Tuesday 12 June 2018

Identifikasi dan Batasan Masalah

1.2. Identifikasi Masalah

Kasser, dkk (2004) menyatakan bahwa selain kondisi eksternal, masyarakat menjadi materialis dikarenakan pada level psikologis individu, mereka memiliki beberapa perasaan negatif atas dirinya sendiri. Dampak materialisme pada remaja dan dewasa adalah rendahnya tingkat kebahagiaan (personal well-being) dan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis mendasar. Tercapainya tujuan materialistis tidak dapat menimbulkan kebahagiaan hakiki pada diri seseorang, bahkan dapat meningkatkan resiko terpapar pada penyakit-penyakit mental (personality disorder). Kemudian ketidakbahagiaan pribadi ini menyebabkan hubungan keluarga dan persahabatan yang tidak hangat serta kurang harmonis. Dalam melakukan aktivitas seseorang tidak dilandasi dengan keterkaitan dan keinginan murni untuk melakukan sesuatu yang dicintai, tetapi motivasinya berubah hanya untuk mendapatkan imbalan berupa harta. Kekurangan rasa percaya (trust), empati, dan kemampuan interpersonal menyebabkan munculnya budaya kompetisi dan berkurangnya budaya kerjasama. Budaya tersebut tidak dapat menghasilkan kerukunan hidup komunitas. Tingkat kepedulian terhadap lingkungan juga rendah, dikarenakan nilai-nilai materialistis yang identik dengan sifat serakah dan berlebihan dalam melakukan konsumsi.
Kondisi eksternal dan internal yang dapat menyebabkan seseorang terjerumus dalam gaya hidup materialisme berlebihan juga tidak diimbangi dengan pendidikan dan edukasi keuangan personal yang memadai. Padahal pendidikan ini dapat menjadi bekal seseorang untuk menempatkan budaya konsumerisme secara proporsional di dalam kehidupan keuangannya. Kemampuan untuk mengelola keuangan yang disebut dengan istilah literasi keuangan (financial literacy) dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya (Morton, 2005). Pendidikan keuangan personal sudah seharusnya dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal, atau minimal dimasukkan sebagai materi dalam pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan pengembangan diri (Krishna dkk, 2009).

Di sisi lain, Islam merupakan agama yang komprehensif, seharusnya ia dapat menawarkan solusi bagi permasalahan manusia (Antonio, 2001). Abad ke 15 H dicanangkan sebagai abad kebangkitan Islam, sistem perekonomian Islam juga mulai dikembangkan sebagai sistem perekonomian alternatif beserta pengembangan metodologi ilmiah untuk ekonomi Islam. Konsep Islam tentang pengembangan ekonomi merupakan konsep yang komprehensif dan terintegrasi antara aspek moral, spiritual, material, sosial, dan ekonomi (Possumah, 2012).

Salah satu definisi ekonomi Islam yang dijelaskan sebagai pengetahuan dan Aplikasi hukum syari’ah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumber daya dengan tujuan untuk memberikan kepuasan manusia dan melakukannya sebagai kewajiban kepada Allah dan masyarakat (Muhamad, 2004). Ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumber daya yang berusaha diselesaikan oleh ekonomi Islam merupakan inti dari permasalahan konsumerisme dalam masyarakat. Oleh karena itu, bagi seorang muslim seharusnya konsumerisme dalam keuangan personalnya dapat dikontrol dengan cara memahami ajaran Islam yang sesuai. Ajaran yang dimaksud adalah ilmu manajemen harta dalam Islam.


1.3. Batasan Masalah

Penelitian di bidang manajemen harta Islam yang khusus untuk diterapkan dalam keuangan personal di masa kontemporer belum banyak ditemui di dunia akademis saat ini. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian masih terbuka lebar dan pembahasannya sangat luas. Maka diperlukan pembatasan dalam penelitian yang dilakukan untuk menghindari meluasnya penelitian, serta agar penelitian ini lebih terarah. Penelitian ini dilakukan dengan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dimaksudkan untuk membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab konsumerisme pada masyarakat di level mikro baik pada individu maupun keluarga, dampak konsumerisme pada kondisi keuangan personal, serta solusi yang diajukan ditinjau dari pendekatan pengelolaan keuangan personal dan manajemen harta Islam.
2. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dari para ahli. Para ahli yang dimaksud terdiri dari akademisi ekonomi Islam dengan latar belakang spesialisasi pendidikan yang berbeda-beda, dan praktisi konsultan manajemen keuangan. Data tersebut kemudian dianalisa dan disinergikan dengan data sekunder dari literatur-literatur yang relevan. Hasilnya adalah sebuah solusi yang dapat diterapkan dalam keuangan personal dalam rangka mengeliminir dampak negatif konsumerisme.
3. Pembahasan keuangan personal dalam penelitian ini dibatasi dalam sub-tema perencanaan keuangan personal yang digunakan dalam pengelolaan keuangan bagi individu dan keluarga.
Pembatasan masalah tersebut disimpulkan dalam satu kalimat yang merangkum isi penelitian ini yaitu “Analisis Konsumerisme dalam Keuangan Personal: Model Solusi Berdasarkan Konsep Perencanaan Keuangan dan Manajemen Harta Islam”.

Latar Belakang

1.1. Latar Belakang

Industri keuangan telah berkembang demikian canggih dan menghasilkan berbagai produk keuangan dengan skema yang bermacam-macam. Promosi yang dilakukan industri keuangan kepada masyarakat umum juga cukup gencar. Padahal, tidak semua produk keuangan tersebut cocok dan menguntungkan bagi setiap orang (Morton, 2005). Data indeks literasi dan indeks utilitas sektor keuangan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggambarkan kondisi masyarakat di Indonesia. Menurut data tersebut, secara keseluruhan mayoritas masyarakat telah menggunakan industri perbankan dan memiliki tingkat pemahaman yang cukup. Sedangkan untuk sektor keuangan lainnya seperti: asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, pasar modal dan pegadaian; mayoritas masyarakat memiliki tingkat literasi rendah dan hanya sebagian kecil masyarakat yang telah menggunakannya.

Tabel 1.1. Indeks Literasi dan Indeks Utilitas Sektor Keuangan dari OJK
Perbankan Asuransi Perusahaan Pembiayaan Dana Pensiun Pasar Modal Gadai
Well literate 21.80% 17.84% 9.80% 7.13% 3.79% 14.85%
Sufficient literate 75.44% 41.69% 17.89% 11.74% 2.40% 38.89%
Less literate 2.04% 0.68% 0.21% 0.11% 0.03% 0.83%
Not literate 0.73% 39.80% 72.10% 81.03% 93.79% 45.44%
Utilitas 57.28% 11.81% 6.33% 1.53% 0.11% 5.04%
Sumber: www. ojk.go.id (8 Agustus 2015)

Di lain pihak, ketika memasuki era posmodernisme, konsumerisme semakin berkembang luas sehingga menjadi suatu fenomena internasional. Tanda-tanda konsumerisme yang menjadi ciri budaya konsumen dapat diamati sejak sebelum zaman modern. Kemudian mengalami perkembangan pesat pada era modern, yaitu tepatnya pada tahap kedua era industri di Eropa pada abad ke 18. Era industri memfasilitasi produksi barang-barang konsumsi secara massal, sehingga meningkatkan penawaran barang. Di sisi lain, ia meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga menciptakan kebutuhan baru akan konsumsi. Hal ini menjadi salah satu penyebab berkembangnya budaya konsumen di era posmodernisme (Stearns, 2001).

Penyebaran budaya konsumerisme ke seluruh dunia juga didukung dengan beberapa hal lainnya. Hal ini dimulai dengan kolonialisme dari Eropa ke seluruh dunia (Stearns, 2001). Pada era modern, penyebaran sistem ekonomi kapitalis terus berlanjut ke seluruh dunia (Kasser & Kanner, 2004). Di Indonesia, modernisme dalam teknologi serta permodalan asing yang digunakan untuk pembangunan, ikut membawa konsumerisme sebagai dampak samping (Heryanto, 2004). Kemajuan teknologi media massa dan periklanan juga berperan signifikan untuk mentransfer dan menyebarkan nilai-nilai simbolis pada masyarakat. Adanya pengaburan nilai guna dalam periklanan menyebabkan masyarakat melakukan konsumsi bukan sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan, namun lebih sebagai pemenuhan keinginan (Nurist dan Surayya, 2010). Secara tidak sadar, pesan yang disampaikan oleh berbagai pihak seperti pemerintah, sistem pendidikan, para tokoh, dan seterusnya, sama, yaitu bekerja keras untuk mendapatkan lebih banyak uang agar dapat menghabiskan lebih banyak uang (Kasser & Kanner, 2004).

Di satu sisi, budaya konsumsi mendorong perkembangan ekonomi, tetapi di sisi lain ia dapat menimbulkan permasalahan. Gaya hidup berlebihan dan konsumtif merupakan bagian dari pengaruh negatif modernisasi dan globalisasi. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan budaya ke arah yang bertolak belakang dengan prinsip hidup madani (Tamanni dan Mukhlisin, 2013). Selain itu, juga terjadi pergeseran nilai yang semakin menyisihkan nilai-nilai dalam kebudayaan tradisional (Heryanto, 2004). Kualitas hidup masyarakat menurun karena bagi yang berpenghasilan rendah, konsumsi kebutuhan pokok dapat dikalahkan dengan keinginan untuk mengkonsumsi hal-hal yang tidak termasuk kebutuhan pokok (Alfitri, 2007). Kondisi ketidakmerataan (inequality) pada pendapatan, kekayaan, dan kekuasaan juga diperburuk dengan adanya konsumerisme (Dowd, 2009). Kemiskinan jenis baru, yaitu flawed consumer, muncul sebagai akibat dari pergeseran budaya etos kerja menjadi budaya estetika konsumsi (Bauman, 2005).

Istilah konsumerisme digunakan untuk menjelaskan kondisi materialisme yang berlebih-lebihan dan pembuangan sumber daya (Swagler, 2005). Konsep materialisme merupakan nilai utama yang mendasari nilai-nilai dalam budaya konsumen lainnya. Semakin banyak konsumsi yang dilakukan oleh seseorang maka semakin tinggi nilai orang tersebut dalam pandangan materialisme. Gaya hidup berdasarkan konsumsi juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi (Nurist dan Surayya, 2010). Titik berat materialisme ada pada kecukupan individu, dan bukan pada kecukupan golongan. Hal tersebut bertolak belakang dengan nilai-nilai kekeluargaan dan keagamaan (Solomon, 2013).

Referensi:
- Stearns, Peter N. (2001). Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire. London: Routledge.
- Kasser, Tim dan Allen D. Kanner. Ed.(2004). Psychology and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World. Washington, DC: American Psychological Association .
- Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia. Nirmana Vol. 6, No. 1, Januari 2004 hlm 52-62.
- Nurist dan Surayya (2010). Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Diponegoro University: Institutional Repository. Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Undip.
- Tamanni, Luqyan dan Murniati Mukhlisin (2013). Sakinah Finance: Solusi Mudah Mengatur Keuangan Keluarga Islami. Solo: Tinta Medina.
- Alfitri (2007). Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Diterbitkan dalam Majalah Empirika Volume XI No 01.
- Dowd, Douglas (2009). Inequality and the Global Economic Crisis. USA: Pluto Press .
- Bauman, Zygmut (2005). Work, Consumerism and The New Poor: Second Edition. England: Open University Press.
- Swagler, Roger (2005). Evolution and Applications of the Term Consumerism: Theme and Variations. Diterbitkan pada Journal of Consumer AffairsVolume 28, Issue 2, Article first published online: 4 Mar 2005.
- Solomon, Michael R (2013). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being (Tenth Edition). Essex, England: Pearson Education Limited.

Proposal: Teknik Analisis Data

3.5. Teknik Analisis Data

Metodologi penelitian yang digunakan adalah content analysis (analisis isi) untuk data-data yang bersifat kualitatif. Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh itu, makna komunikasi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi (Bungin, 2011 ).

Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Penggunaan analisis isi untuk penelitian kualitatif tidak jauh berbeda dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada fenomena komunikasi yang dapat diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu dapat merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan semua tindakan harus didasarkan pada tujuan tersebut.

Langkah berikutnya adalah memilih unit analisis yang akan dikaji, memilih objek penelitian yang menjadi sasaran analisis. Jika objek penelitian berhubungan dengan data-data verbal, maka perlu disebutkan tempat, tanggal, dan alat komunikasi yang bersangkutan. Namun, jika objek penelitian berhubungan dengan pesan-pesan dalam suatu media, perlu dilakukan identifikasi terhadap pesan dan media yang mengantarkan pesan itu.

Pada penelitian kualitatif, terutama dalam strategi verifikasi kualitatif, teknik analisis data ini dianggap sebagai teknik analisis data yang sering digunakan dan paling umum. Artinya, teknik ini adalah yang paling abstrak untuk menganalisis data-data kualitatif. Content analysis berangkat dari anggapan dasar dari studi-studi ilmu sosial. Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952), sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang analisis isi, selalu menampilkan tiga syarat yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi (Bungin, 2011 ).

