Monday 20 May 2019

Landasan Syariah: Konsumsi

2.2.3. Konsumsi

Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (7) ayat ke 31, Surah Al-Israa’ (17) ayat ke 26 dan 27, dan Surah Al-Furqaan (25) ayat ke 67 menjadi landasan syariah untuk konsumsi dalam Islam. Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (7) ayat ke 31 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Sebagaimana ayat-ayat yang lalu menuntun putra-putri Nabi Adam a.s., ayat 31 pun demikian, tapi kali ini adalah ajakan agar mereka memakai pakaian yang indah, minimal dalam bentuk menutup aurat, karena membukanya pasti buruk; memakainya setiap kali memasuki dan berada di masjid, baik masjid dalam arti bangunan khusus maupun dalam pengertian yang luas, yakni persada bumi ini. Tuntunan itu dilanjutkan dengan perintah makan dan minum yang halal, enak, bermanfaat, dan berdampak baik, tapi dengan pesan jangan berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan menambah cara atau kadarnya, demikian juga dalam makan dan minum atau apa saja, karena Allah swt. tidak menyukai, yakni tidak melimpahkan rahmat khusus bagi yang berlebih-lebihan dalam hal apa pun.
Ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat Nabi saw. bermaksud meniru kelompok Hummas, yakni kelompok suku Quraisy dan keturunannya yang sangat menggebu-gebu semangat keberagamaannya sehingga enggan berthawaf, kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan dan kadarnya ketika melaksanakan ibadah haji. Sementara sahabat Nabi saw. berkata: "Kita lebih wajar melakukan hal demikian daripada al-Hummas." Nah, ayat di atas turun menegur dan memberi petunjuk bagaimana yang seharusnya dilakukan.
Pelajaran yang dapat dipetik: (1) Berlebih-lebihan dalam segala hal tidak direstui agama. Makan bukan saja yang halal, tetapi hendaknya yang bergizi serta proporsional, tidak berlebihan. Ditemukan juga pesan yang menyatakan: "Termasuk berlebih-lebihan bila Anda makan yang selera Anda tidak tertuju kepadanya." (2) Islam mendorong penampilan keindahan dan hiasan, termasuk dalam berpakaian. Yang dilarangnya adalah keangkuhan dan atau yang mengundang rangsangan berahi. (3) Makanan yang dikonsumsi hendaknya proporsional, yakni yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi orang per orang. Kalau pun perut akan dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernapasan.

Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat ke 26 dan 27 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).

(26) Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (27) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Setelah memberi tuntunan menyangkut Ibu Bapak, ayat 26 melanjutkan dengan tuntunan kepada kerabat dan siapa pun yang butuh. Di sini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk memberikan hak kepada keluarga yang dekat, baik dari pihak ibu maupun bapak, bahkan walau keluarga jauh. Hak dimaksud, antara lain berupa bantuan, kebajikan, dan silaturrahim. Setelah keluarga, yang berhak mendapat perhatian adalah orang miskin, walaupun bukan kerabat, dan siapa pun yang putus bekalnya sedang ia dalam perjalanan, walau di tempat permukimannya ia mampu, baik pemberian itu dalam bentuk zakat maupun sedekah atau bantuan lain yang mereka butuhkan. Perintah ini dilanjutkan dengan larangan menghamburkan harta secara boros, yakni pada hal-hal yang bukan pada tempatnya dan tidak mendatangkan kemaslahatan. Para pemboros, menurut ayat 27 adalah saudara-saudara setan, yakni sifat-sifatnya sama dengan sifat-sifat setan, sedang setan sangat ingkar terhadap Tuhannya.
Pelajaran yang dapat dipetik: Pemborosan adalah sifat tercela. Ia adalah pengeluaran yang bukan pada tempatnya, karena itu jika seseorang menafkahkan / membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka ia bukanlah seorang pemboros.

Berikut dijelaskan bunyi Al-Qur’an Surah Al-Furqaan (25) ayat ke 67 beserta arti dan tafsir ringkasnya berdasarkan Buku Al-Lubâb (Shihab, 2012).


Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Sifat hamba-hamba Allah SWT dalam mengelola harta amat terpuji. Apabila membelanjakan harta yakni baik untuk dirinya maupun keluarga atau orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak juga kikir, yakni pertengahan antara keduanya, yakni mereka bersikap dermawan.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...