Monday 20 May 2019

Landasan Syariah: Pertanggungjawaban Manusia terhadap Harta dan Kenikmatan

2.2.2. Pertanggungjawaban Manusia terhadap Harta dan Kenikmatan

Al-Qur’an Surah At-Takatsur (102) ayat 8 berbunyi sebagai berikut:

Arti ayat tersebut “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Buku tafsir al-Mishbah menjelaskan arti ayat tersebut adalah “Kemudian, pasti kamu akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im.” Selanjutnya dijelaskan tafsir ayat tersebut sebagai berikut (Shihab, 2002):
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dan memperingatkan mereka yang bersaing secara tidak sehat memperbanyak kenikmatan duniawi, ayat di atas memperingatkan bahwa kenikmatan apapun bentuknya pasti akan dimintakan pertanggungjawaban. Atau setelah ayat yang lalu menggambarkan ancaman yang menanti mereka karena hanya memperhatikan kenikmatan duniawi, ayat di atas mengingatkan mereka bahwa sikap tersebut akan mereka pertanggungjawabkan dan kelak mereka akan ditanyai tentang sikap mereka menyangkut kenikmatan ukhrawi. Apapun hubungannya, ayat di atas bagaikan menyatakan: Kemudian, Aku bersumpah bahwa pasti kamu semua wahai manusia akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im yakni aneka kenikmatan duniawi yang kamu raih, atau kenikmatan ukhrawi yang kamu abaikan.
Kata la tus’alunna terambil dari kata sa’ala yang digandengkan dengan huruf lam yang berfungsi sebagai isyarat adanya sumpah dan nun yang digunakan untuk menunjukkan kepastian serta penekanan. Sedang kata sa’ala dapat berarti meminta, baik materi maupun informasi. Yang dimaksud bukan permintaan materi, bukan juga informasi dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi pertanggungjawaban. Kata tersebut berbentuk pasif dalam arti bahwa pelaku yang meminta pertanggungjawaban itu tidak disebutkan. Ini untuk mengarahkan perhatian pendengar kepada pertanggungjawaban itu – tanpa mempersoalkan siapa pun yang melakukannya.
Kata an-na’im biasa diterjemahkan kenikmatan. Sementara ulama menyebut beberapa riwayat yang menjelaskan maksud kata ini, seperti angin sepoi, air sejuk, alas kaki, sampai kepada al-Qur’an dan kehadiran Rasul SAW. Sahabat Nabi SA, Anas Ibn Malik ra menyatakan bahwa ketika turunnya ayat di atas seorang yang sangat miskin berdiri di hadapan Nabi SAW sambil berkata: “Apakah ada suatu nikmat yang kumiliki?” Nabi menjawab: “Ya, naungan, rumput dan air yang sejuk” (kesemuanya adalah nikmat yang engkau peroleh).
Jika kita menelusuri penggunaan al-Qur’an tentang kata-kata yang seakar dengan kata na’im, ditemukan bentuk-bentuk ni’mah, na’mah, na’maa’, an’um. Tentu saja maknanya tidak sama. Kata na’mah (dengan fathah pada huruf nuun) yang digunakan al-Qur’an dalam dua ayat (QS ad-Dukhan (44): 27 dan al-Muzammil (73): 11) dan keduanya dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang kafir yang memperoleh limpahan anugerah atau nikmat material yang mereka tidak syukuri. Sedang kata ni’mah (dengan kasrah pada huruf nun) yang terulang sebanyak 34 kali, pada umumnya digunakan untuk menggambarkan anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sadar atau diharapkan dapat sadar, baik nikmat tersebut bersifat material maupun spiritual. Bahkan sementara ulama membatasinya dalam bidang spiritual keagamaan. Atau paling tidak, pada umumnya kata ni’mah dalam al-Qur’an digunakan dalam arti petunjuk keagamaan (perhatikan QS al-Ma’idah (5): 3 dan QS adh-Dhuha (93): 11.
Kata na’im terulang dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali, 8 di antaranya dengan redaksi jannaat an-na’im (surga-surga yang penuh kenikmatan), 3 dengan redaksi jannatu na’im (surga yang penuh kenikmatan) dalam bentuk tunggal dan 6 sisanya digandengkan dengan berbagai kata tetapi seluruhnya digunakan dalam konteks kenikmatan surgawi di akhirat kelak (lihat misalnya QS al-Infithaar (82): 13-14 atau QS al-Insaan (76): 20. Atas dasar itu rasanya kurang tepat memahami kata na’im pada ayat yang ditafsirkan ini dalam arti kenikmatan yang diperoleh manusia di dunia – baik besar maupun kecil. Kata na’im di sini agaknya lebih tepat dipahami pula dalam konteks kenikmatan ukhrawi sehingga ayat terakhir surah ini memperingatkan kepada mereka yang bersaing secara tidak sehat dalam rangka memperoleh dan memperbanyak harta benda, anak, pengikut dan kedudukan – memperingatkan mereka – bahwa kelak mereka akan diminta untuk mempertanggungjawabkan sikap mereka terhadap kenikmatan ukhrawi, mereka akan ditanyai: Bagaimana sikap kamu di dunia menyangkut kenikmatan-kenikmatan ukhrawi? Apakah kamu percaya atau tidak?” Yang percaya tentu tidak akan bersaing memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan duniawi yang kecil itu bila dibandingkan dengan kenikmatan ukhrawi. Yang percaya tentu akan berlomba memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan ukhrawi.
Seseorang yang menyadari bahwa ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan duniawi, tentu tidak akan mengarahkan seluruh pandangan dan usahanya semata-mata hanya kepada kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara. Seseorang yang menyadari betapa besar kenikmatan ukhrawi akan bersedia mengorbankan kenikmatan duniawi yang dimiliki dan dirasakannya demi memperoleh kenikmatan ukhrawi. Demikian awal ayat surah ini berbicara tentang perlombaan menumpuk kenikmatan duniawi. Akhirnya memperingatkan mereka tentang tanggung jawab kepemilikan harta itu bahkan mengingatkan mereka tentang kenikmatan ukhrawi yang tiada taranya. Demikian, Maha Benar Allah dalam segala firmannya. Wa Allaah A’lam.