Gambar berikut menjelaskan kerangka proses penelitian dari mulai tahap perencanaan penelitian, pelaksanaan penelitian, hingga mendapatkan hasil penelitian. Desain penelitian, teknik pengumpulan data, serta metode analisis data juga dirangkum dalam gambar ini.

Monday 11 June 2018

Proposal: Desain Penelitian

3.1. Desain Penelitian

Ranah penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam penelitian ilmu ekonomi Islam dengan tema consumer behavior. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian terapan (applied research) yang termasuk pada penelitian tindakan. Penelitian tindakan bertujuan untuk memecahkan masalah melalui aplikasi metode ilmiah (Kuncoro, 2009).

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif yang berusaha menggali suatu permasalahan secara mendalam. Desain penelitian kualitatif tidak memiliki ukuran-ukuran dan model yang seragam. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan Bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penekanan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi mengenai suatu fenomena yang terjadi dengan cara mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkaitan dengan masalah dan unit yang diteliti. Desain penelitian yang dianggap tepat untuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang beraliran critical realism yaitu dimana peneliti mengumpulkan data terlebih dahulu melalu studi pustaka dan studi lapangan kemudian kritis menggunakan teori untuk menentukan solusi bagi permasalahan yang ditemui.

Menurut Bungin (2011), proses-proses penelitian, terutama penelitian kualitatif membutuhkan kekuatan analisis yang lebih mendalam, terperinci namun meluas dan holistis, maka kekuatan akal adalah satu-satunya sumber kemampuan analisis dalam seluruh proses penelitian. Penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis-ilmiah, dimana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena sosial, melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati. Produk berpikir induktif itu menjadi jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian, jawaban tersebut dinamakan dengan berpikir induktif-analitis. Kebenaran ilmiah merupakan produk kesimpulan rasional yang koheren dengan sistem pengetahuan yang ada, serta sesuai dengan fakta yang ada. Ciri-ciri penelitian kualitatif adalah: wilayahnya sempit, variabel sederhana namun rumit dalam tataran konten, berada di kedalaman, mempersoalkan makna, mempertanyakan fenomena, pengukurannya rumit, alat ukur peneliti sendiri, perekam data bisa peneliti tanpa atau dengan alat.

Dewey dalam Bungin (2011) mengemukakan proses berpikir refleksi melalui langkah-langkah sebagai berikut: (a) adanya kebutuhan, (b) kebutuhan tersebut ditetapkan permasalahannya, (c) menyusun hipotesis sebagai jawaban sementara atas pemecahan masalah, (d) mengumpulkan data sebagai evidence, (e) membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya, (f) memformulasikan kesimpulan secara umum agar dapat digunakan pada kasus lain yang memiliki kemiripan.

Teorisasi dalam penelitian ini menggunakan model deduksi, dimana teori menjadi alat penelitian sejak memilih dan menemukan masalah, membangun hipotesis, maupun melakukan pengamatan di lapangan sampai dengan menguji data. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-kualitatif dimana peneliti mendekati makna dan ketajaman analisis-logis dan tidak menggunakan statistik. Kemunculan penelitian deskriptif-kualitatif berasal dari pengaruh pragmatis antara riset-riset kuantitatif dan riset-riset kualitatif, tetapi ia dapat diterima sebagai salah satu tipe dalam penelitian kualitatif. Teori digunakan sebagai awal menjawab pertanyaan penelitian, arahan teori menuntun peneliti menjawab penelitian yang akan dilakukan dengan melahirkan hipotesis. Hipotesis tidak diuji dengan teknik analisis data tetapi digunakan untuk menuntun peneliti saat pengumpulan data, sehingga teori mendominasi penelitian dan mempengaruhi uji dan pembahasannya. Teorisasi deduktif umumnya diakhiri dengan bahasan tentang teori apakah teori tersebut: (1) diterima, (2) didukung dan diperkuat, (3) diragukan dan dikritik, (4) direvisi, (5) dibantah dan ditolak. (Bungin, 2011)

Lebih lanjut untuk dapat menjawab permasalahan penelitian ini perlu dilakukan dua tahapan berikut: (1) menjelaskan teori dasar baik dari sudut pandang konvensional dan sudut pandang Islami yang dijabarkan pada bab 2 dan kemudian, (2) mencari harmonisasi antara berbagai teori yang diajukan menggunakan studi pemikiran tokoh.

Tahap kedua adalah melakukan konfirmasi kepada para praktisi financial planning mengenai dampak negatif konsumerisme pada keuangan personal. Kemudian pada tahap kedua ini juga dilakukan penelitian untuk studi pemikiran tokoh yang merupakan tokoh-tokoh ahli di bidang ekonomi Islam yang memiliki ketertarikan pada isu bagaimana menerapkan ekonomi Islam dalam pengelolaan keuangan personal.

Referensi:
- Bungin, M. Burhan Bungin (2011). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta, Indonesia: Kencana, Prenada Media Group.
- Kuncoro, Mudrajad (2009). Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sunday 10 June 2018

Proposal: Solusi Konsumerisme

2.3.2. Solusi Konsumerisme

Konsumerisme merupakan permasalahan yang tidak sederhana dan faktor penyebabnya berasal dari berbagai sumber serta dampaknya mempengaruhi segala aspek dalam kehidupan manusia, maka solusi yang diajukan juga harus komprehensif sehingga dapat mengatasi permasalahan tersebut secara tuntas. Diantara aspek-aspek yang harus diperhatikan adalah penyebab dan dampak secara ekonomis dan psikologis. Islam yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai agama yang komprehensif seharusnya dapat menawarkan solusi yang tepat (Syafi’i Antonio, 2001 ). Sebelum membahas solusi komprehensif dari sudut pandang Islamic Wealth Management, akan ditinjau lebih dahulu solusi-solusi yang ditawarkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.


A. Pandangan Ajaran Agama terhadap Konsumerisme

Varul (2008) menjelaskan hubungan antara konsumerisme dengan ajaran agama, yaitu bagaimana agama Islam dan agama Kristen menyikapi fenomena budaya konsumen yang telah meluas saat ini. Beberapa tokoh pemikir relijius memiliki kekhawatiran bahwa nilai-nilai relijius telah digantikan dengan konsumsi berlebihan ala hedonisme, idola masyarakat bukan lagi Tuhan tetapi digantikan oleh konsumsi dan pemuasan diri, serta tidak lagi mencari nilai-nilai transendental di tempat-tempat ibadah melainkan memenuhi tempat-tempat konsumsi seperti tempat perbelanjaan dan wisata.
Varul (2008) telah menjabarkan bahwa agama Islam dan agama Kristen sebenarnya dapat, dan telah melakukan adaptasi pada lingkungan modern yang didominasi oleh budaya konsumerisme. Secara sekilas, agama Islam dan agama Kristen terlihat anti-konsumerisme, tetapi dapat tetap bertahan di tengah budaya konsumsi. Islam banyak membahas tentang gaya hidup Islami beserta hal-hal yang dilarang untuk dikonsumsi seperti babi, minuman keras (alcohol), pornografi, hal-hal yang merusak kesehatan, dan hal-hal lain yang bila dikonsumsi akan dapat menjauhkan manusia dari mengingat Allah SWT. Akan tetapi di sisi lain, Islam juga tidak menolak adanya kecenderungan atau desire manusia terhadap kesenangan duniawi seperti makanan enak dan keinginan seksual. Islam tidak mengenal adanya pelepasan sepenuhnya dari kesenangan duniawi seperti yang ada dalam sistem kebiksuan dan kependetaan, ia mengizinkan hal tersebut untuk dinikmati manusia selama dilakukan dalam jalur-jalur dan cara-cara yang halal dan benar menurut Islam. Bahkan kesenangan-kesenangan duniawi tersebut merupakan salah satu karunia dari Allah SWT pada manusia di dunia. Islam tidak menentang konsumerisme bahkan ia menganjurkan gaya hidup hedonis yang moderat, fakta adanya hal-hal yang dilarang untuk dikonsumsi dianggap untuk kebaikan manusia itu sendiri, serupa dengan anjuran hidup sehat yang dipromosikan oleh pemerintah (government health advice).
Secara umum, gaya konsumsi Protestan (Kristen) lebih sederhana dibandingkan dengan Katolik, dan disebutkan adanya asketisisme Kristen terhadap hal-hal duniawi, tetapi tidak ada larangan untuk mengkonsumsi barang-barang tertentu. Di sisi lain, Kristen dan konsumerisme telah melakukan interaksi dan bersinergi dalam menciptakan tempat perbelanjaan dan wisata relijius seperti “Heritage Village”. Upaya pencarian keuntungan dunia dan konsumsi berkelanjutan telah berakar dalam agama Kristen, oleh karena itu ia dapat dianggap sebagai salah satu pemicu revolusi industri dan revolusi konsumsi. Kesuksesan bisnis seseorang dianggap sebagai suatu kehormatan dan meningkatkan status seseorang, akan tetapi tidak dilakukan untuk mendukung gaya hidup mewah. (Varul, 2008).
Mujahidin (2013) menjelaskan bahwa Al-Qur`an menurut Tafsir al-Misbâh menyerukan paradigma baru dalam konsumsi. Harta dipandang sebagai hal yang pokok dan vital dalam kehidupan, namun tidak menjadi sesuatu yang terpenting. Konsumsi bahkan terhadap barang-barang mewah tidaklah dilarang, namun manusia harus mengendalikannya, karena kecintaannya pada harta benda akan melupakannya pada nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Nilai-nilai yang harus dipelihara oleh orang beriman dalam konteks pengendalian konsumsi adalah harmoni hubungan antara yang kaya dan yang lemah. Islam memandang infaq tidak hanya hubungan kedermawanan yang bersifat pribadi dari si kaya namun harus didasarkan pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara sesama manusia.


B. Edukasi Personal Finance Sebagai Bekal Konsumen

Solusi lain yang diajukan adalah dengan melakukan edukasi pengelolaan personal finance sehingga masyarakat memiliki bekal untuk menempatkan budaya konsumerisme secara proporsional di dalam kehidupan keuangannya. Morton (2005) menjelaskan tentang kebutuhan akan edukasi mengenai tema personal finance di lembaga-lembaga pendidikan formal termasuk tingkat sekolah dasar, menengah, hingga universitas karena kemampuan ini dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Kebutuhan ini juga dikarenakan industri keuangan telah berkembang sedemikian canggihnya dengan produk-produk yang bermacam-macam dan dengan skema-skema yang rumit, dan informasinya disebarluaskan dengan bantuan teknologi informasi yang juga tidak kalah cepatnya berkembang. Akan tetapi tidak banyak didapati lembaga pendidikan formal yang memiliki perhatian dan dapat mengakomodasi kebutuhan ini, padahal edukasi tersebut merupakan bekal bagi calon konsumen untuk meningkatkan financial literacy sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi .
Rekomendasi yang sama juga dikemukakan oleh Krishna, dkk (2009) setelah melakukan penelitian terhadap tingkat literasi keuangan di kalangan mahasiswa di Indonesia yaitu bahwa untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan personal finance masuk ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian dari sistem pendidikan di Universitas baik untuk program studi Ekonomi maupun non Ekonomi. Pendidikan personal finance dapat juga diberikan dalam bentuk penyelipan materi dalam pembekalan mahasiswa seperti dalam pelatihan kepemimpinan, workshop pengembangan diri, dll.


Referensi:
- Syafi’i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
- Varul, Matthias Zick (2008). After Heroism: Religion versus Consumerism. Preliminaries for an Investigation of Protestantism and Islam under Consumer Culture. Artikel dalam Islam and Christian-Muslim Relations April 2008: ResearchGate diunduh tanggal 4 Juli 2015.
- Mujahidin, Anwar (2013). Konsumerisme Dan Konsumisme Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur`an. Laboratorium Studi Al-Qur'an Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung .
- Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education. Artikel dalam jurnal Social Education 69(2), pp. 66-69 diterbitkan oleh National Council for the Social Studies.
- Krishna, Ayu dan Maya Sari dan Rofi Rofaida. Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Survey pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia).

Proposal: Fenomena Konsumerisme

2.3.1. Fenomena Konsumerisme

Fenomena konsumerisme dapat diamati dari sejarah konsumerisme, faktor-faktor yang menyebabkan konsumerisme, dan dampak-dampak yang diakibatkan oleh adanya konsumerisme. Bagian berikut akan menjelaskan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengemukakan fenomena tersebut.


