 5
Delivery Channel Produk dan Layanan Jasa Keuangan

BAB 6
Era Digital dalam Layanan Keuangan

BAB 7
Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia

BAB 8
Core Action Literasi dan Inklusi di Sektor Jasa Keuangan

Monday 20 May 2019

Kerangka Pemikiran Penelitian

2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Variabel pertama adalah konsumerisme, termasuk didalamnya pembahasan mengenai penyebab dan dampak konsumerisme pada masyarakat. Variabel kedua adalah pengelolaan keuangan personal (personal finance) dan variabel ketiga adalah manajemen harta Islami. Manajemen harta Islami digunakan untuk melengkapi pengelolaan keuangan personal dan keduanya membentuk solusi bagi permasalahan konsumerisme. Berikut bagan hubungan antar variabel dalam penelitian ini:

Kajian Literatur

2.3. Kajian Literatur

1. Roger Swagler (2005). Evolution and Applications of the Term Consumerism: Theme and Variations.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas sejarah dan aplikasi istilah konsumerisme yang memiliki dua jenis definisi yaitu: (1) konsumerisme dalam arti pergerakan (consumerist movement), dan (2) konsumerisme dalam arti gaya hidup yang didasarkan pada materialisme.
Persamaan: membahas konsumerisme.
Pengembangan: penelitian ini membahas konsumerisme dalam arti gaya hidup yang didasarkan pada materialisme.

2. Peter N. Stearns (2001). Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire.

Rangkuman: penelitian tersebut berusaha memahami konsumerisme sebagai: (1) suatu fenomena internasional, (2) dari sudut pandang sejarah, (3) agar dapat mengambil pelajaran dan menentukan sikap.
Persamaan: berusaha memahami fenomena konsumerisme agar dapat menemukan solusi.
Pengembangan: penelitian ini berusaha memahami fenomena konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan menentukan sikap berdasarkan konsep manajemen harta Islami.

Textbook by a professor of history, 161 halaman semua membahas tentang konsumerisme sebagai fenomena internasional dan fenomena sejarah. Membahas sejarah konsumerisme di dunia, diharapkan dengan mengerti sejarah dapat mengambil pelajaran dan menentukan sikap terhadap konsumerisme.

3. Alfitri (2007). Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas fenomena konsumerisme dari sudut pandang ilmu sosiologi. Budaya konsumerisme turut disebabkan karena adanya kekuatan media massa, dan ketersediaan fasilitas perbelanjaan modern. Konsumerisme menyebabkan perubahan pola pembelian produk, pengeluaran yang tidak terkelola dan tidak produktif, menyebabkan penurunan kualitas hidup dan menyebabkan kriminalitas serta dapat merusak kehidupan rumah tangga.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme di Indonesia.
Pengembangan: penelitian ini membahas fenomena konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan manajemen harta Islami.

Konsumerisme dalam ilmu sosiologi, menjelaskan penyebab dan dampak konsumerisme, tidak menawarkan solusi.

Consumerism culture affecting someone’s attitude to decide the purchase on one product, that obviously controlled by the power of mass media. The change of this consumerism culture is a logic consequences of living exposure that triggered by city environment that provide modern shopping facility. Consumerism culture create un-manage person in spending money, un-productive, and it only give a fake realization to the society. For a lower class society, this consumerism culture could trigger the decreasing of living quality and it can also create a criminal act and destroying a family living.

4. Liska, Marisa (2011). Konsumerisme sebagai Faktor Penarik Terjadinya Fenomena Enjokousai dalam Masyarakat Jepang Kontemporer.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas penyebab dan dampak konsumerisme di Jepang dari sudut pandang budaya.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme.
Pengembangan: penelitian ini membahas penyebab dan dampak konsumerisme di Indonesia, dan membahas konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan manajemen harta Islami.

5. Raaij, W. Fred van (1993). Postmodern Consumption.

Rangkuman: penelitian tersebut membahas pola konsumsi era posmodern di dunia dari sudut pandang psikologi ekonomi.
Persamaan: membahas pola konsumsi era posmodern.
Pengembangan: penelitian ini membahas pola konsumsi dari sudut pandangan keuangan personal.

Jurnal economic psychology, menjelaskan pola konsumsi di era postmodern.
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/016748709390032G

6. Neuner, Michael, Gerhard Raab, Lucia A. Reisch (2004). Compulsive buying in maturing consumer societies: An empirical re-inquiry.

Rangkuman: sudut pandang penelitian tersebut adalah psikologi ekonomi yang membahas salah satu bagian dari konsumerisme. Bagian yang dibahas adalah pembelian berdasarkan dorongan sesaat (compulsive buying) di negara-negara dengan budaya konsumen yang telah matang seperti Jerman.
Persamaan: membahas fenomena konsumerisme.
Pengembangan: penelitian ini membahas konsumerisme di Indonesia dari sudut pandang keuangan personal.

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167487004000741

7. Zygmut Bauman (2005). Work, Consumerism and The New Poor: Second Edition.

Rangkuman: Bauman memandang konsumerisme dengan sudut pandang ilmu sosiologi. Konsumerisme dikaitkan dengan pergeseran nilai etika kerja menjadi budaya konsumsi sehingga memunculkan kemiskinan jenis baru, yang dianggap kaum miskin adalah orang yang tidak dapat melakukan konsumsi sesuai dengan standar masyarakat.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme.
Pengembangan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal, ditambah solusi atas permasalahan yang disebabkan dari konsumerisme.

professor sosiologi, textbook 136 halaman

8. Douglas Dowd (2009). Inequality and the Global Economic Crisis.

Rangkuman: penyebab konsumerisme dimulai dari perkembangan kapitalisme, globalisasi, dan perkembangan sektor keuangan, ideologi neo-liberal, dan inequality. Inequality atau ketidakmerataan ini terjadi pada pendapatan, kekayaan (wealth), dan kekuasaan (power). Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmerataan semakin meluas adalah budaya konsumerisme dan media yang membantu menyebarluaskannya.
Persamaan: membahas penyebab dan dampak konsumerisme.
Pengembangan: membahas penyebab, dampak, dan solusi konsumerisme.

9. Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia.

Rangkuman: dengan adanya modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.
Persamaan: membahas penyebab konsumerisme di Indonesia.
Pengembangan: membahas dampak konsumerisme pada keuangan personal dan menawarkan solusi.

Jurusan desain komunikasi visual, fakultas seni dan desain. Membahas penyebab konsumerisme di Indonesia. Modernisasi yang memanfaatkan teknologi dan modal asing menyebabkan pergeseran nilai, termasuk konsumerisme. Nilai-nilai baru ini perlahan-lahan menggeser kebudayaan tradisional. Lebih

10. Kasser, Tim dan Allen D. Kanner. Ed.(2004). Psychology and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World.

Rangkuman: merupakan gabungan beberapa penelitian yang menjadi suatu pembahasan tentang budaya konsumen dari sudut pandang psikologi secara komprehensif. Diantara pembahasannya adalah: (1) permasalahan konsumerisme didasari oleh nilai-nilai materialistis dan bagaimana materialisme telah mempengaruhi kebahagiaan, (2) menawarkan solusi psikologis atas konsumsi berlebihan dengan kontrol diri, (3) komersialisasi kehidupan, (4) globalisasi dan budaya korporasi, dan sebagainya.
Persamaan: membahas penyebab, dampak, dan solusi konsumerisme.
Pengembangan: membahas konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan manajemen harta Islami.

Buku 255 halaman membahas budaya konsumen dari sudut pandang psikologi: permasalahan dan solusi. 1. where is the psychology of consumer culture? 2.materialistic values: their causes and consequences (hlm8) 3.why are materialists less satisfied 4.globalization, corporate culture, and freedom 5.shopping for sustainability:psychological solutions to overconsumption 6.materialism and the evolution of consciousness 7.mindfulness and consumerism 8.lethal consumption:death-denying materialism 9.acquisitive desire: assessment and treatment 10.self-control and compulsive buying 11.money,meaning, and identity:coming to terms with being wealthy 12.the commercialization of childhood: understanding the problem and finding solutions 13.commercialism’s influence on black youth: the case of dress-related challenges 14.”the more you subtract, the more you add”: cutting girls down to size

11. Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education.

Rangkuman: Membahas pentingnya pendidikan personal finance karena para siswa akan terus menggunakannya dalam pengambilan keputusan ekonomi sepanjang hidupnya baik sebagai konsumen, penabung, investor, tenaga kerja, dan warga negara. Sehingga sudah saatnya memasukkan kurikulum pendidikan keuangan personal dalam pendidikan formal tingkat menengah atas. Ilmu ekonomi menyediakan kerangka konseptual untuk pendidikan keuangan personal, sehingga siswa dapat menggunakan prinsip-prinsip dasar ekonomi untuk membuat keputusan kritis.
Persamaan: menggunakan prinsip-prinsip ilmu ekonomi dalam pengambilan keputusan keuangan personal.
Pengembangan: penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip ilmu ekonomi Islam dalam pengambilan keputusan keuangan personal, terkait permasalahan konsumerisme.

