Sunday 10 June 2018

Proposal: Kebutuhan Manusia dalam Islam

2.2.3. Kebutuhan Manusia dalam Islam

Manusia dalam menjalani kehidupan memiliki kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan fisik, naluri, dan keinginan. Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang ada karena adanya kerja struktur organ tubuh manusia, ia memiliki ciri: muncul dari dalam diri manusia tanpa membutuhkan rangsangan dari luar, membutuhkan jenis zat tertentu dengan kadar tertentu, jika tidak terpenuhi berakibat pada kerusakan organ tubuh, penyakit, atau kematian. Naluri manusia terdiri dari naluri untuk mempertahankan diri, meneruskan keturunan, naluri seksual, dan naluri beragama. Ciri-ciri naluri berbeda dengan kebutuhan fisik, yaitu: munculnya karena reaksi atas rangsangan dari luar diri manusia, dapat dialihkan kepada sesuatu yang lain, jika tidak terpenuhi menimbulkan gejolak batin. Oleh karena itu perlu diperhatikan perbedaan antara kebutuhan dengan keinginan; dimana dalam perspektif Islam, kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi terdiri dari: pangan dan sandang, papan, serta kesehatan dan pendidikan (Sholahuddin, 2007).

Berdasarkan penelitian Al-Asyaqar (2006), standar kecukupan dan kekayaan diukur berdasarkan adat kebiasaan dan bukan dengan syariat atau bahasa, seseorang dianggap kaya jika ia memiliki harta benda yang melebihi dari kebutuhan dan kecukupannya. Adapun kriteria kecukupan adalah segala sesuatu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak dalam kehidupan, sehingga ukuran kecukupan berbeda-beda untuk tiap zaman, tempat, dan orang. Islam bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat Islam hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya bertahan hidup, dengan cara bekerja dan adanya mobilisasi dana dari orang kaya kepada orang miskin yaitu orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang dianggap dapat digunakan untuk mengukur kecukupan yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pelayan (pembantu), perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku ilmiah, alat-alat kerja produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan, biaya pernikahan, persenjataan bagi yang membutuhkan .

Terdapat banyak dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang standar kecukupan tersebut, diantaranya yang disebutkan oleh Al-Asyaqar (2006):
a. Dalil berikut menceritakan bahwa Allah SWT menyediakan bagi Nabi Adam ‘alaihissalam segala kebutuhan pokok di surga berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal. QS Thahaa (20): 118-119: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".
b. Hadits muttafaq alaih (Shahih Bukhari dan Muslim) yang berarti “Dari Aisyah r.a. bahwa sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata, “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, dan dia tidak memberikanku harta benda yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali bila aku mengambil sebagian hartanya sedangkan dia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah SAW bersabda “ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan makruf (baik).” Hadits ini menjelaskan tentang urgensi kehidupan yang cukup, dimana Rasulullah SAW menjelaskan tentang nafkah yang harus mencukupi yaitu jumlah yang dikenal cukup untuk ukuran adat kebiasaan.
c. HR Ahmad dan Abu Dawud “Barangsiapa yang menangani suatu tugas, sementara dia belum memiliki rumah, maka hendaklah dia mengambil rumah, atau dia belum memiliki istri, maka hendaklah dia menikah, atau dia belum memiliki pelayan, maka hendaklah dia mengambil pelayan, atau dia belum memiliki hewan tunggangan, maka hendaklah dia mengambil hewan tunggangan.” Hadits ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya orang yang bekerja dan bertugas mengatur harta benda umat, haruslah seorang yang berkecukupan dan memiliki kebutuhan pokok kehidupan yaitu tempat tinggal, istri, pelayan, dan kendaraan.
d. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Anak Adam tidak memiliki hak selain dalam hal-hal berikut: rumah yang didiaminya, pakaian untuk menutup auratnya, roti yang kering dan air.” Hadits ini merupakan dalil pokok dalam menentukan standar kecukupan.
e. HR Ibnu Majah “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” Jika menuntut ilmu adalah kewajiban maka segala sarana untuk menuntut ilmu merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia.
f. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa yang bangun pagi dengan rasa aman dalam hatinya, sehat wal afiat jasmaninya, dan dia memiliki makanan untuk hari itu, maka dia seolah-olah telah menggenggam dunia seisinya.” Hadits ini menyebutkan tentang kebutuhan pokok manusia dan merupakan sebagian dari ukuran kecukupan.
g. HR Abu Dawud “Rasulullah SAW bersabda “berobatlah, karena sesungguhnya Allah SWT tidak menurunkan suatu penyakit melainkan menurunkan pula obatnya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua.” Ketika manusia menghadapi resiko sakit dan membutuhkan obat, maka pengobatan dan terapi merupakan salah satu kebutuhan pokoknya dan bagian dari ukuran kecukupannya untuk menjaga jiwa dan kehidupannya.