A. Sejarah Konsumerisme

Stearns (2001) menjelaskan secara komprehensif sejarah konsumerisme di dunia, dimulai dari dapat ditemukannya tanda-tanda kecenderungan terhadap konsumerisme pada kebudayaan dunia sebelum masa modern pada tahun. Dilanjutkan pada era industri awal tahun 1780an hingga 1840an, dimana masyarakat sibuk bekerja dan memenuhi kebutuhan yang semakin mahal sehingga perkembangan konsumerisme melambat. Kemudian pada tahap kedua era industri barulah mulai dirasakan dampak perkembangan industri pada kemunculan konsumerisme modern yang dimulai di Eropa barat. Penyebab yang disebutkan adalah ketersediaan supply produk-produk baru, kenaikan pendapatan masyarakat secara umum yang menciptakan kebutuhan baru, serta pengaruh budaya perkotaan yang semakin kuat. Sudut pandang yang berbeda menyatakan bahwa perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, yang semakin banyak bekerja di pekerjaan yang tingkat rutinitasnya tinggi, kemudian melakukan kompensasi terhadap hal tersebut diluar pekerjaan yaitu dengan kegiatan-kegiatan hiburan dan mengkonsumsi barang-barang mewah yang dianggap dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Eropa sebagai wilayah terkuat saat itu, dan dengan perluasan perdagangan serta kolonialismenya ke seluruh dunia, membawa serta budaya konsumerisme yang dianggap simbol kesuksesan ke berbagai negara di dunia. Di berbagai belahan dunia, budaya konsumerisme diadaptasi dan disesuaikan dengan kondisi lokal. Amerika Serikat mengadaptasi budaya ini pada tahun 1800an bersamaan dengan kedatangan koloni-koloni Eropa ke Amerika, akan tetapi konsumerisme di AS mengalami perkembangan lebih pesat dibandingkan dengan di Eropa. Pada tahun 1850an, department store mulai banyak bermunculan di Eropa dan AS, dan menyebar ke Rusia, Asia Timur, serta wilayah-wilayah lain, diikuti dengan kemunculan katalog belanja dan iklan-iklan komersial. Perkembangan marketing dan periklanan pada tahun 1920an mulai memasuki berbagai media seperti kerjasama dengan sistem pendidikan dan pemerintah. (Stearns, 2001)
Peach dan Steindel (2000 ) menyajikan data tentang menurunnya tingkat personal saving di Amerika Serikat pada dekade terakhir mulai tahun 1990 awal hingga tahun 2000. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat telah melakukan pengeluaran secara sembrono, dan banyak orang yang memiliki gaya hidup yang lebih tinggi daripada pendapatannya. Jika pola konsumsi lebih besar dari pendapatan ini terus berlanjut dan dilakukan oleh masyarakat luas, dapat menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara umum. Akan tetapi data penurunan personal saving kemudian diikuti pula dengan data kenaikan pendapatan masyarakat secara umum, sehingga kondisi keuangan masyarakat tetap dapat dijaga.


B. Penyebab Konsumerisme

Di Indonesia, Nurist dan Surayya (2010) menjelaskan fenomena budaya konsumen dengan diawali modifikasi sebuah pernyataan filosofis populer “Cogito ergosum—aku berpikir, maka aku ada” menjadi “I shop therefore I am” --aku berbelanja, maka aku ada yang dianggap dapat mewakili keadaan masyarakat saat ini. Berikutnya dijelaskan mengenai definisi konsumsi dan konsumerisme serta kedudukannya di masyarakat bahwa bahwa konsumsi telah terkonstruksi dalam rasionalitas masyarakat global dunia sehingga konseptualisasi mengenai diri dan dunia dipengaruhi atau—pada level akutnya—dibentuk oleh konsumsi. Adanya pengaburan nilai guna (use value) menjelaskan bahwa masyarakat berkonsumsi bukan sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan (needs), namun lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire). Kebutuhan mungkin dapat dipenuhi dengan konsumsi objek, sebaliknya, hasrat justru tidak akan pernah terpenuhi. Dalam sistem masyarakat saat ini, simbol dan citra memang semakin mengalahkan kenyataan. Penampakan lebih penting dari esensi. Citra mampu mengubah objek yang fungsinya sama menjadi berbeda. Citra membedakan satu objek bisa bernilai tinggi dibanding yang lainnya. Citra juga yang membuat orang rela berkorban lebih besar untuk konsumsi sebuah benda yang tidak signifikan fungsinya.
Selanjutnya dijelaskan fungsi periklanan dalam budaya konsumen bahwa media massa berperan sangat signifikan untuk mentransfer dan menyebarkan nilai simbolis—symbolic value—pada masyarakat. Iklan menciptakan simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari objek dalam masyarakat, serta mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang dimanipulasi dan menekankan apa yang bisa didapatkan atau diperoleh konsumen dari objek yang dikonsumsi. Dalam masyarakat konsumen, orang-orang mengenali dirinya dalam komoditi mereka, mereka menemukan jiwa mereka dalam mobil, perangkat hi-fi, rumah, perabotan, dsb. Gaya hidup juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi. (Nurist dan Surayya, 2010)
Heryanto (2004) juga menjelaskan bahwa salah satu penyebab munculnya konsumerisme di Indonesia adalah pengaruh dari budaya Barat yang membawa modernisme. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa pembangunan di Indonesia menggunakan teknologi dan modal dari Barat sehingga secara tidak langsung menimbulkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Pergeseran nilai tersebut juga sejalan dengan meluasnya konsumerisme di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan multinasional telah memaksakan sistem sosial baru yang kadang-kadang tidak sejalan dengan kebudayaan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, sehingga terjadi pergeseran nilai dan konsumerisme di tengah krisis ekonomi di Indonesia.
Di satu sisi, masyarakat digempur dengan informasi yang mempromosikan budaya konsumerisme. Tetapi di sisi lain, perkembangan teknologi informasi sebagai sarana marketing dan promosi serta perkembangan produk-produk keuangan tidak diimbangi dengan pendidikan personal finance yang memadai. Pendidikan personal finance akan dapat memberikan bekal kepada para konsumen dan calon konsumen untuk mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi (Morton, 2005). Ketiadaan program ini di dalam sistem pendidikan formal menjadi salah satu penyebab menyebarluasnya konsumerisme yang berlebihan di masyarakat. Masyarakat hanya mendapatkan pendidikan personal finance dari sumber-sumber informal, terutama dari contoh yang dilihat dalam lingkungan keluarga dan masyarakat bahwa kegiatan konsumsi adalah suatu kenikmatan, tetapi hal ini juga tidak sering diikuti dengan edukasi dari keluarga tentang pengelolaan keuangan personal.
Krishna, dkk (2009) menjelaskan bahwa tingkat literasi finansial seseorang menentukan sikap dan opininya dalam memilih keputusan keuangan yang tepat, semakin tinggi tingkat literasinya maka semakin banyak pilihan keputusan keuangan yang tepat dilakukan. Literasi finansial ini juga dipengaruhi oleh faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, asal program studi, dan pengalaman kerja. Mereka juga berargumen bahwa literasi keuangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang agar terhindari dari masalah keuangan, dimana masalah ini bukan hanya berasal dari rendahnya pendapatan, tetapi juga dari kesalahan pengelolaan keuangan. Literasi keuangan, bersama dengan kemampuan membaca dan kemampuan matematik merupakan kunci untuk dapat menjadi konsumen yang cerdas.
Kasser, dkk (2004) menjelaskan penyebab masyarakat menjadi materialis dari sudut pandang ilmu psikologi yaitu: insecurity, keterpaparan dengan teladan dan nilai-nilai materialistik, periklanan dan penyebaran kapitalisme, competence, relatedness, dan autonomy, dimana faktor-faktor penyebab ini saling berkaitan satu sama lain. Perasaan insecure dalam diri seseorang merupakan satu atau gabungan antara beberapa perasaan negatif lainnya seperti: kekhawatiran dan keraguan (tidak percaya diri) atas kemampuan untuk mengatasi tantangan secara efektif dan keamanan serta keselamatan diri di dunia yang tidak dapat diprediksi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa insecurity dapat disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar psikologis seseorang seperti autonomy yaitu perasaan tentang adanya pilihan, kepemilikan, dan keterlibatan tinggi atas aktivitas seseorang. Hal ini diantaranya dapat disebabkan karena ketidakbahagiaan dalam keluarga yang dapat disebabkan karena gaya parenting yang kurang baik, atau perceraian, dan sebagainya.
Penelitian lain (Cohen, 1996 ; Kasser, 1995 ; Abramson & Inglehart, 1995) juga menyebutkan bahwa orang-orang dari latar belakang ekonomi yang kurang sejahtera lebih materialistis dibanding orang-orang yang memiliki kecukupan dan kesejahteraan. Keterpaparan dengan teladan dan nilai-nilai materialistik menjelaskan pengaruh eksternal terhadap munculnya nilai-nilai materialistis dalam diri seseorang. Pengaruh eksternal yang dimaksud dapat berasal dari keluarga, lingkungan masyarakat, media seperti televisi dan popular culture lainnya, serta kebudayaan dalam skala yang lebih besar, dimana kesemuanya menampakkan pentingnya harta dan kepemilikan dalam lingkungan sosial. Termasuk didalam pengaruh eksternal ini adalah dengan berkembangnya periklanan (advertising) dalam kehidupan masyarakat yang dapat menimbulkan perasaan insecure dan menyebabkan masyarakat terus melakukan konsumsi sebagai kompensasi. Disebutkan lebih lanjut bahwa perekonomian pasar bebas yang menyebabkan konsentrasi harta di tangan sedikit orang menyebabkan disparitas tinggi antara komunitas kaya dengan komunitas miskin.
Para ahli ekonomi (kapitalis) bersepakat bahwa pertumbuhan ekonomi pasar bebas didorong dengan adanya peningkatan profit yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi. Penyebaran sistem ekonomi kapitalis terus berlanjut ke seluruh dunia, diikuti dengan budaya konsumerisme yang semakin banyak memasuki kehidupan masyarakat. Pesan yang disampaikan dari berbagai pihak seperti pemerintah, sistem pendidikan, tokoh-tokoh budaya, dan seterusnya sama yaitu bekerja keras untuk mendapatkan lebih banyak uang agar dapat menghabiskan lebih banyak uang baik dengan konsumsi maupun dengan investasi untuk menghasilkan lebih banyak uang. Saat ini, sebagian besar masyarakat hidup dalam budaya konsumsi dan sulit untuk lepas dari hal tersebut. (Kasser & Kanner, 2004)


C. Dampak Konsumerisme

Salah satu dampak dari perubahan gaya hidup masyarakat global terutama di perkotaan, adalah menurunnya kualitas hidup masyarakat. Bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat mengesampingkan kebutuhan pokok karena adanya dorongan untuk mengkonsumsi kebutuhan yang pada dasarnya tidak termasuk kebutuhan pokok. Contohnya adalah adanya kebutuhan untuk membeli peralatan elektronik yang sedang populer tetapi belum tentu dibutuhkan, sehingga sampai mengurangi alokasi konsumsi kebutuhan pokok. (Alfitri, 2007 )
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kasser, dkk (2004 ) yang menjelaskan hasil beberapa penelitian sebelumnya bahwa diantara dampak-dampak materialisme pada remaja dan dewasa adalah rendahnya tingkat personal well-being dan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis. Hal itu ditandai dengan: rendahnya tingkat well-being (kebahagiaan), self-acceptance atau kepuasan atas diri sendiri dan kepercayaan diri, affiliation atau community feeling yaitu merasa sebagai bagian dari suatu komunitas sosial tertentu, rendahnya tingkat kualitas hidup, timbulnya depresi, menurunnya tingkat produktivitas sosial, munculnya narsisme, timbulnya penyakit-penyakit fisik, terjebak dalam penyalahgunaan obat-obatan, meningkatnya resiko terpapar pada penyakit-penyakit mental (personality disorders), menurunnya kualitas relationship, dan rendahnya tingkat kepuasan hidup, serta dampak-dampak psikologis lainnya bagi keadaan kehidupan pribadi, keluarga, dan lingkungan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang-orang yang materialistis tidak dapat memenuhi kebutuhan psikologis dasar yaitu: competence, relatedness, dan autonomy. Perasaan memiliki competence tidak dapat dipenuhi karena rendahnya kepercayaan diri, tingginya tingkat narsisme, ketergantungan pada pendapat orang lain dan membanding-bandingkan keadaan sosial, yang dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman dengan keadaan dirinya sendiri, bahkan jika tujuan-tujuan materistiknya telah tercapai tetapi tetap tidak memiliki rasa percaya diri dan kebahagiaan hakiki. Dampak lanjutan adalah hubungan keluarga dan persahabatan yang tidak hangat serta kurang harmonis dan langgeng dikarenakan kurangnya rasa percaya (trust) dan kebahagiaan pribadi serta keinginan untuk berbuat baik, sehingga muncul budaya kompetisi dan kurangnya budaya kerjasama, rendahnya empati dan kemampuan interpersonal, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan relatedness. Autonomy, yaitu perasaan memiliki serta tingkat keterlibatan dalam melakukan aktivitas, tidak dapat dipenuhi karena orang-orang melakukan sesuatu bukan karena adanya keinginan dan kecenderungan yang memuaskan diri sendiri dan tidak melakukan sesuatu sepenuh hati, tetapi karena adanya motivasi untuk mendapatkan reward berupa harta, serta dorongan perasaan bersalah dan tekanan eksternal .
Kasser, dkk (2004) juga menjelaskan dampak sosial dari tingginya tingkat materialisme yaitu adanya perilaku yang membahayakan kesehatan suatu komunitas dan ekologi dunia, karena suatu komunitas yang sehat adalah yang didasarkan pada saling tolong menolong, bekerjasama, dan adanya saling percaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang materialis tidak memiliki tingkat kepedulian sosial yang mencukupi, tidak memiliki keinginan untuk menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih baik, tidak memperhatikan kebutuhan orang lain, memiliki tendensi untuk berperilaku manipulatif dan anti-sosial, serta lebih banyak berkompetisi dibandingkan bekerjasama. Kesemua perilaku tersebut merupakan perilaku yang membahayakan bagi kerukunan hidup komunitas. Tingkat kepedulian terhadap lingkungan (environment) juga rendah, yang ditunjukkan dengan banyaknya perilaku yang merusak lingkungan, dikarenakan nilai-nilai materialistis berlawanan dengan nilai-nilai yang dapat melindungi lingkungan, serta identik dengan sifat serakah dan berlebihan dalam melakukan konsumsi.
Bauman (2005) menjelaskan pergeseran budaya etos kerja menjadi budaya estetika konsumsi sehingga menciptakan definisi baru tentang kemiskinan. Jika kemiskinan di masa lalu diidentikkan dengan pengangguran, maka kemiskinan di masa ini merupakan ketidakmampuan untuk melakukan konsumsi (flawed consumer). Orang-orang yang termasuk sebagai flawed consumers menjadi korban konsumerisme. Mereka tidak memiliki sumber daya yang mencukupi standar sosial, sehingga mengalami berbagai tantangan dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena pergeseran hubungan antar manusia yang terjadi dalam budaya konsumerisme.
Prabowo (2013) berargumen bahwa konsumerisme menyebabkan orang terjerembab ke dalam persoalan krisis identitas. Ini disebabkan karena konsumerisme menyebabkan seseorang terjatuh pada egoisme dan tidak acuh terhadap kehidupan sosial mereka. Kesimpulan tersebut didapatkan setelah mendiskusikan budaya modern dari kacamata filsafat etika yang dikembangkan Ibn Miskawaih, dengan mempertanyakan apakah kebahagian yang dilahirkan konsumerisme adalah sejati. Budaya modern yang dimaksud adalah budaya konsumerisme yang lahir dalam masyarakat modern. Kalangan yang mendukung konsumerisme berpendapat bahwa kebahagiaan individu tidak dapat diwujudkan melainkan melalui kemerdekaan individual dan hak asasi manusia, utamanya dalam menikmati komoditas yang mewah.
Dowd (2009) mengatakan bahwa kapitalisme telah berhasil meluas dan mengakar di dunia selama 200 tahun terakhir. Globalisasi dan perkembangan sektor keuangan dapat memberikan dampak buruk bagi ratusan juta orang. Sejak tahun 1980an, ideologi neo-liberal juga berkembang pesat bersamaan dengan inequality. Inequality atau ketidakmerataan ini terjadi pada pendapatan, kekayaan (wealth), dan kekuasaan (power). Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmerataan semakin meluas adalah budaya konsumerisme dan media yang membantu menyebarluaskannya.