12. Mukhlisin, Murniati dan Luqyan Tamanni (2015). Accounting Literacy and Poverty Eradication; Preliminary Case studies in Egypt and Indonesia.

Rangkuman: Merancang sistem pencatatan akunting yang dapat digunakan oleh keluarga dan para nasabah keuangan mikro untuk membantu pengambilan keputusan, dalam rangka menanggulangi kemiskinan di Mesir dan Indonesia.
Persamaan: mencari solusi terhadap permasalahan ekonomi mikro dengan menggunakan sistem pencatatan akunting untuk keuangan personal.
Pengembangan: mencari solusi terhadap permasalahan konsumerisme dalam keuangan personal menggunakan pengelolaan keuangan dan manajemen harta Islami.

Meneliti penggunaan sistem akunting sebagai solusi dari permasalahan kemiskinan. Kemiripan dalam penggunaan bagian dari ilmu ekonomi dalam menyelesaikan permasalahan keuangan mikro.

13. Bawono, Anton (2014). Kontribusi Religiusitas dalam Rasionalitas Konsumsi Rumah Tangga Muslim.

Rangkuman: hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku konsumsi rumah tangga muslim yang menjadi sampel penelitian menggambarkan rata-rata responden berada pada posisi tingkat religiusitasnya cukup tinggi. Dapat disimpulkan bahwa tingkat konsumsi seorang muslim masih tergolong rasional dan tidak berlebihan. Salah satu penyebab rasionalitasnya konsumsi seorang muslim adalah tingkat religiusitas, sehingga konsumsinya tidak berlebihan.
Persamaan: membahas konsumsi dari sudut pandang agama Islam.
Pengembangan: membahas permasalahan dan solusi konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan konsep manajemen harta Islami.

14. Varul, Matthias Zick (2008). After Heroism: Religion versus Consumerism. Preliminaries for an Investigation of Protestantism and Islam under Consumer Culture.

Rangkuman: membahas bagaimana ajaran agama Protestan dan Islam menyikapi konsumerisme dalam budaya konsumen.
Persamaan: membahas sikap agama Islam terhadap konsumerisme dalam budaya konsumen.
Pengembangan: membahas secara lebih mendalam bagaimana ajaran agama Islam melalui manajemen harta Islami menyediakan solusi bagi permasalahan konsumerisme.

Using Protestantism and Islam as examples, the intricate relation between consumerism and religion is examined. Beyond the opposition of religious ‘heroic’ anticonsumerism and secular ‘romantic’ consumerism, it will be argued, there is mutual accommodation and even convergence. On the one hand consumerism challenges religion by taking over some genuinely religious functions; on the other hand it exacerbates and accelerates a religious dynamics of probation and, thereby, invites religion to a specifically consumerist revival. The condition for such a revival, however, is that friend/enemy distinctions based on religion are transformed into a variant of the decidedly un-heroic ‘war of shopping’. Religious commitment is assimilated to consumer preferences, and becomes reversible.

15. Mujahidin, Anwar (2013). Konsumerisme Dan Konsumisme Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur`an. Laboratorium Studi Al-Qur'an Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.

Rangkuman: membahas paradigma harta sebagai “milik” bersama yang harus menghasilkan manfaat bersama berdasarkan tafsir Al-Mishbah. Konsumsi bahkan pada barang-barang mewah tidak dilarang, namun dikendalikan. Hubungan yang punya dan yang lemah secara ekonomi, tidak hanya sekedar hubungan kedermawanan yang bersifat pribadi namun di dasarkan pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara sesama manusia.
Persamaan: membahas prinsip-prinsip konsumsi dalam ajaran Islam.
Pengembangan: membahas bagaimana prinsip-prinsip konsumsi dalam manajemen harta Islam dapat diterapkan dalam pengelolaan keuangan personal.

https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adzikra/article/view/349/0
http://laboratoriumstudial-quran.blogspot.com/2013/10/konsumerisme-dan-kosumisme-dalam.html

16. Prabowo S., M. Nur (2013). Meretas Kebahagiaan Utama di Tengah Pusaran Budaya Konsumerisme Global: Perspektif Etika Keutamaan Ibnu Miskawaih.

Rangkuman: mendiskusikan budaya konsumerisme dalam masyarakat modern dari sudut pandang filsafat etika yang dikembangkan oleh Ibnu Miskawaih. Penulis berargumen bahwa konsumerisme menyebabkan orang terjerembab ke dalam persoalan krisis identitas. Ini disebabkan karena konsumerisme menyebabkan seseorang terjatuh pada egoisme dan tidak acuh terhadap kehidupan sosial mereka.
Persamaan: membahas budaya konsumerisme dari sudut pandang ajaran Islam.
Pengembangan: mencari solusi atas permasalahan yang disebabkan oleh budaya konsumerisme dari sudut pandang manajemen harta Islam dalam pengelolaan keuangan personal.

Budaya konsumerisme yang lahir dalam masyarakat modern memicu beragam reaksi. Kalangan yang mendukung konsumerisme berpendapat bahwa kebahagiaan individu tidak dapat diwujudkan melainkan melalui kemerdekaan individual dan hak asasi manusia, utamanya dalam menikmati komoditas yang mewah. Namun, apa yang disebut dengan “konsumerisme” itu? Apakah kebahagian yang dilahirkan konsumerisme adalah sejati? Artikel ini mendiskusikan budaya modern dari kacamata filsafat etika yang dikembangkan Ibn Miskawaih. Penulis berargumen bahwa konsumerisme menyebabkan orang terjerembab ke dalam persoalan krisis identitas. Ini disebabkan karena konsumerisme menyebabkan seseorang terjatuh pada egoisme dan tidak acuh terhadap kehidupan sosial mereka.

http://www.oalib.com/paper/2510495#.V3MZhKIXWf4

17. Krishna, Ayu dan Maya Sari dan Rofi Rofaida. Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Survey pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia).

Rangkuman: Hasil penelitian menunjukkan tingkat literasi finansial mahasiswa masih jauh dari optimum bahkan mendekati kategori rendah sehingga harus ditingkatkan lagi. Penelitian ini mengajukan rekomendasi bahwa untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan personal finance masuk ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian dari sistem pendidikan di Universitas baik untuk program studi Ekonomi maupun program studi non Ekonomi.
Persamaan: menekankan pada perlunya pendidikan keuangan untuk kepentingan pengelolaan keuangan personal di kehidupan.
Pengembangan: pendidikan pengelolaan keuangan personal yang diperlukan, terutama bagi muslim, adalah yang berdasarkan ajaran Islam.

http://file.upi.edu/Direktori/PROCEEDING/UPI-UPSI/2010/Book_3/ANALISIS__TINGKAT_LITERASI_KEUANGAN_DI_KALANGAN_MAHASISWA_DAN_FAKTOR-FAKTOR_YANG_MEMPENGARUHINYA_(Survey_pada_Mahasiswa_Universitas_Pendidikan_Indonesia).PDF

Literasi keuangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang agar terhindar dari masalah keuangan. Kesulitan keuangan bukan hanya fungsi dari pendapatan semata (rendahnya pendapatan), kesulitan keuangan juga dapat muncul jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan (miss-management). Keterbatasan finansial dapat menyebabkan stress, dan rendahnya kepercayaan diri, bahkan untuk sebagian keluarga kondisi tersebut dapat berujung pada perceraian. Memiliki literasi keuangan, merupakan hal vital untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera, dan berkualitas. Hasil pengukuran skor rata-rata literasi finansial mahasiswa UPI sebesar 63% yang menunjukan tingkat literasi finansial mahasiswa masih jauh dari optimum bahkan mendekati kategori rendah sehingga harus ditingkatkan lagi. Penelitian ini mengajukan rekomendasi bahwa untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan personal finance masuk ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian dari sistem pendidikan di Universitas baik untuk program studi Ekonomi maupun program studi non Ekonomi.


Penelitian ini memiliki tiga variabel yaitu: (1) konsumerisme, (2) pengelolaan keuangan personal, dan (3) manajemen harta Islami. Penelitian terdahulu belum ada yang menggabungkan dan mencari hubungan antara penyebab dan dampak konsumerisme pada keuangan personal dan memasukkan prinsip manajemen harta Islami dalam pengelolaan keuangan personal sebagai solusi terhadap permasalahan konsumerisme.