Hadits berikut menyebutkan bahwa manusia akan dimintakan pertanggungjawaban atas hartanya. Hal yang ditanyakan tentang harta adalah: (1) dari mana harta diperoleh, dan (2) ke mana dibelanjakan (Antonio, 2010).
Abdullah bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami dari al-Aswad bin Amir, dari Abu Bakar bin Ayyasy , dari Al-A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij, dari Abu Barzah al-Aslami bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba belum akan berpindah pada Hari Kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan ke mana dia infakkan, serta tentang tubuhnya untuk apa dia pergunakan.” (HR At-Tirmidzi No. 2417)
Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih. Sa’id bin Abdullah bin Juraij adalah orang Bashrah dan maula dari Abu Basrah al-Aslami, sedangkan nama Abu Barzah al-Aslami adalah Nadhlah bin Ubaid.”

Ayat tersebut menjadi landasan syariah bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawabannya (dihisab) kelak di hari akhir tentang kenikmatan yang telah diberikan kepadanya di dunia (Nizhan, 2011). Termasuk diantara kenikmatan yang diberikan berupa harta. Seluruh ummat Islam, apapun status ekonominya, diwajibkan untuk mengelola harta mereka dengan baik, karena mereka harus bertanggungjawab atas aset dan liabilitas (Shafii, 2013).
Hadits berikut menjelaskan bahwa orang miskin masuk surga lebih dahulu dibandingkan dengan orang kaya dikarenakan orang kaya harus mempertanggungjawabkan kekayaannya terlebih dahulu.
Hadits nomor 2354 yang berstatus hasan shahih dalam kitab Jami’ At-Tirmidzi berarti: Abu Kuraib menyampaikan kepada kami dari al-Muharibi, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang Muslim yang fakir masuk surga setengah hari lebih dahulu sebelum orang-orang kaya, selisihnya lima ratus tahun.”

Hadits berikut menjelaskan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan harta, artinya sebagai berikut
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.

Harta yang harus dipertanggungjawabkan meliputi sumbernya dan bagaimana pembelanjaannya. Oleh karena itu hadits ini menjadi landasan syariah untuk mengelola keuangan personal berdasarkan ajaran Islam.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...