Referensi:
- Stearns, Peter N. (2001). Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire. London: Routledge.
- Peach, Richard dan Charles Steindel (2000). A Nation of Spendthrifts? An Analysis of Trends in Personal and Gross Saving. Federal Reserve Bank of New York, Current Issues in Economics and Finance Volume 6 Number 10.
- Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia. Nirmana Vol. 6, No. 1, Januari 2004 hlm 52-62.
- Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education. Artikel dalam jurnal Social Education 69(2), pp. 66-69 diterbitkan oleh National Council for the Social Studies.
- Krishna, Ayu dan Maya Sari dan Rofi Rofaida. Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Survey pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia).
- Kasser, Tim dan Allen D. Kanner. Ed.(2004). Psychology and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World. Washington, DC: American Psychological Association.
- Alfitri (2007). Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Diterbitkan dalam Majalah Empirika Volume XI No 01.
- Bauman, Zygmut (2005). Work, Consumerism and The New Poor: Second Edition. England: Open University Press.
- Dowd, Douglas (2009). Inequality and the Global Economic Crisis. USA: Pluto Press .
- Prabowo S., M. Nur (2013). Meretas Kebahagiaan Utama di Tengah Pusaran Budaya Konsumerisme Global: Perspektif Etika Keutamaan Ibnu Miskawaih. Jurnal Studi Islam .

Proposal: Rangkuman Kajian Literatur

SEJARAH KONSUMERISME

Swagler (2005)
sejarah definisi konsumerisme: consumerist movement dan gaya hidup materialisme

Stearns (2001)
sejarah konsumerisme dalam definisi gaya hidup berdasarkan materialisme

Peach dan Steindel (2000)
data personal saving tahun 1990-2000


PENYEBAB KONSUMERISME

Nurist dan Surayya (2010)
pengaburan nilai guna (use value), periklanan dan media massa

Heryanto (2004)
pengaruh budaya barat yang membawa modernisme

Morton (2005)
informasi yang mempromosikan budaya konsumerisme tidak diikuti dengan pendidikan personal finance yang mencukupi

Krishna, dkk (2009)
literasi keuangan mempengaruhi keputusan, masalah keuangan disebabkan rendahnya pendapatan dan ketidakmampuan mengelola keuangan

Kasser, dkk (2004)
insecurity, keterpaparan dengan teladan dan nilai-nilai materialistik, periklanan dan penyebaran kapitalisme, competence, relatedness, dan autonomy

Cohen (1996), Kasser (1995), Abramson & Inglehart (1995)
orang-orang dari latar belakang ekonomi yang kurang sejahtera lebih materialistis dibanding orang-orang yang memiliki kecukupan dan kesejahteraan

Kasser & Kanner (2004)
penyebaran ekonomi kapitalis ke seluruh dunia diikuti budaya konsumerisme


DAMPAK KONSUMERISME

Alfitri (2007)
menurunnya kualitas hidup masyarakat

Kasser, dkk (2004)
rendahnya tingkat personal well-being, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, sikap anti-sosial, tidak mempedulikan lingkungan

Bauman (2005)
menciptakan kemiskinan jenis baru yaitu flawed consumers

Prabowo (2013)
persoalan krisis identitas: egoisme dan tidak acuh terhadap kehidupan sosial (berdasarkan sudut pandang filsafat etika Ibnu Miskawaih)

Dowd (2009)
budaya konsumerisme yang dibantu dengan media memperburuk inequality


SOLUSI KONSUMERISME

Varul (2008)
agama Islam dan agama Kristen menyikapi fenomena budaya konsumen

Mujahidin (2013)
pandangan Al-Qur'an melalui tafsir al-Misbah tentang konsumsi: tidak dilarang tetapi harus dikendalikan

Morton (2005)
edukasi personal finance dapat meningkatkan financial literacy sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi

Krishna, dkk (2009)
untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan personal finance masuk ke dalam kurikulum akademik

Proposal: Metodologi Ilmiah Ekonomi Islam

2.1.5. Metodologi Ilmiah Ekonomi Islam
Definisi ekonomi Islam sebagai suatu ilmu adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah. Secara umum, ekonomi Islam berupaya untuk memandang, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami, serta tidak mendikotomikan antara aspek normatif dan positif dalam ilmu. Kebenaran ilmiah dalam ekonomi Islam didasarkan atas kebenaran mutlak dan kebenaran relatif, (P3EI, 2011 ).
Ilmu ekonomi dapat dikategorikan sebagai ilmu sosial, dan bukan merupakan ilmu alam yang subjek penelitiannya adalah alam dan perilaku yang diamati mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan yang konsisten yaitu yang disebut hukum alam (sunnatullah), sehingga kebenaran yang disimpulkan melalui metode ilmiah dari fenomena alam tidak menyebabkan divergensi antara kebenaran dan kebaikan. Sedangkan ilmu sosial meneliti perilaku manusia yang memiliki kebebasan pilihan (freedom of choice) dalam perilakunya dan tidak terikat suatu aturan sebagaimana fenomena alam. Perilaku tersebut yang ditangkap oleh para penganut aliran positivisme dalam ilmu ekonomi dan kemudian dibentuk menjadi teori. Oleh karena itu, Islam tidak dapat menganggap teori ilmu ekonomi sebagai suatu kebenaran dikarenakan perilaku manusia bisa jadi menyimpang dari sunnatullah atau aturan-aturan Allah (P3EI, 2011 ).
Tujuan utama dari metodologi adalah membantu mencari kebenaran, Islam meyakini bahwa terdapat dua sumber kebenaran mutlak yang berlaku untuk setiap aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Kebenaran suci ini akan mendasari pengetahuan dan kemampuan manusia dalam proses pengambilan keputusan ekonomi. Proses pengambilan keputusan inilah yang disebut sebagai rasionalitas Islam. Rasionalitas Islam secara umum dibangun atas dasar aksioma-aksioma yang diderivasikan dari ajaran agama Islam: (1) setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah, (2) setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran, (3) setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan resiko, (4) setiap pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidakpastian, (5) setiap pelaku berusaha melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan resiko. Aksioma lainnya yaitu: adanya kehidupan setelah mati, kehidupan akhirat merupakan akhir pembalasan atas kehidupan di dunia, sumber informasi yang sempurna hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah (P3EI, 2011 ).

Referensi:
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia. 2011. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Proposal: Kebutuhan Manusia dalam Islam

2.2.3. Kebutuhan Manusia dalam Islam

Manusia dalam menjalani kehidupan memiliki kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan fisik, naluri, dan keinginan. Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang ada karena adanya kerja struktur organ tubuh manusia, ia memiliki ciri: muncul dari dalam diri manusia tanpa membutuhkan rangsangan dari luar, membutuhkan jenis zat tertentu dengan kadar tertentu, jika tidak terpenuhi berakibat pada kerusakan organ tubuh, penyakit, atau kematian. Naluri manusia terdiri dari naluri untuk mempertahankan diri, meneruskan keturunan, naluri seksual, dan naluri beragama. Ciri-ciri naluri berbeda dengan kebutuhan fisik, yaitu: munculnya karena reaksi atas rangsangan dari luar diri manusia, dapat dialihkan kepada sesuatu yang lain, jika tidak terpenuhi menimbulkan gejolak batin. Oleh karena itu perlu diperhatikan perbedaan antara kebutuhan dengan keinginan; dimana dalam perspektif Islam, kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi terdiri dari: pangan dan sandang, papan, serta kesehatan dan pendidikan (Sholahuddin, 2007).

Berdasarkan penelitian Al-Asyaqar (2006), standar kecukupan dan kekayaan diukur berdasarkan adat kebiasaan dan bukan dengan syariat atau bahasa, seseorang dianggap kaya jika ia memiliki harta benda yang melebihi dari kebutuhan dan kecukupannya. Adapun kriteria kecukupan adalah segala sesuatu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak dalam kehidupan, sehingga ukuran kecukupan berbeda-beda untuk tiap zaman, tempat, dan orang. Islam bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat Islam hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya bertahan hidup, dengan cara bekerja dan adanya mobilisasi dana dari orang kaya kepada orang miskin yaitu orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang dianggap dapat digunakan untuk mengukur kecukupan yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pelayan (pembantu), perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku ilmiah, alat-alat kerja produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan, biaya pernikahan, persenjataan bagi yang membutuhkan .

Terdapat banyak dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang standar kecukupan tersebut, diantaranya yang disebutkan oleh Al-Asyaqar (2006):
a. Dalil berikut menceritakan bahwa Allah SWT menyediakan bagi Nabi Adam ‘alaihissalam segala kebutuhan pokok di surga berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal. QS Thahaa (20): 118-119: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".
b. Hadits muttafaq alaih (Shahih Bukhari dan Muslim) yang berarti “Dari Aisyah r.a. bahwa sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata, “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, dan dia tidak memberikanku harta benda yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali bila aku mengambil sebagian hartanya sedangkan dia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah SAW bersabda “ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan makruf (baik).” Hadits ini menjelaskan tentang urgensi kehidupan yang cukup, dimana Rasulullah SAW menjelaskan tentang nafkah yang harus mencukupi yaitu jumlah yang dikenal cukup untuk ukuran adat kebiasaan.
c. HR Ahmad dan Abu Dawud “Barangsiapa yang menangani suatu tugas, sementara dia belum memiliki rumah, maka hendaklah dia mengambil rumah, atau dia belum memiliki istri, maka hendaklah dia menikah, atau dia belum memiliki pelayan, maka hendaklah dia mengambil pelayan, atau dia belum memiliki hewan tunggangan, maka hendaklah dia mengambil hewan tunggangan.” Hadits ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya orang yang bekerja dan bertugas mengatur harta benda umat, haruslah seorang yang berkecukupan dan memiliki kebutuhan pokok kehidupan yaitu tempat tinggal, istri, pelayan, dan kendaraan.
d. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Anak Adam tidak memiliki hak selain dalam hal-hal berikut: rumah yang didiaminya, pakaian untuk menutup auratnya, roti yang kering dan air.” Hadits ini merupakan dalil pokok dalam menentukan standar kecukupan.
e. HR Ibnu Majah “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” Jika menuntut ilmu adalah kewajiban maka segala sarana untuk menuntut ilmu merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia.
f. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa yang bangun pagi dengan rasa aman dalam hatinya, sehat wal afiat jasmaninya, dan dia memiliki makanan untuk hari itu, maka dia seolah-olah telah menggenggam dunia seisinya.” Hadits ini menyebutkan tentang kebutuhan pokok manusia dan merupakan sebagian dari ukuran kecukupan.
g. HR Abu Dawud “Rasulullah SAW bersabda “berobatlah, karena sesungguhnya Allah SWT tidak menurunkan suatu penyakit melainkan menurunkan pula obatnya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua.” Ketika manusia menghadapi resiko sakit dan membutuhkan obat, maka pengobatan dan terapi merupakan salah satu kebutuhan pokoknya dan bagian dari ukuran kecukupannya untuk menjaga jiwa dan kehidupannya.