Landasan Syariah: Konsumsi

2.2.3. Konsumsi

Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (7) ayat ke 31, Surah Al-Israa’ (17) ayat ke 26 dan 27, dan Surah Al-Furqaan (25) ayat ke 67 menjadi landasan syariah untuk konsumsi dalam Islam. Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (7) ayat ke 31 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Sebagaimana ayat-ayat yang lalu menuntun putra-putri Nabi Adam a.s., ayat 31 pun demikian, tapi kali ini adalah ajakan agar mereka memakai pakaian yang indah, minimal dalam bentuk menutup aurat, karena membukanya pasti buruk; memakainya setiap kali memasuki dan berada di masjid, baik masjid dalam arti bangunan khusus maupun dalam pengertian yang luas, yakni persada bumi ini. Tuntunan itu dilanjutkan dengan perintah makan dan minum yang halal, enak, bermanfaat, dan berdampak baik, tapi dengan pesan jangan berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan menambah cara atau kadarnya, demikian juga dalam makan dan minum atau apa saja, karena Allah swt. tidak menyukai, yakni tidak melimpahkan rahmat khusus bagi yang berlebih-lebihan dalam hal apa pun.
Ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat Nabi saw. bermaksud meniru kelompok Hummas, yakni kelompok suku Quraisy dan keturunannya yang sangat menggebu-gebu semangat keberagamaannya sehingga enggan berthawaf, kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan dan kadarnya ketika melaksanakan ibadah haji. Sementara sahabat Nabi saw. berkata: "Kita lebih wajar melakukan hal demikian daripada al-Hummas." Nah, ayat di atas turun menegur dan memberi petunjuk bagaimana yang seharusnya dilakukan.
Pelajaran yang dapat dipetik: (1) Berlebih-lebihan dalam segala hal tidak direstui agama. Makan bukan saja yang halal, tetapi hendaknya yang bergizi serta proporsional, tidak berlebihan. Ditemukan juga pesan yang menyatakan: "Termasuk berlebih-lebihan bila Anda makan yang selera Anda tidak tertuju kepadanya." (2) Islam mendorong penampilan keindahan dan hiasan, termasuk dalam berpakaian. Yang dilarangnya adalah keangkuhan dan atau yang mengundang rangsangan berahi. (3) Makanan yang dikonsumsi hendaknya proporsional, yakni yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi orang per orang. Kalau pun perut akan dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernapasan.

Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat ke 26 dan 27 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).

(26) Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (27) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Setelah memberi tuntunan menyangkut Ibu Bapak, ayat 26 melanjutkan dengan tuntunan kepada kerabat dan siapa pun yang butuh. Di sini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk memberikan hak kepada keluarga yang dekat, baik dari pihak ibu maupun bapak, bahkan walau keluarga jauh. Hak dimaksud, antara lain berupa bantuan, kebajikan, dan silaturrahim. Setelah keluarga, yang berhak mendapat perhatian adalah orang miskin, walaupun bukan kerabat, dan siapa pun yang putus bekalnya sedang ia dalam perjalanan, walau di tempat permukimannya ia mampu, baik pemberian itu dalam bentuk zakat maupun sedekah atau bantuan lain yang mereka butuhkan. Perintah ini dilanjutkan dengan larangan menghamburkan harta secara boros, yakni pada hal-hal yang bukan pada tempatnya dan tidak mendatangkan kemaslahatan. Para pemboros, menurut ayat 27 adalah saudara-saudara setan, yakni sifat-sifatnya sama dengan sifat-sifat setan, sedang setan sangat ingkar terhadap Tuhannya.
Pelajaran yang dapat dipetik: Pemborosan adalah sifat tercela. Ia adalah pengeluaran yang bukan pada tempatnya, karena itu jika seseorang menafkahkan / membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka ia bukanlah seorang pemboros.

Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-Furqaan (25) ayat ke 67 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).


Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Sifat hamba-hamba Allah SWT dalam mengelola harta amat terpuji. Apabila membelanjakan harta yakni baik untuk dirinya maupun keluarga atau orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak juga kikir, yakni pertengahan antara keduanya, yakni mereka bersikap dermawan.

Landasan Syariah: Pertanggungjawaban Manusia terhadap Harta dan Kenikmatan

2.2.2. Pertanggungjawaban Manusia terhadap Harta dan Kenikmatan

Al-Qur’an Surah At-Takatsur (102) ayat 8 berbunyi sebagai berikut:

Arti ayat tersebut “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Buku tafsir al-Mishbah menjelaskan arti ayat tersebut adalah “Kemudian, pasti kamu akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im.” Selanjutnya dijelaskan tafsir ayat tersebut sebagai berikut (Shihab, 2002):
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dan memperingatkan mereka yang bersaing secara tidak sehat memperbanyak kenikmatan duniawi, ayat di atas memperingatkan bahwa kenikmatan apapun bentuknya pasti akan dimintakan pertanggungjawaban. Atau setelah ayat yang lalu menggambarkan ancaman yang menanti mereka karena hanya memperhatikan kenikmatan duniawi, ayat di atas mengingatkan mereka bahwa sikap tersebut akan mereka pertanggungjawabkan dan kelak mereka akan ditanyai tentang sikap mereka menyangkut kenikmatan ukhrawi. Apapun hubungannya, ayat di atas bagaikan menyatakan: Kemudian, Aku bersumpah bahwa pasti kamu semua wahai manusia akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im yakni aneka kenikmatan duniawi yang kamu raih, atau kenikmatan ukhrawi yang kamu abaikan.
Kata la tus’alunna terambil dari kata sa’ala yang digandengkan dengan huruf lam yang berfungsi sebagai isyarat adanya sumpah dan nun yang digunakan untuk menunjukkan kepastian serta penekanan. Sedang kata sa’ala dapat berarti meminta, baik materi maupun informasi. Yang dimaksud bukan permintaan materi, bukan juga informasi dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi pertanggungjawaban. Kata tersebut berbentuk pasif dalam arti bahwa pelaku yang meminta pertanggungjawaban itu tidak disebutkan. Ini untuk mengarahkan perhatian pendengar kepada pertanggungjawaban itu – tanpa mempersoalkan siapa pun yang melakukannya.
Kata an-na’im biasa diterjemahkan kenikmatan. Sementara ulama menyebut beberapa riwayat yang menjelaskan maksud kata ini, seperti angin sepoi, air sejuk, alas kaki, sampai kepada al-Qur’an dan kehadiran Rasul SAW. Sahabat Nabi SA, Anas Ibn Malik ra menyatakan bahwa ketika turunnya ayat di atas seorang yang sangat miskin berdiri di hadapan Nabi SAW sambil berkata: “Apakah ada suatu nikmat yang kumiliki?” Nabi menjawab: “Ya, naungan, rumput dan air yang sejuk” (kesemuanya adalah nikmat yang engkau peroleh).
Jika kita menelusuri penggunaan al-Qur’an tentang kata-kata yang seakar dengan kata na’im, ditemukan bentuk-bentuk ni’mah, na’mah, na’maa’, an’um. Tentu saja maknanya tidak sama. Kata na’mah (dengan fathah pada huruf nuun) yang digunakan al-Qur’an dalam dua ayat (QS ad-Dukhan (44): 27 dan al-Muzammil (73): 11) dan keduanya dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang kafir yang memperoleh limpahan anugerah atau nikmat material yang mereka tidak syukuri. Sedang kata ni’mah (dengan kasrah pada huruf nun) yang terulang sebanyak 34 kali, pada umumnya digunakan untuk menggambarkan anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sadar atau diharapkan dapat sadar, baik nikmat tersebut bersifat material maupun spiritual. Bahkan sementara ulama membatasinya dalam bidang spiritual keagamaan. Atau paling tidak, pada umumnya kata ni’mah dalam al-Qur’an digunakan dalam arti petunjuk keagamaan (perhatikan QS al-Ma’idah (5): 3 dan QS adh-Dhuha (93): 11.
Kata na’im terulang dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali, 8 di antaranya dengan redaksi jannaat an-na’im (surga-surga yang penuh kenikmatan), 3 dengan redaksi jannatu na’im (surga yang penuh kenikmatan) dalam bentuk tunggal dan 6 sisanya digandengkan dengan berbagai kata tetapi seluruhnya digunakan dalam konteks kenikmatan surgawi di akhirat kelak (lihat misalnya QS al-Infithaar (82): 13-14 atau QS al-Insaan (76): 20. Atas dasar itu rasanya kurang tepat memahami kata na’im pada ayat yang ditafsirkan ini dalam arti kenikmatan yang diperoleh manusia di dunia – baik besar maupun kecil. Kata na’im di sini agaknya lebih tepat dipahami pula dalam konteks kenikmatan ukhrawi sehingga ayat terakhir surah ini memperingatkan kepada mereka yang bersaing secara tidak sehat dalam rangka memperoleh dan memperbanyak harta benda, anak, pengikut dan kedudukan – memperingatkan mereka – bahwa kelak mereka akan diminta untuk mempertanggungjawabkan sikap mereka terhadap kenikmatan ukhrawi, mereka akan ditanyai: Bagaimana sikap kamu di dunia menyangkut kenikmatan-kenikmatan ukhrawi? Apakah kamu percaya atau tidak?” Yang percaya tentu tidak akan bersaing memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan duniawi yang kecil itu bila dibandingkan dengan kenikmatan ukhrawi. Yang percaya tentu akan berlomba memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan ukhrawi.
Seseorang yang menyadari bahwa ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan duniawi, tentu tidak akan mengarahkan seluruh pandangan dan usahanya semata-mata hanya kepada kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara. Seseorang yang menyadari betapa besar kenikmatan ukhrawi akan bersedia mengorbankan kenikmatan duniawi yang dimiliki dan dirasakannya demi memperoleh kenikmatan ukhrawi. Demikian awal ayat surah ini berbicara tentang perlombaan menumpuk kenikmatan duniawi. Akhirnya memperingatkan mereka tentang tanggung jawab kepemilikan harta itu bahkan mengingatkan mereka tentang kenikmatan ukhrawi yang tiada taranya. Demikian, Maha Benar Allah dalam segala firmannya. Wa Allaah A’lam.

Hadits berikut menyebutkan bahwa manusia akan dimintakan pertanggungjawaban atas hartanya. Hal yang ditanyakan tentang harta adalah: (1) dari mana harta diperoleh, dan (2) ke mana dibelanjakan (Antonio, 2010).
Abdullah bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami dari al-Aswad bin Amir, dari Abu Bakar bin Ayyasy , dari Al-A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij, dari Abu Barzah al-Aslami bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba belum akan berpindah pada Hari Kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan ke mana dia infakkan, serta tentang tubuhnya untuk apa dia pergunakan.” (HR At-Tirmidzi No. 2417)
Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih. Sa’id bin Abdullah bin Juraij adalah orang Bashrah dan maula dari Abu Basrah al-Aslami, sedangkan nama Abu Barzah al-Aslami adalah Nadhlah bin Ubaid.”

Ayat tersebut menjadi landasan syariah bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawabannya (dihisab) kelak di hari akhir tentang kenikmatan yang telah diberikan kepadanya di dunia (Nizhan, 2011). Termasuk diantara kenikmatan yang diberikan berupa harta. Seluruh ummat Islam, apapun status ekonominya, diwajibkan untuk mengelola harta mereka dengan baik, karena mereka harus bertanggungjawab atas aset dan liabilitas (Shafii, 2013).
Hadits berikut menjelaskan bahwa orang miskin masuk surga lebih dahulu dibandingkan dengan orang kaya dikarenakan orang kaya harus mempertanggungjawabkan kekayaannya terlebih dahulu.
Hadits nomor 2354 yang berstatus hasan shahih dalam kitab Jami’ At-Tirmidzi berarti: Abu Kuraib menyampaikan kepada kami dari al-Muharibi, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang Muslim yang fakir masuk surga setengah hari lebih dahulu sebelum orang-orang kaya, selisihnya lima ratus tahun.”

Hadits berikut menjelaskan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan harta, artinya sebagai berikut
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.

Harta yang harus dipertanggungjawabkan meliputi sumbernya dan bagaimana pembelanjaannya. Oleh karena itu hadits ini menjadi landasan syariah untuk mengelola keuangan personal berdasarkan ajaran Islam.

Landasan Syariah : Perencanaan Keuangan (Financial Planning)

2.2.1. Perencanaan Keuangan (Financial Planning)

Al-Qur’an Surah Yusuf (12) ayat 47-49 menjadi landasan syariah perencanaan keuangan, ayat-ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
Arti rangkaian ayat tersebut adalah (47)“Dia berkata, “Kamu bercocok tanam tujuh tahun sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. (48) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya kecuali sedikit dari apa yang kamu simpan. (49) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras.”

Buku tafsir al-Mishbah menjelaskan tafsir rangkaian ayat tersebut sebagai berikut (Shihab, 2002):
Mendengar pertanyaan yang diajukan atas nama Raja dan pemuka-pemuka masyarakat itu, tanpa menunggu – sesuai dengan harapan penanya – langsung saja dia, yakni Nabi Yusuf as berkata seakan-akan berdialog dengan mereka semua. Karena itu, beliau menggunakan bentuk jamak, “Mimpi memerintahkan kamu wahai masyarakat Mesir, melalui Raja, agar kamu terus-menerus bercocok tanam selama tujuh tahun sebagaimana biasa kamu bercocok tanam, yakni dengan memperhatikan keadaan cuaca, jenis tanaman yang ditanam, pengairan dan sebagainya, atau selama tujuh tahun berturut-turut dengan bersungguh-sungguh. Maka apa yang kamu tuai dari hasil panen sepanjang masa itu hendaklah kamu biarkan di bulirnya agar dia tetap segar tidak rusak, karena biasanya gandum Mesir hanya bertahan dua tahun – demikian pakar tafsir Abu Hayyan – kecuali sedikit yaitu yang tidak perlu kamu simpan dan biarkan di bulirnya yaitu yang kamu butuhkan untuk kamu makan. Kemudian sesudah masa tujuh tahun itu, akan datang tujuh tahun yang amat sulit, akibat terjadinya paceklik di seluruh negeri yang menghabiskan apa yang kamu simpan unuk menghadapinya, yakni untuk menghadapi tahun sulit itu yang dilambangkan oleh tujuh bulir gandum yang kering itu kecuali sedikit dari apa, yakni bibit gandum yang kamu simpan. Itulah takwil mimpi Raja.”
Lebih jauh Nabi Yusuf as melanjutkan, “Kemudian setelah paceklik itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan pada masa itu mereka akan hidup sejahtera yang ditandai antara lain bahwa ketika itu mereka terus-menerus memeras sekian banyak hal seperti aneka buah yang menghasilkan minuman, memeras susu binatang dan sebagainya.”
Kata yughats, apabila dipahami dari kata ghaits / hujan, maka terjemahannya adalah diberi hujan. Dan jika ia berasal dari kata ghauts yang berarti pertolongan, maka ia berarti perolehan manfaat yang sangat dibutuhkan guna menampik datangnya mudharat. Dari kata ini lahir istilah istighatsah.
Memperhatikan jawaban Nabi Yusuf as ini, agaknya kita dapat berkata bahwa beliau memahami tujuh ekor sapi sebagai tujuh tahun masa pertanian. Boleh jadi karena sapi digunakan untuk membajak, kegemukan sapi adalah lambang kesuburan, sedang sapi kurus adalah masa sulit di bidang pertanian, yakni masa paceklik. Bulir-bulir gandum lambang pangan yang tersedia. Setiap bulir sama dengan setahun. Demikian juga sebaliknya.
Mimpi Raja ini merupakan anugerah Allah SWT kepada masyarakat Mesir ketika itu. Boleh jadi karena Rajanya yang berlaku adil – walau tidak mempercayai keesaan Allah. Keadilan itu menghasilkan kesejahteraan lahiriah buat mereka. Rujuklah ke uraian penulis pada ayat 117 surah Hud, untuk memahami lebih jauh tentang persoalan ini.
Thabathaba’i mengkritik ulama-ulama yang memahami mimpi Raja itu secara sederhana, yakni mereka yang hanya memahaminya sebagai gambaran tentang apa yang akan terjadi pada dua kali tujuh tahun depan. Memang, redaksi penjelasan Nabi Yusuf as bukan redaksi perintah, tetapi redaksi berita. Namun demikian, apa yang dikemukakan Thabathaba’i dapat diterima, karena sekian banyak redaksi berbentuk berita yang bertujuan perintah. Ulama itu menilai bahwa mimpi tersebut adalah isyarat kepada Raja untuk mengambil langkah-langkah guna menyelamatkan masyarakatnya dari krisis pangan. Yaitu hendaklah dia menggemukkan tujuh ekor sapi agar dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus dan menyimpan sebagian besar dari bahan pangan yang telah dituai tetap dalam bulirnya agar tetap segar dan tidak rusak oleh faktor cuaca dan sebagainya. Dengan demikian, menghadapinya, yaitu hendaklah bersungguh-sungguh menanam serta menyimpan sebagian besar hasil panen.
Thabathaba’i, walau memahami ayat 49 di atas sebagai informasi baru tentang apa yang akan terjadi sesudah tujuh tahun sulit, tetapi itu pun dipahaminya dari mimpi tersebut. Dalam arti, jika tujuh tahun sulit itu telah berlalu, maka sesudah itu situasi akan pulih, dan ketika itu tidak perlu lagi mengencangkan ikat pinggang, atau membanting tulang dalam bekerja atau menyimpan hasil panen sebagaimana halnya pada tujuh tahun pertama. Ini karena keadaan telah normal kembali. Itu pula sebabnya, menurut Thabathaba’i dalam mimpi Raja tidak disebut kata tujuh ketika menyatakan bulir-bulir kering, karena masa sesudah tujuh tahun sulit itu akan berjalan normal bukan hanya sepanjang tujuh tahun.