Lebih lanjut Al-Asyaqar (2006) menjelaskan tentang maksud-maksud syariat di balik usaha meraih kekayaan yaitu: (1) pemenuhan nafsu kepemilikan karena Islam mensucikan nafsu kepemilikan dan meletakkan batasan-batasan atasnya, (2) mengayakan diri sendiri dan keluarga yang ditanggung, dengan dalil-dalil sebagai berikut: menjaga kehormatan diri, mengemban tanggung jawab, jaminan kecukupan, jihad di jalan Allah SWT, (3) ikut serta membangun masyarakat didasarkan pada dalil bahwa manusia diperintahkan memakmurkan bumi, (4) meraih pahala dan balasan dengan berinfak di jalan Allah SWT. Alokasi dana yang tidak diperbolehkan adalah terdiri dari dua poin penting yaitu untuk hal yang haram dan untuk hal yang mubah. Adapun alokasi dana untuk hal yang haram tidak diperbolehkan samasekali, baik berupa barang maupun perilaku yang haram. Sedangkan untuk hal yang mubah diperbolehkan tetapi tidak berlebihan, diantaranya adalah: makanan, minuman, pakaian, berkendaraan, pembangunan, pesta dan acara, wisata.

Al-Syatibi dalam Firdaus (2014) membagi maslahah menjadi tiga tingkatan yaitu : dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah. Definisi maslahah secara bahasa adalah tujuan pemenuhan kebutuhan manusia, sedangkan secara istilah syariah adalah sesuatu yang menjadi titik tolak rujukan atau tujuan dari ditetapkannya syariah (maqashid al-syari’ah). Ketiga tingkatan maslahah tersebut berlaku secara deret urut, artinya bila ada sebuah kasus menyangkut pertentangan antara dharuriyah dan hajjiyah atau tahsiniyah, maka yang diutamakan adalah dharuriyah. Dalam kondisi normal, tingkatan maslahah tersebut saling melengkapi dimana tahsiniyah melengkapi hajjiyah dan kemudian melengkapi dharuriyah, serta dharuriyah adalah dasar bagi hajjiyah dan tahsiniyah. Terkadang gugurnya hajjiyah dan tahsiniyah secara mutlak dapat mempengaruhi kualitas dharuriyah sehingga keduanya perlu dipelihara untuk menjaga dharuriyah.

Dharuriyah adalah kebutuhan dasar atau primer atau pokok (necessities) yang merupakan unsur pokok dalam kehidupan manusia yang mutlak harus dipenuhi agar dapat mewujudkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Jika salah satu dari kebutuhan ini tidak terpenuhi maka terjadi ketidakseimbangan dalam pemenuhan terhadap kebutuhan primer. Situasi ini dapat mengakibatkan kehancuran di kehidupan dunia yang berakibat hilangnya keselamatan dan rahmat di kehidupan akhirat. Maslahah dharuriyah mencakup pemeliharaan terhadap lima hal yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Pemeliharaan agama (hifdzu ad diin) termasuk menjaga agama dari paksaan orang-orang yang tidak menyukai agama ini, dan menjaga agama dari dorongan hawa nafsu dunia. Pemeliharaan jiwa (hifdzu an nafs) termasuk jaminan keselamatan jiwa seperti nyawa, anggota badan, dan terjaminnya kehormatan manusia. Salah satu cara untuk memelihara jiwa adalah dengan menjaga kesehatan, kebutuhan sandang, dan kebutuhan papan. Pemeliharaan keturunan (hifdzu an nasl) termasuk jaminan kelestarian populasi umat manusia agar dapat hidup dan berkembang sehat dan kokoh, diantara cara memelihara keturunan adalah dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang dalam institusi keluarga. Pemeliharaan akal pikiran manusia (hifdzu al ‘aql) contohnya dapat dilakukan dengan upaya menuntut ilmu pengetahuan. Pemeliharaan harta (hifdzu al maal) dapat dilakukan dengan meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal. (Firdaus, 2014)

Hajjiyah adalah kebutuhan sekunder (needs) yaitu sesuatu yang keberadaannya diperlukan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima kebutuhan primer menjadi lebih baik lagi, dalam rangka mempermudah kehidupan manusia. Jika sesuatu tersebut tidak ada, maka ketiadaannya hanya berdampak pada kesulitan dalam menjalani hidup namun tidak mengakibatkan terjadinya kehancuran. Diantara yang termasuk kebutuhan ini adalah hiburan, kendaraan, tanah, bangunan, dan lain-lain. (Firdaus, 2014)

Tahsiniyah adalah kebutuhan tertier (complementary/wants) yaitu sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Keberadaan tahsiniyah dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik menuju pada penyempurnaan dalam rangka pemeliharaan atas lima kebutuhan pokok. Ketiadaan tahsiniyah akan berdampak pada cederanya kesopanan dan ketidakpatutan atau ketidakpantasan, namun tidak akan menyebabkan rusaknya dharuriyah. Contohnya: menutup aurat dalam sholat, menjauhi makanan dan minuman yang najis. (Firdaus, 2014)

Referensi:
Prof. Dr. Sulaiman Al-Asyaqar. 2006. Manajemen Harta (Hukmul Maal, diterjemahkan oleh Abu Haikal Fadhel Muhammad). Depok, Indonesia: Bina Mitra Press. Hlm 9-10, 32-34, 39. Hlm 14-26. Hlm 120-152
Achmad Firdaus. 2014. Maslahah Performa (MaP): Sistem Kinerja untuk Mewujudkan Organisasi Berkemaslahatan. Yogyakarta: Deepublish. Hlm 56-74

Proposal: Pengelolaan Harta dalam Islam

2.2.2. Pengelolaan Harta dalam Islam

Dikarenakan harta pada hakikatnya merupakan milik Allah, maka dalam mengelola harta seharusnya sesuai dengan aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Landasan hukum yang menyatakan hal ini ditemukan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, jilid 10, hal 8, no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 946 “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya”.

Jangan sampai dalam mengusahakan harta dilakukan tanpa mempertimbangkan sumbernya apakah sesuai dengan aturan Allah atau tidak. Keadaan ini disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang suatu masa, orang-orang tidak perduli dari mana harta dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram.” Menurut Tarmidzi (2013) hadits ini menggambarkan keadaan di masa modern ini. Seorang manusia dituntut untuk mengumpulkan dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya agar bisa hidup layak dan tenang menghadapi masa depan diri dan anak cucunya. Pada saat itu orang-orang tidak peduli lagi dari mana harta dia dapatkan .

Atsar yang dihasankan oleh syaikh Al Albani yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi bahwa khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, mengeluarkan perintah “Jangan berjualan di pasar ini para pedagang yang tidak mengerti dien (muamalat).” Hal tersebut dilakukan dalam rangka menghindari orang-orang yang tidak mengerti aturan muamalat untuk melakukan transaksi di pasar (Tarmidzi, 2013 ). Kisah ini menggambarkan bahwa khalifah menyuruh ummat, terutama yang melakukan perdagangan untuk mempelajari cara mengelola harta berdasarkan ajaran Islam.

Al-Asyaqar (2006) menjelaskan bahwa dalam rangka membelanjakan harta secara Islami , maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam diri pembelanja dan ketentuan dalam membelanjakan harta. Syarat untuk pembelanja adalah: iman kepada Allah SWT dan ikhlas karena Allah SWT, diperoleh dengan usaha yang disyariatkan dan baik, tidak membanggakan dan menyebut-nyebut harta yang diinfakkan kepada orang lain, dialokasikan pada tempat-tempat yang disyariatkan, tidak bersikap aniaya dan zalim kepada orang lain, serta menyadari dan mensyukuri nikmat kekayaan adalah dari Allah SWT.

Ketentuan mengalokasikan dana atau berinfak adalah: memulai dengan skala prioritas yaitu dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga dan kerabat yang paling dekat, jika ada kelebihan dari kebutuhan tersebut boleh berinfak kepada orang lain, menyegerakan melakukannya sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, dan sederhana. Ayat berikut menjelaskan tentang bagaimana alokasi pembelanjaan harta yang ideal menurut Islam. QS Al-Furqan (25) ayat 67 “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.

Yang dimaksud sederhana adalah kondisi pertengahan dan keseimbangan, yaitu menghindari: (1) sikap boros, mubadzir dan berlebihan, serta menghindari (2) sikap bakhil dan kikir. Pengelolaan harta dalam Islam bersikap pertengahan, adil, dan seimbang yaitu mengalokasikan infak pada tempatnya yang proporsional dan baik sehingga sistem masyarakat akan terbangun dan berjalan serta tidak terhenti. Pemborosan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sedangkan kikir berakibat pada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan pada orang-orang yang berhak.

Dalil berikut melarang pemborosan atau israf dan kewajiban bersikap sederhana dan adil. Definisi pemborosan (israf) adalah pembelanjaan dan penggunaan sesuatu melebihi kelayakannya yaitu membelanjakan harta pada tempat-tempat yang disyariatkan namun melebihi standar yang dibutuhkan. Definisi tabdzir adalah membelanjakan dan mempergunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya yaitu dapat diartikan pada hal-hal yang haram. QS Al-A’raaf (7) ayat 31 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Selain dilarang berlebihan, juga tidak dianjurkan untuk meninggalkan kebutuhan materi sepenuhnya karena hal itu merupakan hak bagi tubuh manusia yang dapat ditemukan landasannya dalam ayat berikut. QS Al-Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Definisi bakhil adalah menahan diri dari harta sendiri yaitu menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunnah. Definisi kikir (taqtir) adalah bagian dari sikap bakhil tetapi terlalu menyempitkan dan hemat atas nafkah keluarga hingga menyebabkan kelaparan. Dalil pelarangan sikap bakhil terdapat dalam ayat berikut. QS Ali Imran (3): 180 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalil-dalil berikut menjelaskan tentang skala prioritas yang harus diikuti dalam mengalokasikan harta yang dimiliki yaitu dari dirinya sendiri, kemudian keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungannya, dan kemudian bagi orang-orang lain yang membutuhkan dalam masyarakat (Al-Asyaqar, 2006):

a. Ayat berikut menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mengontrol harta bendanya yang dapat memenuhi kebutuhannya dan tanggungannya, dan bila masih tersisa melebihi batas kecukupan maka boleh diinfakkan.
QS Al-Baqarah (2): 219: “…Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”

b. Hadits Shahih Bukhari dan Muslim “Rasulullah SAW bersabda “Sebaik-baik sedekah adalah yang kamu keluarkan dari keadaan yang kaya, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”
Hadits ini menunjukkan sebaik-baik sedekah dan infak yang utama adalah harta benda yang dikeluarkan setelah menyisihkan sejumlah harta yang cukup untuk dirinya dan keluarganya.

c. HR Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah kalian!” seseorang berkata “aku punya satu dinar”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas dirimu sendiri”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas istrimu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas anakmu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “kamu lebih tahu (dimana kamu menginfakkannya).”
Hadits ini menunjukkan bahwa manusia harus menjamin terlebih dahulu kecukupan dirinya dan tanggungannya baru boleh bersedekah setelah itu dari kelebihannya.

Referensi:
Dr. Erwandi Tarmizi, MA., (2013). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor: PT Berkat Mulia Insani. Hlm 1. Hlm 9-10
Prof. Dr. Sulaiman Al-Asyaqar. 2006. Manajemen Harta (Hukmul Maal, diterjemahkan oleh Abu Haikal Fadhel Muhammad). Depok, Indonesia: Bina Mitra Press. Hlm 159-186. Hlm 21-26.

Proposal: Pandangan Islam tentang Harta dan Kekayaan

2.2.1. Pandangan Islam tentang Harta dan Kekayaan

Konsep harta dalam Islam didefinisikan sebagai seluruh apa pun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia, dalam bahasa Arab harta disebut al-maal atau bentuk jamaknya disebut al-amwaal, secara lebih spesifik harta adalah seluruh benda yang memiliki nilai uang atau nilai tukar (Sholahuddin, 2007). Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai amanah (titipan) dari Allah, sebagai perhiasan hidup, sebagai ujian keimanan, dan sebagai bekal ibadah (Syafi’i Antonio, 2001 ).

Syariat Islam mengajarkan kepada manusia agar menikmati kebahagiaan dan kebaikan hidup di dunia, kehidupan yang sejahtera secara ekonomi harus diupayakan. Keadaan ini dapat meningkatkan kualitas ibadah dan hubungan dengan Allah. Dorongan memperoleh harta secara berkecukupan bukan sesuatu yang hina, karena Allah menempatkan harta sebagai perhiasan dan kesenangan. Manusia tidak perlu menghindari harta karena tidak selamanya harta merupakan bencana bagi pemiliknya. Miskin dan kekurangan harta bukan simbol manusia takwa. Kedudukan harta sebagai perhiasan ditemukan dalam dalil berikut. QS Al-Kahfi (18): 46 “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Sedangkan dalil berikutnya menyatakan kedudukan harta sebagai kesenangan. Harta sebagai kesenangan hidup memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. QS Ali Imran (3): 14 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Selain sebagai perhiasan dan kesenangan dunia, harta juga merupakan ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. Sifat harta sebagai ujian kenikmatan dapat menghasilkan kesyukuran, atau kekufuran. Harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri. Ayat berikut menjelaskan kedudukan harta sebagai ujian. QS Al-Anfaal (8): 28 “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Kepemilikan harta secara hakiki ada pada Allah SWT, kemudian manusia diberikan hak kepemilikan sementara di dunia dengan maksud agar dapat dikelola sebagai fasilitas bagi kehidupan manusia. Harta bukan merupakan tujuan, tetapi merupakan fasilitas untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, dan ia merupakan pemberian dari Allah kepada manusia yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya yang ada di dunia tetapi pada hakikatnya tetap dimiliki oleh Allah. Ayat berikut merupakan landasan hukum tentang Allah sebagai pencipta dan pemilik harta yang hakiki karena menisbatkan kepemilikan harta langsung kepada Allah. QS An-Nuur (24): 33 “…dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…”

Manusia memiliki hak atas harta yang dikelolanya tetapi bukan merupakan hak mutlak dan memiliki batasan dan aturan dalam pengelolaannya yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pemilik sebenarnya, yaitu harta tersebut digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh Allah yaitu kebaikan hidup di akhirat. Harta dapat digunakan untuk membela agama Islam, dan jika didapatkan dan dikelola dengan cara yang sesuai dengan aturan Allah maka harta dapat meningkatkan keimanan seorang muslim karena dapat menggunakannya sebagai fasilitas untuk mencari ilmu dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya. Ayat berikut merupakan landasan hukum tentang harta sebagai fasilitas bagi kehidupan manusia. QS Al-Baqarah (2): 29 “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Konsep kekayaan dalam syariat Islam adalah kepemilikan atas harta yang banyak yang melebihi kecukupan manusia, dimana masyarakat menilai orang yang memilikinya sebagai orang kaya. Kekayaan itu sendiri sangat relatif dan berbeda dengan perbedaan tempat dan zaman bahkan individu. Islam membawa misi agar setiap individu masyarakat mencapai tingkat penghidupan hingga batas kecukupan dan layak walaupun tidak kaya. Ini adalah salah satu tujuan syariat dan kebutuhan asasi manusia. (Al-Asyaqar, 2006)

Referensi:
M. Sholahuddin, S.E., M.Si. 2007. Asas-asas Ekonomi Islam hlm 40-94. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Syafi’i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

Monday 7 May 2018

Proposal: Tujuan & Manfaat Penelitian

1.5. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan mengenai:
1. Penyebab terjadinya fenomena konsumerisme, dan dampaknya pada personal finance.
2. Pendekatan Islamic wealth management dalam personal financial planning untuk memecahkan masalah konsumerisme.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, untuk memenuhi persyaratan tugas akhir akademik dan memperdalam pengetahuan mengenai konsep-konsep Islamic wealth management dan personal finance. Juga untuk mendokumentasikan perumusan aplikasi Islamic wealth management dalam personal finance dalam usaha untuk mengeliminir dampak negatif konsumerisme.
2. Bagi praktisi, dapat menjadi salah satu masukan untuk menerapkan konsep-konsep Islamic wealth management ke dalam tataran pelaksanaan di personal finance dan dalam melakukan edukasi bagi masyarakat.
3. Bagi akademisi, dapat menambah khasanah keilmuan di bidang Islamic wealth management dan personal finance, serta dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya di bidang yang sama. Hal ini penting untuk menjadi masukan dikarenakan masih sedikitnya literatur ilmiah yang mengupas tema Islamic wealth management dan personal finance di masa kontemporer. Pengembangan konsep penelitian ini juga dapat diaplikasikan pada pengelolaan keuangan organisasi dan keuangan negara dikarenakan permasalahan konsumerisme dapat berdampak luas hingga ke tingkat organisasi dan negara.
4. Bagi masyarakat, dapat menjadi masukan dan bahan bacaan yang berguna untuk menambah wawasan tentang Islamic wealth management dan personal finance, meningkatkan keterampilan dalam mengelola personal finance dengan didasarkan pada konsep Islamic wealth management dalam usaha untuk mengeliminir dampak negatif konsumerisme.
5. Bagi penentu kebijakan, dapat menjadi masukan untuk mempertimbangkan edukasi personal finance berdasarkan konsep Islamic wealth management kepada masyarakat baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal. Juga dapat menjadi masukan untuk mengeliminir dampak negatif konsumerisme dalam pengelolaan keuangan di tingkat yang lebih luas seperti organisasi dan negara.

Proposal: Identifikasi, Batasan, dan Perumusan Masalah

1.2. Identifikasi Masalah

Abad ke 15 H dicanangkan sebagai abad kebangkitan Islam, sistem perekonomian Islam juga mulai dikembangkan sebagai sistem perekonomian alternatif beserta pengembangan metodologi ilmiah untuk ekonomi Islam. Salah satu definisi ekonomi Islam yang dijelaskan sebagai pengetahuan dan penerapan hukum syari’ah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumber-sumber material dengan tujuan untuk memberikan kepuasan manusia dan melakukannya sebagai kewajiban kepada Allah dan masyarakat (Muhamad, 2004). Sistem ekonomi tersebut dikembangkan dengan sudut pandang makro dan mikro akan tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu mencegah ketidakadilan dan pembuangan sumber daya.
Sistem tersebut seharusnya dapat digunakan aplikasinya dalam mengatasi permasalahan dampak buruk konsumerisme, terutama dimulai dari keuangan personal. Terdapat kesamaan kata kunci dalam permasalahan konsumerisme yaitu adanya pembuangan sumber daya pada level ekonomi mikro yang mengamati perilaku para pelaku ekonomi sebagai individu .
Permasalahan ini dapat dianggap sebagai akar seluruh permasalahan yang terjadi pada kondisi keuangan. Dampak konsumerisme dapat dirasakan pada kualitas hidup mulai dari tingkat individu, keluarga, perusahaan, hingga pada level Negara. Contoh pada level negara adalah kebangkrutan yang sedang terjadi di Yunani dan krisis-krisis ekonomi lainnya yang sering terjadi di berbagai negara merupakan salah satu dampak dari kurangnya financial literacy dalam pengelolaan keuangan .

Grafik 1.1. Data PPN dan PPnBM sebagai salah satu Sumber Penerimaan dalam Anggaran Pendapatan Negara (dalam miliar rupiah)
http://bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1179 (1 Agustus 2015)

Data grafik Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dapat dianggap menunjukkan tingkat konsumsi barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan. Data ini secara umum menunjukkan kenaikan dari tahun 2007 hingga 2014. Secara singkat data ini dapat dianggap mewakili keadaan budaya konsumsi yang terus meningkat.

1.3. Batasan Masalah

Penelitian di bidang Islamic wealth management yang khusus untuk diaplikasikan dalam personal finance di masa kontemporer belum banyak ditemui di dunia akademis saat ini. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian masih terbuka lebar dan pembahasannya sangat luas. Maka diperlukan pembatasan dalam penelitian yang dilakukan untuk menghindari meluasnya penelitian, serta agar penelitian ini lebih terarah. Penelitian ini dilakukan dengan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dimaksudkan untuk membahas fenomena konsumerisme, faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, dan pada bagian akhir akan dibahas solusi yang diajukan ditinjau dari pendekatan personal finance dan Islamic wealth management.
2. Penelitian dilakukan dengan meneliti fenomena-fenomena yang terjadi melalui pengamatan kondisi makro yang terlihat baik secara langsung maupun melalui media massa, serta menggunakan indikator-indikator statistik general. Berikutnya dilakukan tinjauan atas literatur-literatur yang memiliki relevansi dengan tema penelitian. Kemudian melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada para ahli di bidang Ekonomi Islam, khususnya bidang Islamic wealth management dan personal finance. Semua data yang telah dikumpulkan akan dianalisa untuk dibuatkan suatu solusi aplikatif atas permasalahan konsumerisme dari sudut pandang personal finance dan Islamic wealth management.
3. Pembahasan personal finance dalam penelitian ini dibatasi dalam sub-tema personal financial planning, yaitu perencanaan keuangan pribadi yang digunakan dalam pengelolaan keuangan individu dan keluarga.
Pembatasan masalah tersebut disimpulkan dalam satu kalimat yang merangkum isi penelitian ini yaitu “Aplikasi Islamic Wealth Management dalam Personal Finance untuk Mengeliminir Dampak Negatif Konsumerisme”.

1.4. Perumusan Masalah

Penelitian dilakukan dengan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi penyebab terjadinya fenomena konsumerisme dan bagaimana dampaknya pada personal finance?
2. Bagaimana pendekatan Islamic wealth management dalam personal financial planning untuk memecahkan masalah konsumerisme?

Referensi:
Drs. Muhammad, M.Ag. 2004. Metodologi Penelitian Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Ekononisia. Hlm 5
SWAGLER, R. (1994), Evolution and Applications of the Term Consumerism: Theme and Variations. Journal of Consumer Affairs, 28: 347–360. doi: 10.1111/j.1745-6606.1994.tb00856.x
Pernyataan Robert kiyosaki dan tokoh2 praktisi personal finance lainnya

Proposal: Latar Belakang

APLIKASI ISLAMIC WEALTH MANAGEMENT DALAM PERSONAL FINANCE UNTUK MENGELIMINIR DAMPAK NEGATIF KONSUMERISME

Personal finance adalah suatu subjek yang digunakan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari dalam pengelolaan keuangan pribadinya. Kemampuan ini dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya (life skill) karena hal tersebut mempengaruhi kualitas hidup semua orang mulai dari individu hingga tingkat Negara. Edukasi personal finance merupakan bekal bagi calon konsumen untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan personal sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi. Kenyataannya tidak banyak didapati lembaga pendidikan formal yang memiliki perhatian dan dapat mengakomodasi kebutuhan akan edukasi personal finance. (Morton, 2005)

Usaha untuk melakukan edukasi industri keuangan secara informal telah dilakukan beberapa pihak, baik dari regulator, pelaku industri, dan individu maupun organisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya program literasi keuangan dari regulator industri keuangan di Indonesia yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mengeluarkan data indeks literasi dan indeks utilitas sektor keuangan yang dianggap dapat sedikit mewakili keadaan literasi keuangan (financial literacy) di Indonesia. Menurut data tersebut, secara keseluruhan mayoritas masyarakat telah menggunakan industri perbankan dan memiliki tingkat pemahaman yang cukup. Sedangkan untuk sektor keuangan lainnya seperti: asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, pasar modal dan pegadaian; mayoritas masyarakat memiliki tingkat literasi rendah dan hanya sebagian kecil masyarakat yang telah menggunakannya.

Tabel 1.1. Indeks Literasi dan Indeks Utilitas Sektor Keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan

- Well literate: Perbankan 21.80% Asuransi 17.84% Perusahaan Pembiayaan 9.80% Dana Pensiun 7.13% Pasar Modal 3.79% Gadai 14.85%
- Sufficient literate: Perbankan 75.44% Asuransi 41.69% Perusahaan Pembiayaan 17.89% Dana Pensiun 11.74% Pasar Modal 2.40% Gadai 38.89%
- Less literate: Perbankan 2.04% Asuransi 0.68% Perusahaan Pembiayaan 0.21% Dana Pensiun 0.11% Pasar Modal 0.03% Gadai 0.83%
- Not literate: Perbankan 0.73% Asuransi 39.80% Perusahaan Pembiayaan 72.10% Dana Pensiun 81.03% Pasar Modal 93.79% Gadai 45.44%
Utilitas: Perbankan 57.28% Asuransi 11.81% Perusahaan Pembiayaan 6.33% Dana Pensiun 1.53% Pasar Modal 0.11% Gadai 5.04%

Sumber: www. ojk.go.id (8 Agustus 2015)

Selain pengetahuan tentang produk-produk industri keuangan, kebanyakan keluarga terutama di perkotaan memiliki resiko tinggi untuk terpengaruh dengan gaya hidup modern yang konsumtif dan materialistis. Akibatnya, terjadi perubahan budaya ke arah yang bertolak belakang dengan prinsip hidup madani. Gaya hidup berlebihan dan komsumtif merupakan bagian dari pengaruh negatif modernisasi dan globalisasi. (Tamanni dan Mukhlisin, 2013 )

Secara global, kolonialisme dapat dianggap sebagai pemicu awal konsumerisme dimana motivasi utama melakukan konsumsi adalah adanya penawaran dan bukan dari adanya permintaan. Kemudian budaya konsumsi mulai terlihat pada tahun 1600an di Eropa dan meluas pada abad ke 18 yang ditandai dengan meningkatnya produksi barang-barang. Revolusi industri di era industri yang memunculkan produksi massal semakin mengukuhkan budaya konsumerisme. Hal itu ditandai dengan adanya budaya shopping yang dilakukan oleh masyarakat luas dan telah diamati perilakunya di Amerika Serikat pada tahun 1960an . Kemudian pada abad ke 21 telah menjadi trend general untuk mengikuti gaya hidup orang-orang yang berada dianggap berada di tingkat hirarki yang lebih tinggi. Orang miskin ingin mengikuti gaya hidup orang kaya dan orang kaya ingin mengikuti gaya hidup tokoh-tokoh dan selebriti. Konsumerisme telah menjadi ideologi budaya di seluruh dunia.