Rangkaian ayat tersebut menjadi landasan bahwa Islam menganjurkan ummatnya untuk merencanakan kehidupan mereka dengan cara bekerja keras, melakukan pengeluaran keuangan secara moderat, dan menabung untuk masa depan, karena selalu ada ketidakpastian dalam hidup (Shafii, 2013).

Landasan Teori: Keuangan Personal (Personal Finance)

2.1.5. Keuangan Personal (Personal Finance)

Subjek keuangan personal merupakan gabungan antara berbagai ilmu yang dapat dikategorikan dalam ilmu ekonomi, ilmu psikologi, ilmu sosiologi. Keuangan personal adalah aplikasi prinsip-prinsip keuangan, manajemen sumber daya, edukasi konsumen, serta sosiologi dan psikologi dalam pengambilan keputusan hingga studi mengenai cara yang digunakan individu, keluarga, dan rumah tangga dalam mendapatkan, mengembangkan, dan mengalokasikan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan keuangan di saat ini dan di masa depan (Schuchardt, 2007). Kegiatan penelitian, pendidikan, dan praktek konsultasi dan perencanaan keuangan dapat dirangkum dalam sebuah profesi interdisiplin yang terdiri dari beberapa subjek ilmu dan disebut sebagai personal finance. Lebih lanjut dijabarkan kerangka teori yang membentuk subjek personal finance terdiri dari model ekologi manusia, sistem manajemen keluarga, model discounted utility, hipotesis siklus hidup tabungan, hipotesis perilaku siklus hidup, teori tindakan beralasan, teori tindakan terencana, model perubahan transteoritis, keuangan rumah tangga.

A. Perencanaan Keuangan Personal (Personal Financial Planning)

Menurut Kapoor (2012) perencanaan keuangan personal didefinisikan sebagai proses mengelola dana untuk mencapai kepuasan ekonomi personal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses perencanaan keuangan merupakan siklus yang terus berputar, dengan langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) mengevaluasi kondisi keuangan saat ini, (2) menetapkan tujuan keuangan, (3) menentukan alternatif langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencapai tujuan, (4) mengevaluasi alternatif yang ada dengan mempertimbangkan kondisi hidup, nilai-nilai personal, faktor ekonomi serta memperhitungkan resiko dan nilai waktu uang (time value of money) dan cost opportunity, (5) menetapkan dan menjalankan rencana kerja keuangan, (6) meninjau ulang dan memperbaiki rencana keuangan.
Gambar 2.5. Proses Perencanaan Keuangan Personal Finance
(Kapoor, 2012. Hlm. 3)
Tujuan keuangan yang ditetapkan harus memenuhi prinsip-prinsip berikut yang lebih mudah disingkat menjadi SMART “Specific, Measurable, Action-oriented, Realistic, Time-based” yaitu spesifik diketahui dengan jelas apa yang diinginkan, terukur dengan adanya jumlah nominal dan jangka waktu yang jelas, ada konsekuensi kegiatan yang harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tersebut, realistis dan dapat dilakukan dengan kondisi keuangan yang ada, serta dibuat batasan jangka waktunya (Kapoor, 2012).
Proses penetapan tujuan keuangan personal harus memperhatikan kondisi keuangan saat ini yang pada umumnya merupakan salah satu dari beberapa kondisi yang disebutkan berikut: belum menikah, menikah tanpa anak, menikah dan punya anak, orang tua tunggal, rumah tangga multi generasi, orang tua yang anak-anaknya sudah mandiri, dan sebagainya. Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan keuangan personal lainnya, diantaranya: kondisi hidup seperti siklus hidup (life cycle), nilai-nilai (values) yang dipercaya, faktor ekonomi makro seperti suku bunga, inflasi, trend konsumsi, dan lain-lain. Kemudian harus diperhitungkan pula opportunity cost dan nilai waktu uang (Kapoor, 2012).

Landasan Teori: Manajemen Harta Islam (Islamic Wealth Management)

2.1.4. Manajemen Harta Islam (Islamic Wealth Management)

Shafii (2013) mengemukakan definisi Islamic wealth management (manajemen kekayaan Islam) sebagai suatu industri jasa keuangan. Cakupan Islamic wealth management terdiri dari dua hal yaitu Islamic financial planning (perencanaan keuangan Islami) dan manajemen portofolio investasi. Pandangan Islam terhadap manajemen kekayaan dan perencanaan keuangan berdasarkan pada empat prinsip yaitu: Islam sebagai jalan hidup, manusia sebagai khalifah, tauhid, dan ibadah. Islam adalah agama yang komprehensif mengatur segala aspek kehidupan manusia sehingga ia menjadi jalan hidup. Manusia diberi tugas oleh Allah untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Tugasnya adalah menjadi khalifah yang berfungsi memakmurkan dunia. Unsur tauhid menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki bagi seluruh makhluk. Manusia diperintahkan untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan, sehingga perencanaan keuangan menjadi bagian dari ibadah dalam arti luas.
Financial planning adalah salah satu bagian dari wealth management yang dapat diterapkan pada keuangan personal dengan kebutuhan dan keinginan masing-masing individu yang bersifat unik. Muslim dianjurkan untuk merencanakan kehidupan ekonomi dan keuangannya untuk mencapai tujuan syariah (maqashid syariah). Maqashid syariah bertujuan untuk melindungi kebutuhan utama seorang muslim. Aplikasi maqashid syariah dalam perencanaan keuangan terutama terkait dengan perlindungan harta (Masrifah dan Firdaus, 2015).
Perbedaan perencanaan keuangan Islami dengan perencanaan keuangan konvensional dapat ditemukan dalam aspek cakupan waktu, tujuan, metode, dan prinsip. Tabel berikut akan menjelaskan lebih lanjut rincian perbedaan tersebut. (Shafii, 2013)

Tabel 2.1. Perbedaan Islamic Financial Planning dengan Financial Planning konvensional

Aspek
Cakupan waktu
Tujuan
Metode
Prinsip mencapai falah

Islamic Financial Planning
Mencakup kehidupan di dunia dan di akhirat.
Mencapai falah yaitu kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Dalam usaha mencapai tujuan harus sesuai dengan hukum syariah, menggunakan pendekatan holistik, menyeimbangkan antara kewajiban personal, sosial, dan akhirat.
Sumber daya tidak terbatas karena rezeki telah diatur oleh Allah, manusia diberi amanah untuk mengelola harta yang merupakan titipan, sedangkan pemilik harta yang hakiki adalah Allah.

Financial Planning Konvensional
Membuat strategi untuk mencapai tujuan di kehidupan dunia.
Kepuasan pribadi baik kebutuhan maupun keinginan.
Berusaha mencapai tujuan, dan menyeimbangkan antara kewajiban personal dan kewajiban sosial.
Sumber daya terbatas, manusia merupakan pemilik harta sepenuhnya.

Sumber: Shafii (2013)

Shafii (2013) menjelaskan komponen perencanaan keuangan Islami dapat terdiri dari unsur-unsur berikut: wealth generation (penciptaan kekayaan), wealth protection (proteksi kekayaan), wealth accumulation (akumulasi kekayaan), wealth purification (purifikasi kekayaan), wealth distribution (distribusi kekayaan). Komponen tersebut dijabarkan menjadi langkah-langkah berikut: manajemen arus kas dan kewajiban, manajemen resiko dan perencanaan asuransi, perencanaan investasi, perencanaan zakat dan pajak, perencanaan pensiun, perencanaan waris dan wakaf. Manajemen arus kas dan kewajiban (cashflow and liability management) dimaksudkan untuk mengelola hutang, arus kas, dan penganggaran (budgeting). Manajemen resiko dan perencanaan asuransi syariah (takaful) dilakukan dalam rangka melindungi harta dari resiko yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak direncanakan. Perencanaan investasi perlu dilakukan sebagai salah satu cara untuk melakukan akumulasi kekayaan karena uang tidak bisa tumbuh dengan sendirinya melainkan harus diusahakan. Komponen-komponen tersebut dapat divisualisasikan pada gambar berikut.
Gambar 2.4. Komponen Islamic Financial Planning (Shafii, 2013).
Manajemen harta dalam Islam (Islamic Wealth Management) seharusnya memiliki fungsi sebagai berikut: (1) menggunakan harta untuk meraih berkah dari Allah dan meningkatkan iman serta membersihkan diri dari rasa tamak, (2) memenuhi tanggung jawab atas keluarga dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pendidikan keluarga, (3) memenuhi tanggung jawab sosial yang wajib seperti pajak, (4) menggunakan harta untuk tujuan produktif sehingga dapat menstimulasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produktivitas dan efisiensi serta mendanai penelitian dan pengembangan ekonomi, (5) memenuhi tanggung jawab sosial melalui distribusi harta dalam rangka mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pendidikan masyarakat, (6) peran kepemimpinan untuk membela agama Islam, memerangi ketidakadilan dan eksploitasi, meningkatkan moralitas para pebisnis dan profesional, meningkatkan ekonomi pasar dan perdagangan bebas (Shafii, 2013).