Hal ini juga dipicu dengan banyaknya informasi yang masuk sehingga masyarakat telah terprogram untuk menjadi bagian dari globalisasi kapitalis. Perkembangan di bidang teknologi informasi telah menjadikan batas antara informasi dan iklan menjadi tidak jelas. Masyarakat terekspos pada budaya yang dianggap modern. Secara tidak sadar, masyarakat telah terprogram untuk mengikuti budaya yang mengedepankan materi dan membagi kelas masyarakat dalam suatu hirarki yang berdasarkan tingkat harta yang dimiliki.
Pembangunan di Indonesia khususnya sejak era Orde Baru yang memanfaatkan teknologi Barat dan modal asing telah melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Seiring dengan adanya pergeseran nilai, konsumerisme juga menjalar kemana-mana, baik di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Heryanto (2004) membuktikan bahwa dengan modernisasi yang menggunakan teknologi Barat serta masuknya modal asing, kita tidak dapat mencegah masuknya kebudayaan asing yang perlahan-lahan menyisihkan kebudayaan tradisional serta dilengkapi dengan timbulnya konsumerisme.

Referensi:
Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia. Nirmana Vol. 6, No. 1, Januari 2004 hlm 52-62.
Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education. Artikel dalam jurnal Social Education 69(2), pp. 66-69 diterbitkan oleh National Council for the Social Studies.
Tamanni, Luqyan dan Murniati Mukhlisin (2013). Sakinah Finance: Solusi Mudah Mengatur Keuangan Keluarga Islami. Solo: Tinta Medina.

Literatur: Rezeki

LITERATUR 10

Judul : Rezeki
Nama Penulis : Prof. Dr. M. Mutawalli Asy Sya’rawi
Tahun : 1993
Penerbit : Gema Insani Press
Keterangan : Judul asli “Ar Rizqu” diterbitkan oleh Maktabah Asy Sya’rawi Al-Islamiyah Muassasah Akhbarul Yaum 1990, Mesir

Apa Rezeki Itu?
Rezeki itu ialah apa yang dapat dimanfaatkan manusia, apakah halal atau haram, baik atau buruk. Semua yang tidak Anda manfaatkan, meskipun Anda memilikinya, ia bukan rezeki Anda, akan tetapi rezeki orang lain. Ada perbedaan antara hasil usaha dan rezeki seseorang atau antara kerja dan rezekinya. (hlm 11)
Banyak orang berkeyakinan bahwa modal harta kekayaan itu bisa melindungi dirinya dari kemiskinan, dan bahkan bisa membahagiakan. Mereka adalah orang yang telah disesatkan setan, jiwanya diliputi rasa takut dan gelisah karena kurang kuat imannya dan mudah tergoda setan yang menanamkan rasa takut miskin di hati manusia. Setan menakut-nakuti manusia sehingga menjerumuskannya ke dalam perbuatan maksiat demi maksiat, sehingga menjadi pekerjaan rutinnya, malah dianggapnya sebagai salah satu bagian dari kebutuhannya sehari-hari. Akhirnya, nafsunya mendorongnya melakukan maksiat tanpa bisikan setan lagi. (hlm 13)
Sementara orang mengira, bahwa yang ditakdirkan Allah Ta’ala itu hanyalah rezeki yang halal saja. Akan tetapi yang benar ialah rezeki yang halal dan yang haram juga. (hlm 12)
Rezeki itu apa yang dapat dimanfaatkan oleh orang itu atau oleh yang diberi rezeki. Manfaat itu ada dua bentuk (hlm 14):
Pertama: manfaat materi, untuk orang itu mempertahankan hidupnya.
Kedua: manfaat nilai-nilai, untuk memperkaya kehidupannya.

Rezeki dan Kehidupan
Rasulullah SAW bersabda: “Hartaku, hartaku. Apakah Anda punya harta lebih dari yang Anda makan dan Anda lenyapkan, atau yang Anda pakai dan Anda rusakkan, atau yang Anda sedekahkan dan Anda abadikan?”
Demikianlah perjalanan rezeki anak Adam itu, hanya menuju ke tiga arah saja, seperti yang dijelaskan Rasulullah SAW. Jadi, rezeki anak Adam tidak keluar dari tiga arah itu: apa yang dimakan jadi kotoran, apa yang dipakai jadi sampah, dan apa yang disedekahkan jadi tabungan abadinya di akherat. Sedangkan harta kekayaannya yang lain, yang dikatakan orang hasil jerih payah dan pencahariannya, bukan rezekinya. Ia hanya diamanahkan mencarinya, menjaganya, dan menyerahkannya kepada pemiliknya yang asli kelak. (hlm 26)

- Pencaharian itu bukan rezeki.
- Apabila nilai-nilai lenyap, maka runtuhlah peradaban.
- Kerohanian itu rezeki.
- Berbagai rezeki, karunia, dan bakat lainnya.
- Rezeki itu merupakan dasar-dasar keterkaitan.
- Gerak kemasyarakatan dan kontinyuitasnya.
- Meningkatkan mutu merupakan rahasia keindahan alam ini.

Harta dan Rezeki

Harta yang tidak memberi manfaat kepada Anda, ia bukan rezeki Anda. Harta warisan yang Anda tinggal mati, ia bukan rezeki Anda. Harta yang Anda timbun di berbagai bank, ia bukan rezeki Anda dan bukan harta saja yang dinamakan rezeki. Akan tetapi, segala karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada Anda adalah rezeki juga. Karena Anda dapat memanfaatkannya dan mencukupi kebutuhan Anda juga. Apa yang Anda sedekahkan kepada makhluk Allah lainnya adalah rezeki; sehat dan afiat juga rezeki, pandangan jauh dan sempit juga rezeki, kemurahan hati dan kepelitan juga rezeki. Rezeki itu ialah semua yang dapat Anda manfaatkan dan nikmati secara mutlak. (hlm 42)
Sesungguhnya orang kikir itu orang yang paling dermawan. Karena mereka memiliki dunia, namun tidak memanfaatkannya. Mereka tidak keberatan memberikan sebagian yang dimilikinya. Kecuali karena ingin memberikan semua yang ditimbunnya. Segala sesuatu di alam ini punya kepentingan dan itulah rezeki karena kita dapat manfaat darinya. (hlm 43)

Ada dua macam rezeki, rezeki positif yang penghasilannya selalu lebih, dan ada pula rezeki negatif, di mana rezeki ini tidak dinafkahkan untuk hal-hal yang tidak penting sekali, sehingga habis seluruhnya. (hlm 44)
Contoh pertama, rezekinya sedikit lalu Allah memberinya berkah meskipun sedikit. Seseorang yang mempunyai penghasilan yang halal ketika anaknya sakit diberi aspirin dan segelas teh saja bisa baik dengan izin Allah. Contoh kedua, rezekinya banyak, akan tetapi Allah menjauhkannya dari berkah karena diperoleh dari berbagai jalan, tidak peduli apa namanya yang penting uang. Allah membuka berbagai pintu pengeluarannya, sehingga uangnya segera ludes dengan membuatnya panik dan ketakutan lalu anaknya dibawa kerumah sakit dan diperiksa hingga menghabiskan biaya ratusan ribu padahal penyakitnya hanya influenza. (hlm 45)

Kerja adalah rezeki waktu Anda, sedang rezeki hajat Anda, mungkin terdapat dalam kerja itu dan mungkin juga tidak.
Anda ketika memperoleh rezeki, mendapatkannya secara totalitas. Akan tetapi, Anda tidak tahu pasti berapa besar rezeki Anda, rezeki istri dan anak-anak Anda, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Namun, ketika Anda membelanjakan uang itu, rezeki itu membagi dirinya sesuai dengan ketentuan yang memberinya. Ia sampai kepada alamatnya masing-masing secara detail, seperti yang dikehendaki kodrat iradat Allah Ta’ala. (hlm 50)

Rezeki Yang Haram

Rasa takut dari kemiskinan itu bisa menipu orang, bahwa sebab musabab materialisme itulah yang mampu memberikan rezeki kepada seseorang. Ia mengelabuinya, bahwa rezeki itu sepenuhnya tergantung pada jerih payah manusia semata-mata, dan bahwa ia bisa menambah rezekinya lebih banyak lagi sesuai dengan kesempatan dan kemungkinan yang ada. (hlm 73)
Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada daya upaya dalam rezeki dan tidak ada syafaat dalam kematian.” Artinya, bagaimana daya upaya manusia untuk mendapatkan rezeki, biarpun berusaha keras menggunakan seluruh tenaga jasmani dan akalnya, tidak akan mendapatkan rezeki jauh lebih dari yang sudah ditakdirkan Allah untuknya. (hlm 74)
Terdapat perbedaan antara penghasilan dan rezeki. Adakalanya uang haram yang diperoleh karena rasa takut dari kemiskinan merupakan penghasilan, namun bukan rezeki. Artinya, anda telah mendapatkannya, namun anda tidak dapat memanfaatkannya. Harta haram yang Anda peroleh tidak Anda nikmati, sedang dosanya tetap menyertai Anda. (hlm 76)

Karunia Rububiyah dan Karunia Uluhiyah
Di dunia ini, semua manusia bisa memilih pakaian yang disenanginya sesuai dengan rezeki dan seleranya. Kita wajib menyadari keadilan Allah dalam membagi-bagikan rezeki-Nya kepada semua lapisan masyarakat, karena mereka mempunyai kesempatan untuk memperoleh puncak tertinggi rezeki-Nya yang ada ditengah-tengah masyarakatnya. (hlm 81)
Rezeki adalah soal ghaibi. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengaturnya. Meskipun sudah menjadi kewajiban bagi yang kuat untuk bergerak dan mencarinya, berusaha dan berjerih payah untuk mendapatkannya, malah berkewajiban untuk melipatgandakan upayanya itu, sehingga dapat membantu orang yang tidak mampu untuk bergerak dan berusaha. (hlm 82)
Yang mungkin bertambah itu ialah penghasilan, dan ia membutuhkan berbagai sarana dan sebab-musabab. Penghasilan bukan rezeki, karena apa yang Anda miliki belum tentu rezeki Anda.

Pada dasarnya, ketetapan rezeki itu tidak tunduk pada sebab-musabab manusia, karena ia tunduk kepada kodrat iradat Allah Ta’ala sendiri. Selama Allah memberi rezeki kepada siapa pun yang dikehendakiNya tanpa dihisab, maka kodrat iradat Allah itu mutlak adanya. (hlm 85)
Allah Ta’ala telah memberikan kehormatan pada kebijakan mereka dalam mencari dan membelanjakan rezeki itu seluruhnya dari Allah Ta’ala. Namun dia telah menjadikan sementara makhluk-Nya sebagai pengelola dan pemberi rezeki itu kepada sesamanya. Seorang ayah menafkahkan hartanya kepada anak-anak dan keluarganya, karena rezeki mereka tersalur dalam rezekinya. Orang-orang saleh menafkahkan hartanya kepada para fakir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya. (hlm 86)
Kita wajib memahami perbedaan antara mengadakan dari tidak ada dengan penyaluran barang yang ada di tangan Anda kepada orang lain. Bedanya antara pemberian Allah Ta’ala dan pemberian manusia, bahwa pemberian Allah itu diberikan dari yang tidak ada, sementara pemberian Anda diberikan dari yang sudah ada. (hlm 87)

Mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala bukan hanya menunaikan shalat, zakat, berpuasa, dan berhaji, akan tetapi ia merupakan suatu metode hidup yang saling melengkapi. Memakmurkan bumi ini, menjalin hubungan dengan semua makhluk Allah Ta’ala, terutama dengan sesama manusia. Semua peristiwa hidup kaum muslimin masuk ke dalam metode Allah tersebut, mulai dari takut kepada Allah dalam memperoleh rezeki dan bekerja, dengan mengindahkan titah perintah Allah, baik di rumah maupun dalam hubungannya dengan orang lain, dengan senantiasa menyertakan Allah dalam melakukan apa pun, meskipun hanya untuk menyingkirkan gangguan dari jalanan. (hlm 97)

Allah SWT berfirman “Kehidupan kalian di muka bumi ini terbatas, dan rezeki kalian juga terbatas, karena usia orang didalamnya pendek, sedang kesenangan yang ada hanya sedikit. Akan tetapi, rezeki kalian, umur kalian, dan kehidupan kalian di akhirat, terdapat kenikmatan yang abadi yang tidak pernah meninggalkan kaum Mukminin dan mereka tidak pernah meninggalkannya. (hlm 98)

Literatur: Fiqh Harta: Upaya Menjemput Keberkahan Rizki

LITERATUR 9

Judul : Fiqh Harta: Upaya Menjemput Keberkahan Rizki
Nama Penulis : Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MS. dan H. Hilman Hakiem, SP., M.E.I.
Tahun : 2016
Penerbit : UIKA Press
Keterangan : Universitas Ibn Khaldun Bogor


Jangan Membiasakan Berutang (hlm 68-71)

Salah satu hal penting dalam membelanjakan dan mengeluarkan harta adalah sederhana sesuai dengan kemampuan (al-iqtishaad). Rasulullah SAW bersabda “Ekonomis (sederhana dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan) dalam belanja, merupakan separuh dari penghidupan, mencintai sesama manusia, merupakan setengah dari akal (kecerdasan), dan bertanya (pada sesuatu yang tidak diketahui) secara baik, merupakan separuh dari ilmu pengetahuan.” (HR Ath-Thabrani dari Ibnu Umar)
Salah satu kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan modern sekarang, yang hampir hampir menjadi gaya hidup (life style) adalah kebiasaan meminjam (utang). Meskipun meminjam itu dibolehkan oleh syariat Islam, tapi seharusnya dilakukan dalam kondisi tidak ada alternatif lain, kecuali hanya dengan meminjam. Salah satu doa yang selalu dipanjatkan Rasulullah SAW adalah doa terbebas dari lilitan utang. Beliau bersabda “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika pun terpaksa meminjam (berutang) maka perlu diperhatikan beberapa hal:
1. Semua utang harus tercatat dan diusahakan ada saksinya. QS Al-Baqarah ayat 282.
2. Harus berniat untuk segera melunasi, jika sudah memilikinya. Jangan sekali-kali meminjam dengan berniat untuk tidak membayarnya. Hal ini akan membuat kerusakan pada harta yang dimiliki itu sendiri dan dianggap perbuatan zalim. Rasulullah SAW bersabda: “Penundaan orang kaya dalam membayar utang adalah kezhaliman, jika seseorang dari kalian melimpahkan utang kepada orang kaya, hendaklah orang kaya itu menanggungnya.” (HR At-Tirmidzi). Rasulullah SAW juga bersabda “Utang itu ada dua. Barang siapa mati sementara dia berniat membayarnya maka akulah walinya. Namun barang siapa mati sementara dia tidak berniat untuk membayarnya maka itu akan diambilkan dari kebaikan-kebaikannya untuk membayarnya pada hari di mana tidak ada dinar dan dirham.” (HR Ath-Thabrani).

Cara Menggunakan Harta (hlm 102-111)

Cara menggunakan atau memanfaatkan harta harus sesuai dengan ketentuan syariah, karena semua yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya adalah titipan dari Allah SWT. QS An-Nuur: 33). Pemanfaatan dan penggunaannya harus sesuai dengan pemberi amanah. Semuanya akan dimintai tanggung jawab di hadapan Allah SWT di kemudian hari kelak. Rasululllah SAW bersabda “Seseorang yang akan terlepas dari empat pertanyaan pada Hari Kiamat nanti: usia dipergunakan untuk apa, masa muda dihabiskan untuk apa, harta benda yang dimiliki bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana pula cara memanfaatkannya; serta ilmu pengetahuan bagaimana pengamalannya.” (HR Abu Dawud)
Memanfaatkan harta sesuai dengan ketentuan syariah Islam, pada dasarnya merupakan perwujudan syukur atas nikmat karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita. Dan jika bersyukur pasti akan bertambah banyak hartanya, sebaliknya jika dalam memanfaatkan harta tersebut tidak sesuai dengan ketentuan-Nya maka bisa menjadi malapetaka dunia akhirat. Allah SWT berfirman dalam QS Ibrahim ayat 7.
Juga dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Aku kagum dengan seorang muslim. Apabila mendapat kebaikan dia memuji Allah dan bersyukur. Dan apabila ditimpa kesusahan dia berharap pahala dan bersabar. Seorang muslim diberi pahala dalam segala hal, sampai dalam makanan yang ia suapkan ke mulut istrinya.” (HR Baihaqi)
Memanfaatkan dan menggunakan harta sesuai dengan ketentuan syariat Islam, antara lain sebagai berikut:
1. Setiap harta yang kita miliki, dikeluarkan dulu zakatnya 2,5% dari penghasilan kotor jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat. Zakat yang dikeluarkan harus disalurkan melalui Amil Zakat yang amanah dan bertanggung jawab. Dan tidak disalurkan sendiri langsung kepada para mustahik. QS At-Taubah: 60.
2. Dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga secara wajar, tidak kikir (bakhil) dan tidak berlebih-lebihan (israf). Seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. QS Al-Israa’: 26-27
3. Memberikan infak kepada kedua orang tua, kerabat dekat, anak anak yatim, orang orang miskin, orang yang sedang dalam perjalanan yang membutuhkan bantuan, dan orang orang yang membutuhkan lainnya, baik perorangan ataupun lembaga.

Literatur: Asas-asas Ekonomi Islam

LITERATUR 8

Judul : Asas-asas Ekonomi Islam
Nama Penulis : M. Sholahuddin, S.E., M.Si.
Tahun : 2007
Penerbit : PT RajaGrafindo Persada
Keterangan : -

Pilihan Perilaku Manusia (hlm 25)
Saat ini ideologi kapitalisme merupakan ideologi yang dominan di seluruh dunia dan menjadi tolok ukur perbuatan mayoritas masyarakat. Pemisahan agama dari kehidupan merupakan asas yang memunculkan ideologi ini. Dan para penganut ideologi ini menjadikan tolok ukur manfaat dalam segenap aktivitasnya termasuk perilaku ekonomis. Mereka beranggapan bahwa setiap permintaan masyarakat harus segera dipenuhi tanpa memandang halal dan haram, selama hal itu menguntungkan.
Di lain pihak, ideologi sosialisme meski telah mengalami era kehancuran, namun masih tetap diperjuangkan oleh para pengikut fanatiknya. Ideologi ini muncul dari konsep materialisme. Mereka meyakini bahwa kehidupan di dunia adalah materi, muncul dari materi dan musnah menjadi materi kembali. Kemiripan dengan ideologi kapitalisme adalah menyatakan bahwa urusan kehidupan manusia adalah mutlak hak manusia. Manusia bebas untuk menentukan aturan sendiri berdasar konsep demokrasi. Hanya bedanya, ideologi ini menafikan sama sekali adanya Tuhan dan menganggap agama adalah candu masyarakat.

Pemanfaatan Harta Pribadi (hlm 129)
Ketentuan pertama dalam syariah tentang kepemilikan ialah kekayaan dilarang untuk dimiliki kecuali untuk dimanfaatkan. Tindakan memiliki harta dan dibiarkan tidak dinikmati jika dilaksanakan oleh setiap individu dalam masyarakat akan menyebabkan produktivitas dan perekonomian menjadi terganggu. Seseorang yang telah memiliki harta kekayaan, namun tidak mau memanfaatkannya dianggap sebagai orang yang bertindak bakhil dan akan mendapatkan dosa. Karena, Allah menganugrahkan kekayaan sebagai sebuah kenikmatan yang layak untuk dinikmati. QS Al-Isra’: 29 dan QS Al-A’raf: 32. “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya agar menampakkan tanda-tanda kenikmatan-Nya.” (HR Imam At-Tirmidzi). “Orang yang menguasai tanah yang tidak bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun menguasainya, ia tidak menggarapnya dengan baik.” Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang mengerjakan tanah tak bertuan akan lebih berhak atas tanah itu.” (HR Bukhari)

Kategori Pemanfaatan Harta Milik Pribadi (hlm 132)
Aturan dalam penggunaan harta secara langsung (konsumtif) dapat mendorong terjadinya pemerataan.
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud Rasulullah Saw bersabda: “Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang 4 perkara: tentang umurnya untuk apa ia dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan, dan tentang ilmu, apa yang ia lakukan dengan ilmunya itu.” Hadits ini menyebutkan bahwa hisab harta itu bukan sekadar darimana harta diperoleh melainkan juga untuk apa harta itu dipergunakan. Ketetapan pemanfaatan harta dalam Islam sebagai berikut:
a. Zakat merupakan kewajiban bagi mereka yang telah mencapai nishab.
b. Nafkah kepada diri sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti istri, orang tua, dan anak-anak, hukumnya fardhu.
c. Silaturahim dengan saling memberi hadiah hukumnya Sunnah.
d. Sedekah kepada fuqara dan yang membutuhkan hukumnya Sunnah.
e. Infak untuk kegiatan dakwah Islam hukumnya fardu kifayah.
Penggunaan harta yang diharamkan terdiri dari: (1) haram zatnya, (2) haram selain zatnya seperti tadlis, taqtir, ihtikar, bai’ najasy, gharar, riba, israf dan tabdzir, (3) tidak sah akadnya. Diantara beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam adalah:
1. Israf dan tabdzir yaitu menafkahkan hartanya untuk berbagai hal yang diharamkan oleh Allah, seperti untuk melakukan kemaksiatan, membeli barang yang diharamkan, digunakan untuk menyuap (risywah), dan sebagainya. Israf dan tabdzir walaupun sekilas tampaknya ikut berperan mendorong beredarnya harta, namun apabila dilihat lebih jauh sebenarnya peredaran harta tersebut hanya akan berputar pada barang atau jasa yang haram saja. Hal itu tentunya akan menyebabkan terakumulasinya harta pada sektor-sektor yang halal akan mengalami hambatan dalam perputarannya.
2. Taraf yang diharamkan adalah berfoya-foya atau bermewah-mewah dengan jalan melakukan tindakan penyalahgunaan nikmat, sombong dan membangkang karena banyaknya nikmat. Sebagaimana pada israf dan tabdzir, taraf juga akan membawa implikasi yang sama, yaitu akan mendorong harta berputar pada sektor yang diharamkan.
3. Taqtir (kikir) yang diharamkan adalah tidak mau menafkahkan hartanya untuk keperluan yang haq, seperti: tidak mau menafkahi orang yang menjadi tanggungan kewajibannya, tidak mau membayar zakat dan sebagainya.

Prioritas Pemanfaatan
QS An-Nur: 33 dan QS Al-Hadid: 7 memerintahkan kepada setiap orang yang memiliki harta kekayaan agar menafkahkan harta yang dirizkikan-Nya kepada kita. Pedoman-pedoman pokok yang harus dipegang pada saat kita akan membelanjakan harta adalah bahwa kita harus mengetahui skala prioritas yang benar agar pembelanjaan itu mendatangkan keberkahan. Jika kita mengkaji hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah nafkah ini, akan kita temukan bahwa prioritas utama pembelanjaan harta adalah untuk melaksanakan kewajiban, kemudian amalan Sunnah baru kemudian akivitas yang mubah. Sedangkan aktivitas yang hukumnya makruh sebaiknya kita tinggalkan apalagi aktivitas yang haram maka tentunya harus ditinggalkan. Beberapa hukum prioritas pemanfaatan adalah sebagai berikut:
1. Harta yang dimiliki wajib dinafkahkan untuk keperluan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Pertama untuk anak-anak dan istri, kedua orang tua dan karib kerabat yang menjadi tanggungan.
2. Bagi yang mempunyai kelebihan harta yang telah mencukupi nishab dan haul wajib mengeluarkan zakat.
3. Wajib menafkahkan harta dalam rangka jihad fi sabilillah yaitu dalam rangka menyebarkan Islam ke seluruh masyarakat yang ada di dunia.
4. Disunnahkan menafkahkan harta kekayaan manakala kebutuhan primer kita telah terpenuhi, kepada karib kerabat atau famili yang tidak menjadi ahli waris kita. “Sedekahkanlah kepada dirimu sendiri. Bila masih ada lebihnya, maka untuk keluargamu. Bila masih ada lebihnya, sedekahkanlah kepada famili terdekatmu. Bila masih ada sisa-sisanya, sedekahkanlah kepada orang lain yang ada di sebelah depanmu, sebelah kananmu, dan sebelah kirimu.” (HR Khamsah).
5. Sedekah bisa diberikan kepada orang-orang lain yang kita sukai, baik tetangga maupun teman dekat.
Infaq dan sedekah hanya dilakukan jika kita kelebihan harta dari kebutuhan primer kita. Kalau tidak lebih maka tidak ada keharusan untuk itu. (hlm 140)

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...