Landasan Teori: Manajemen Kekayaan (Wealth Management)

2.1.3. Manajemen Kekayaan (Wealth Management)

Pada era pertanian, wealth atau kekayaan berarti tanah, sedangkan pada era industri, kekayaan berarti pabrik, kemudian pada era informasi banyak kekayaan yang berbentuk intangible goods disamping tangible goods seperti era sebelumnya. Makna kekayaan tetap sama yaitu milik yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kemauan seseorang. Kekayaan memiliki siklus hidup, yaitu dimulai dari penciptaan kekayaan, akumulasi kekayaan, dan berakhir dengan distribusi kekayaan. Kekayaan juga dapat dikategorikan menjadi dua sifat atau bentuk, yaitu bentuk nyata dan bentuk nilai uang contohnya bentuk nyata adalah gaji seorang karyawan dan bentuk nilai uang adalah uang yang ditanamkan di bursa efek (Indrajit, 2011).
Wealth management yang didefinisikan secara umum adalah sebagai: (1) proses menumbuhkan, menjaga, dan mengelola aset seseorang menggunakan produk dan jasa keuangan, (2) proses mengelola dana termasuk diantaranya melalui investasi, penganggaran, perbankan, dan pajak, (3) strategic wealth management adalah pendekatan komprehensif untuk mengelola kekayaan secara produktif, yang dilakukan dengan perencanaan yang matang dan menggunakan aset sebuah keluarga sebagai leverage untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak hanya untuk semasa hidup tetapi juga untuk generasi berikutnya. Definisi tersebut memberikan tekanan akan pentingnya setiap orang membuat perencanaan keuangan sejak awal, yang bukan saja hak dan keperluan orang kaya, melainkan juga hak dan keperluan mereka yang belum kaya. Perencanaan keuangan juga tidak hanya diperlukan oleh orang-orang muda atau keluarga muda, tetapi juga oleh orang yang menjelang pensiun atau yang sudah pensiun (Indrajit, 2011).
Wealth management sebagai studi, mempelajari berbagai ilmu tentang bagaimana melindungi dan menjaga kekayaan, bagaimana mengumpulkan dan mengembangkan kekayaan, dan bagaimana mewariskan kekayaan dan menghadapi masa transisi atau pensiun. Dengan demikian, wealth management menyangkut manajemen investasi, manajemen pajak, manajemen keuangan, dan manajemen resiko (Indrajit, 2011).
Manajemen investasi adalah proses perencanaan, implementasi, dan pengawasan kekayaan seseorang atau lembaga. Manajemen keuangan dan manajemen aset memiliki arti yang hampir sama. Wealth management merupakan pengembangan dari manajemen aset, manajemen keuangan, dan manajemen investasi, dalam arti yang lebih lengkap, komprehensif, dan menciptakan hubungan antara lembaga pemberi jasa dan klien yang jauh lebih intens (Indrajit, 2011). Wealth management dalam pandangan ini lebih kepada suatu jasa yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan kepada para kliennya. Program yang diberikan dalam jasa tersebut diantaranya yang paling dominan adalah program investasi khususnya dalam bentuk obligasi, saham, dan reksadana, ditambah dengan nasihat cara mengalokasikan dan mendiversifikasikan kekayaan agar nasabah memiliki portofolio yang optimal.
Wealth management diartikan sebagai proses pengelolaan aset yang dimiliki oleh perorangan ataupun keluarga yang berguna atau bertambah / berkurang nilainya di masa mendatang. Aset dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu aset riil dan aset finansial. Aset riil biasanya dipergunakan untuk menghasilkan produk yang dapat dijual, misalkan mesin pabrik, properti, dan sebagainya. Sedangkan aset finansial merupakan aset yang dapat memiliki aset riil dan biasanya bisa berpindah-pindah. (Manurung, 2008).
Gambar 2.3. Arsitektur Wealth Management (CWMA Indonesia, 2009).
CWMA Indonesia (2009) mengemukakan tiga pilar utama sebagai penyangga arsitektur manajemen kekayaan. Ketiga pilar manajemen kekayaan seperti ditunjukkan pada gambar 2.1. yaitu: pilar 1 proteksi dan pemeliharaan kekayaan, pilar 2 pertumbuhan dan akumulasi kekayaan, pilar 3 distribusi dan transisi kekayaan.

Landasan Teori: Teori Konsumsi (3)

C. Definisi Konsumerisme dan Istilah-istilah Terkait

Swagler (2005) menyebutkan bahwa pada masa kemunculan istilah konsumerisme di tahun 1970an ia memiliki definisi yang netral yaitu sebagai: (1) konsep bahwa konsumen adalah sebagai pengambil keputusan di pasar dan harus memiliki akses terhadap informasi tentang pasar tersebut, (2) konsep bahwa pasar yang bertanggungjawab untuk memastikan adanya keadilan sosial melalui adanya kegiatan ekonomi yang adil, (3) istilah yang ditujukan untuk menjelaskan bidang studi yang mempelajari, membuat regulasi, atau bagaimana cara berinteraksi dengan pasar. Pada dasarnya ketiga definisi tersebut menjelaskan bahwa konsumerisme adalah pembahasan mengenai kegiatan konsumen.
Ketika definisi tersebut tengah berkembang, muncul definisi baru dengan konotasi yang lebih negatif. Konsumerisme dijelaskan sebagai kegiatan konsumsi dan mengumpulkan barang yang dilakukan secara egois dan sembrono yang didorong oleh kekuatan pasar yang dapat merusak individualitas dan membahayakan kondisi masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah konsumerisme digunakan untuk menjelaskan kondisi materialisme yang berlebih-lebihan dan pembuangan sumber daya (Swagler, 2005).
Stearns (2001) memperkuat pendapat tersebut dengan menyebutkan bahwa konsumerisme merupakan keadaan dimana suatu masyarakat yang dalam memformulasikan tujuan yang harus dicapai dalam hidupnya termasuk dengan membeli barang yang tidak dibutuhkan tetapi hanya untuk dipamerkan. Pilihan barang yang dibeli dianggap dapat merepresentasikan status sosial seseorang sehingga faktor utama yang menentukan konsumsi barang bukan berdasarkan kebutuhan tetapi berdasarkan keinginan. Semakin mahal suatu barang semakin dianggap bagus walaupun berdasarkan fungsi sebenarnya tidak lebih baik, karena tujuan utamanya adalah memamerkan harta yang dimiliki dan menjadikannya sebagai identitas diri.
Konsep materialisme menjadi nilai utama yang mendasari nilai-nilai konsumer lainnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa cara untuk mewujudkan nilai seseorang adalah melalui konsumsi. Semakin banyak konsumsi yang dilakukan oleh seseorang maka semakin tinggi nilai orang tersebut dalam pandangan materialisme. Titik berat materialisme ada pada kecukupan individu dibandingkan dengan golongan. Hal ini bertolak belakang dengan nilai-nilai kekeluargaan dan keagamaan. Konflik antara kedua nilai dapat menjadi salah satu alasan orang-orang yang memiliki nilai material tinggi biasanya lebih tidak bahagia. Kategori yang digunakan untuk mengukur materialisme terdiri dari kesuksesan, centrality, kebahagiaan (Solomon, 2013).
Kasser, dkk (2004) juga mengemukakan hal yang sama dengan merepresentasikan budaya konsumsi dengan istilah materialistic value orientation (MVO). MVO adalah orientasi nilai-nilai materialistis yang menggambarkan bahwa pencapaian tujuan-tujuan kesuksesan keuangan berdasarkan standar sosial adalah hal yang penting, beserta dengan status sosial seseorang yang dianggap lebih tinggi jika memiliki harta. Pandangan materialistis ini dianggap mendasari budaya konsumsi dengan tujuan, nilai-nilai, pandangan, dan perilaku yang semuanya berorientasi pada hal-hal materialis.

Landasan Teori: Teori Konsumsi (2)

B. Pengambilan Keputusan Konsumen

Wrenn (2013) menyebutkan bahwa terdapat sekurangnya 5 faktor determinan yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu: motivasi dan keterlibatan, sifat dan konsep pribadi, persepsi dan cara memproses informasi, pembelajaran dan memori, dan sikap seseorang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setidaknya ada 4 faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu: kelompok referensi dan keluarga, kelas sosial, kebudayaan, dan adat istiadat. Sedangkan pembagian demografi konsumen dapat dilakukan dengan menggunakan kategori berikut: usia, jenis kelamin, struktur keluarga, kelas sosial dan pendapatan, ras dan etnis, geografi, dan gaya hidup (lifestyle).
Faktor internal dan eksternal mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Selanjutnya menimbulkan kesadaran pada kebutuhan terhadap pembelian produk / jasa yang terbagi dua yaitu pembelian tidak rutin dan pembelian rutin. Faktor internal terdiri dari persepsi, konsep gaya hidup, motivasi dan emosi, sikap; sedangkan faktor eksternal terdiri dari budaya, adat istiadat, kelompok sosial, struktur keluarga dan kedudukan di keluarga. Pembelian tidak rutin menggambarkan keterlibatan tinggi sedangkan pembelian rutin menggambarkan keterlibatan rendah. Dengan kata lain untuk pembelian tidak rutin, akan lebih banyak dilakukan proses pertimbangan seperti mengumpulkan informasi dan mengevaluasi pilihan. Sedangkan dalam pembelian rutin proses pertimbangan tidak dilakukan setiap kali melakukan pembelian. Kemudian apakah pembelian dilakukan saat itu atau ditunda, setelah dilakukan pembelian maka akan dilakukan evaluasi atas pembelian tersebut. Proses yang dijelaskan merupakan proses psikologis sehingga biasanya dilakukan tanpa menyadari tahapannya. Secara singkat prosesnya dapat dirangkum dalam bagan berikut (Lake, 2009).
Gambar 2.1. Proses Pengambilan Keputusan Konsumen (Lake, 2009)


B.1. Kebutuhan dan Keinginan Sebagai Motivasi Konsumsi

Motivasi adalah proses yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu. Hal ini terjadi saat muncul suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, dimana kebutuhan ini menciptakan suatu ketidaknyamanan sehingga mendorong konsumen untuk berusaha mengurangi atau menghilangkan ketidaknyamanan. Kebutuhan yang menjadi motivasi konsumsi dapat digolongkan menjadi dua yaitu utilitarian dan hedonic. Motivasi utilitarian adalah keinginan untuk memperoleh keuntungan fungsional atau praktis, seperti ketika seseorang mengkonsumsi sayuran untuk mendapatkan nutrisinya. Motivasi hedonis adalah kebutuhan terhadap pengalaman yang memiliki unsur emosional atau fantasi, seperti seseorang yang mengkonsumsi makanan cepat saji yang tidak sehat tetapi rasanya sangat lezat (Solomon, 2013).
Kondisi yang ingin dicapai oleh konsumen setelah melakukan konsumsi disebut sebagai tujuan. Kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi dengan beberapa cara, disinilah letak pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti pengalaman pribadi maupun faktor-faktor eksternal berupa nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lingkungan dan masyarakat sekitar. Gabungan antara faktor internal dan eksternal menciptakan keinginan yang merupakan manifestasi atau cerminan dari kebutuhan (Solomon, 2013).


B.2. Klasifikasi Kebutuhan Berdasarkan Teori Maslow’s Hierarchy of Needs

Abraham Maslow adalah seorang ahli psikologi yang mengembangkan teori tentang hirarki kebutuhan manusia dengan asumsi bahwa seseorang tidak akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi sebelum kebutuhan di tingkat sebelumnya dipenuhi. Akan tetapi Solomon (2013) menganggap asumsi teori Maslow hanya tepat digunakan pada masyarakat dengan budaya barat, dan tidak cocok digunakan dalam memahami masyarakat dengan latar belakang berbeda seperti budaya Asia atau budaya relijius. Teori hirarki kebutuhan lebih banyak digunakan hanya untuk mengklasifikasikan jenis-jenis kebutuhan manusia pada umumnya yang terdiri dari: physiological, safety, belongingness, ego needs, self-actualization.
Gambar 2.2. Maslow’s Hierarchy of Needs
Didalam teori Maslow's Hierarchy of Needs terdapat 5 tingkatan kebutuhan didalam diri seseorang (McLeod, 2014), tingkatan yang paling bawah adalah kebutuhan (1) physiological needs (kebutuhan fisiologis) yaitu merupakan kebutuhan paling mendasar yang harus dipenuhi oleh seorang manusia agar dapat bertahan hidup, dan kebutuhan ini tentu sangatlah penting serta tidak bisa ditawar lagi. Beberapa contoh kebutuhan fisiologis manusia antara lain seperti makan, minum, tidur, rumah, bernafas, dan lain-lain.
Tingkatan kedua adalah (2) safety needs (kebutuhan akan rasa nyaman/aman), yang kedua ini biasanya muncul keinginan didalam diri seorang manusia ketika kebutuhan dasar (fisiologis) nya telah terpenuhi. Manusia membutuhkan rasa aman ketika menjalani hidupnya dapat berupa perlindungan keamanan dalam pekerjaan, jaminan kesehatan diri/keluarga, jaminan keberlangsungan pekerjaannya, jaminan keamanan dihari tua saat tidak bekerja/produktif lagi, dsb.
(3) Belongingness / social needs (kebutuhan sosial), merupakan tingkatan kebutuhan ketiga dimana apabila kedua kebutuhan dasar tadi telah terpenuhi secara minimal/cukup, manusia cenderung menginginkan untuk menjalin hubungan secara sosial, manusia membutuhkan afiliasi dan berinteraksi dengan sesama/lawan jenisnya, manusia membutuhkan persahabatan. (4) Esteem needs (kebutuhan akan penghargaan) yaitu ketika manusia sudah berinteraksi secara intens dengan lingkungan sosial nya, makan muncul keinginan dari dalam diri sendiri untuk ingin merasa dihormati, diapresiasi, serta diakui akan keahlian maupun kemampuannya dalam melakukukan suatu hal. Intinya manusia membutuhkan penghargaan diri atas segala sesuatu yang telah dicapainya.
(5) Self-actualization needs (kebutuhan aktualisasi diri) merupakan tingkatan tertinggi didalam diri manusia menurut Maslow's Hierarchy of Needs. Tingkatan ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses pengembangan diri maupun potensi yang dimiliki oleh seseorang. Kebutuhan untuk menunjukan potensi, kelebihan, keahlian, skill maupun ilmu yang dimiliki seseorang. Didalam self-actualization, manusia cenderung mengalami peningkatan didalam dirinya. Apabila didalam tingkatan ini manusia mempunanyai aktualisasi diri yang sangat kuat, maka manusia tersebut akan sangat menyukai hal hal yang sesuai dengan passion maupun potensi yang ada dalam dirinya, karena merasa sangat membutuhkannya untuk terus meningkatkannya.

Landasan Teori: Teori Konsumsi (1)

A. Teori Perilaku Konsumen
Menurut Rahardja (2008), ilmu ekonomi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku individu dan masyarakat dalam menentukan pilihan untuk menggunakan sumber daya-sumber daya yang langka (dengan dan tanpa uang), dalam upaya meningkatkan kualitas hidup. Ruang lingkup ilmu ekonomi terdiri dari teori ekonomi mikro dan teori ekonomi makro. Teori ekonomi mikro menganalisis mengenai bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian, membahas proses alokasi sumber daya secara efisien di tingkat individu, perusahaan dan industri. Teori ekonomi makro menganalisis keseluruhan kegiatan perekonomian, bersifat global, dan tidak memperhatikan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh unit-unit kecil dalam perekonomian, tetapi memperhatikannya secara agregat (keseluruhan).
Lebih lanjut, Rahardja (2008) menjelaskan bahwa teori perilaku konsumen merupakan bagian dari teori ekonomi mikro sedangkan teori konsumsi merupakan bagian dari teori ekonomi makro. Teori konsumsi membahas pengeluaran konsumsi yang terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi rumah tangga / masyarakat (household consumption / private consumption). Teori perilaku konsumen dibahas agar dapat memahami sisi permintaan barang dan jasa, dengan menguraikan tentang teori kardinal dan teori ordinal.
Pembahasan teori perilaku konsumen secara lebih mendalam lebih banyak merupakan bidang studi yang didalami dalam pembahasan ilmu marketing, walaupun sudut pandang konsumen sudah banyak pula digunakan dalam teori ini (Assael, 2001). Menurut Solomon (2013), teori perilaku konsumen memiliki cakupan dari mulai fokus pada individu sebagai pelaku teori perilaku konsumen mikro, hingga fokus pada tatanan sosial dalam teori perilaku konsumen makro. Urutan cakupan teori perilaku konsumen: psikologi eksperimental, psikologi klinikal, psikologi perkembangan, ekologi manusia, ekonomi mikro, psikologi sosial, sosiologi, ekonomi makro, literary criticism, demografi, sejarah, antropologi budaya.
Teori perilaku konsumen mempelajari proses yang terjadi saat seseorang atau suatu organisasi memilih, membeli, menggunakan, atau membuang produk, jasa, ide, atau pengalaman dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan. Pembahasan teori perilaku konsumen diantaranya terdiri dari teori pertukaran (exchange) yaitu transaksi dimana dua atau lebih pihak memberikan dan menerima sesuatu yang dianggap berharga, dan keseluruhan proses konsumsi termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen sebelum, saat melakukan pembelian, dan setelahnya. Tiga tahapan proses konsumsi terdiri dari: (1) saat seorang konsumen menyadari bahwa ia memiliki kebutuhan atau keinginan, (2) kemudian melakukan pembelian, dan (3) melepaskan produk tersebut saat sudah tidak dibutuhkan / diinginkan (Solomon, 2013).
Solomon (2013) menjelaskan bahwa perbedaan antara kebutuhan dengan keinginan menjadi sesuatu yang penting untuk diperhitungkan dalam teori perilaku konsumen. Yang dimaksud dengan kebutuhan adalah kebutuhan dasar biologis seorang manusia yang menjadi motivasi dalam melakukan suatu konsumsi. Sedangkan keinginan dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan adanya pengaruh dari lingkungan dan masyarakat (society). Contohnya, rasa lapar adalah keadaan yang mengindikasikan adanya kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan yang merupakan kebutuhan biologis dasar manusia untuk bertahan hidup. Kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi berbagai pilihan makanan yang ada, keinginanlah yang menentukan makanan apa yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Landasan Teori: Definisi Kata-kata

Penelitian ini berjudul “Analisis Konsumerisme dalam Keuangan Personal: Model Solusi Berdasarkan Konsep Perencanaan Keuangan dan Manajemen Harta Islam”. Berikut dijabarkan mengenai definisi kata-kata tersebut berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring.
- Analisis: penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya); penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan; penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya; pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya.
- Konsumerisme: paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat.
- Keuangan: seluk-beluk uang; urusan uang; keadaan uang.
- Personal: bersifat pribadi atau perseorangan.
- Model: pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.
- Solusi: penyelesaian; pemecahan (masalah dan sebagainya); jalan keluar.
- Konsep: rancangan; ide atau pengertian.
- Perencanaan: proses, cara, perbuatan merencanakan (merancangkan).
- Manajemen: penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.
- Harta: barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan; barang milik seseorang.
- Islam: agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. berpedoman pada kitab suci al-Quran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.

BAB II. KAJIAN TEORETIK

Pada bab ini dijelaskan landasan teori, landasan syariah, kajian literatur, dan kerangka pemikiran penelitian. Landasan teori terdiri dari: definisi kata-kata berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, teori manajemen kekayaan, teori manajemen harta Islam, teori keuangan personal, dan teori perilaku konsumen. Landasan syariah berkaitan dengan acuan topik riset penelitian yang sesuai dengan ayat-ayat Alquran dan hadis. Kajian literatur memuat pembahasan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian. Kerangka pemikiran menggambarkan alur pikir peneliti dengan memuat penjelasan variabel yang diteliti dan keterkaitan antar variabel.

Distribusi Harta dan Purifikasi Harta

Purifikasi harta adalah mengeluarkan bagian-bagian dari harta yang merupakan rezeki orang lain yang dititipkan melalui upaya seseorang.

Distribusi harta sangat memegang peranan penting sebagai fungsi jaminan sosial untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antara masyarakat kaya dan miskin.

Variabel-variabel yang digunakan seperti hibah, sedekah, wakaf, nazar, faraid (warisan) dan wasiat.

Zakat berfungsi sebagai purifikasi harta karena pada harta-harta manusia ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian. Selain itu, zakat juga sebagai variabel keadilan ekonomi yang pembagian distribusi asnaf sudah jelas. Selain zakat, sarana yang dapat digunakan untuk melaksanakan wealth purification bisa juga dalam bentuk sedekah, infak ataupun sumbangan-sumbangan sosial lainnya. Perbedaan antara zakat dan infak atau sedekah (shadaqah) terdapat pada sisi hukumnya dimana zakat bersifat wajib (rukun Islam), sementara infak dan sedekah hukumnya sunnah. Secara tidak langsung hal ini akan menjadi salah satu sarana pendistribusian pendapatan.

Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga.

Wakaf adalah Sedekah Jariyah, yakni menyedekahkan harta kita untuk kepentingan ummat. Harta Wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan. Karena wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama ummat.

Nadzar atau nazar secara etimologis berarti berjanji akan melakukan sesuatu yang baik atau buruk. Sedangkan menurut syariah, nazar adalah menetapkan atau mewajibkan melakukan sesuatu yang secara syariah asalnya tidak wajib.

Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang,
dan pemberian untuk kerabat.

Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan
sesudah orang meninggal dunia. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia.

Referensi: various resources

Friday 17 May 2019

Pendidikan Literasi Keuangan

Pendidikan literasi keuangan adalah kemampuan membaca, menganalisis, mengelola, dan berkomunikasi tentang kondisi keuangan pribadi yang mempengaruhi kesejahteraan materi.

Keluarga merupakan faktor yang sangat vital dalam mengajarkan pendidikan literasi keuangan pada anak.

Langkah – langkah yang bisa dilakukan untuk menanamkan nilai – nilai keuangan kepada anak antara lain :


Mulai melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keuangan.

Hal yang paling sederhana untuk mulai mengenalkan pendidikan literasi keuangan pada anak adalah mulai melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan keuangan minimal pada hal – hal yang berkaitan dengan mereka. Berikan anak ruang dialog untuk mendiskusikan tentang penentuan alokasi keuangan mereka. Adanya ruang dialog antara orangtua dengan anak dalam pengambilan keputusan keuangan akan sangat bermanfaat untuk menumbuhkan kemapuan berfikir kritis mereka sekaligus akan sangat menunjang dalam penanaman nilai – nilai pendidikan literasi keuangan pada anak.


Memberikan pengertian mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang hanya keinginan.

Peran orang tua untuk melatih dan mendidik anak tentang pengertian kebutuhan dan keinginan sangat diperlukan. Orang tua perlu membiasakan diri untuk tidak menuruti segala permintaan anak yang dianggap kurang begitu penting. Ajak anak berbicara dan berdiskusi untuk memberikan pengertian kepada mereka tentang makna dari barang yang akan dibeli, apakah hanya sekedar keinginan sesaat atau barang tersebut benar – benar sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Ekpresi rasa sayang kepada anak bukan dengan cara menuruti semua hal yang mereka iniginkan, namun dengan cara mendidik mereka untuk memahami betul apakah hal tersebut benar – benar sebagai kebutuhan atau hanya sekedar keinginan.


Membiasakan menabung

Pengenalan sejak dini pada anak tentang motif jaga – jaga dalam hidup sangat diperlukan. Biaskaan anak untuk menyisihkan sebagian kecil uangnya yang digunakan untuk kepentingan di kemudia hari. Dengan membiasakan anak menyisihkan uang mereka, akan bermanfaat bagi dirinya dalam tiga hal, pertama mereka akan terbiasa tidak mengahabiskan seluruh uang mereka sehingga akan melatih pengendalian diri mereka. Kedua, dengan menabung mereka akan memiliki sikap untuk bersabar dan berusaha dengan kemampuan mereka sendiri untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Ketiga, dengan dibiasakan menabung anak akan lebih dini mengenal kegiatan investasi. Penanaman disiplin yang kuat dari orang tua serta komunikasi yang intens antara orang tua dengan anak akan menjadikan proses pendidikan menabung semakin mudah. Kebiasaan yang ditanamkan orangtua mampu memberikan penguatan pemahaman tentang uang serta bagaimana menggunakannya. Saat anak menjadi dewasa akan bertendensi menjadi konsumen yang cerdas yang mana salah satu bentuknya adalah berhemat atau tidak boros.


Mulai mengenalkan anak pada lembaga keuangan

Mengenalkan menyimpan uang di bank kepada anak akan sangat bermanfaat baik dari segi keamanan ataupun dari segi kedisiplinan. Anak akan menjadi tidak mudah untuk mengambil uang mereka dibandingkan dengan hanya menyimpan uang di rumah. Anak akan menjadi lebih bisa menahan diri untuk memenuhi keinginan yang tidak begitu penting. Selain itu anak akan terbiasa untuk menyisihkan uang mereka agar bisa disimpan di bank.

Referensi: Subroto Rapih

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...