Lebih lanjut Al-Asyaqar (2006) menjelaskan tentang maksud-maksud syariat di balik usaha meraih kekayaan yaitu: (1) pemenuhan nafsu kepemilikan karena Islam mensucikan nafsu kepemilikan dan meletakkan batasan-batasan atasnya, (2) mengayakan diri sendiri dan keluarga yang ditanggung, dengan dalil-dalil sebagai berikut: menjaga kehormatan diri, mengemban tanggung jawab, jaminan kecukupan, jihad di jalan Allah SWT, (3) ikut serta membangun masyarakat didasarkan pada dalil bahwa manusia diperintahkan memakmurkan bumi, (4) meraih pahala dan balasan dengan berinfak di jalan Allah SWT. Alokasi dana yang tidak diperbolehkan adalah terdiri dari dua poin penting yaitu untuk hal yang haram dan untuk hal yang mubah. Adapun alokasi dana untuk hal yang haram tidak diperbolehkan samasekali, baik berupa barang maupun perilaku yang haram. Sedangkan untuk hal yang mubah diperbolehkan tetapi tidak berlebihan, diantaranya adalah: makanan, minuman, pakaian, berkendaraan, pembangunan, pesta dan acara, wisata.

Al-Syatibi dalam Firdaus (2014) membagi maslahah menjadi tiga tingkatan yaitu : dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah. Definisi maslahah secara bahasa adalah tujuan pemenuhan kebutuhan manusia, sedangkan secara istilah syariah adalah sesuatu yang menjadi titik tolak rujukan atau tujuan dari ditetapkannya syariah (maqashid al-syari’ah). Ketiga tingkatan maslahah tersebut berlaku secara deret urut, artinya bila ada sebuah kasus menyangkut pertentangan antara dharuriyah dan hajjiyah atau tahsiniyah, maka yang diutamakan adalah dharuriyah. Dalam kondisi normal, tingkatan maslahah tersebut saling melengkapi dimana tahsiniyah melengkapi hajjiyah dan kemudian melengkapi dharuriyah, serta dharuriyah adalah dasar bagi hajjiyah dan tahsiniyah. Terkadang gugurnya hajjiyah dan tahsiniyah secara mutlak dapat mempengaruhi kualitas dharuriyah sehingga keduanya perlu dipelihara untuk menjaga dharuriyah.

Dharuriyah adalah kebutuhan dasar atau primer atau pokok (necessities) yang merupakan unsur pokok dalam kehidupan manusia yang mutlak harus dipenuhi agar dapat mewujudkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Jika salah satu dari kebutuhan ini tidak terpenuhi maka terjadi ketidakseimbangan dalam pemenuhan terhadap kebutuhan primer. Situasi ini dapat mengakibatkan kehancuran di kehidupan dunia yang berakibat hilangnya keselamatan dan rahmat di kehidupan akhirat. Maslahah dharuriyah mencakup pemeliharaan terhadap lima hal yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Pemeliharaan agama (hifdzu ad diin) termasuk menjaga agama dari paksaan orang-orang yang tidak menyukai agama ini, dan menjaga agama dari dorongan hawa nafsu dunia. Pemeliharaan jiwa (hifdzu an nafs) termasuk jaminan keselamatan jiwa seperti nyawa, anggota badan, dan terjaminnya kehormatan manusia. Salah satu cara untuk memelihara jiwa adalah dengan menjaga kesehatan, kebutuhan sandang, dan kebutuhan papan. Pemeliharaan keturunan (hifdzu an nasl) termasuk jaminan kelestarian populasi umat manusia agar dapat hidup dan berkembang sehat dan kokoh, diantara cara memelihara keturunan adalah dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang dalam institusi keluarga. Pemeliharaan akal pikiran manusia (hifdzu al ‘aql) contohnya dapat dilakukan dengan upaya menuntut ilmu pengetahuan. Pemeliharaan harta (hifdzu al maal) dapat dilakukan dengan meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal. (Firdaus, 2014)

Hajjiyah adalah kebutuhan sekunder (needs) yaitu sesuatu yang keberadaannya diperlukan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima kebutuhan primer menjadi lebih baik lagi, dalam rangka mempermudah kehidupan manusia. Jika sesuatu tersebut tidak ada, maka ketiadaannya hanya berdampak pada kesulitan dalam menjalani hidup namun tidak mengakibatkan terjadinya kehancuran. Diantara yang termasuk kebutuhan ini adalah hiburan, kendaraan, tanah, bangunan, dan lain-lain. (Firdaus, 2014)

Tahsiniyah adalah kebutuhan tertier (complementary/wants) yaitu sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Keberadaan tahsiniyah dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik menuju pada penyempurnaan dalam rangka pemeliharaan atas lima kebutuhan pokok. Ketiadaan tahsiniyah akan berdampak pada cederanya kesopanan dan ketidakpatutan atau ketidakpantasan, namun tidak akan menyebabkan rusaknya dharuriyah. Contohnya: menutup aurat dalam sholat, menjauhi makanan dan minuman yang najis. (Firdaus, 2014)

Referensi:
Prof. Dr. Sulaiman Al-Asyaqar. 2006. Manajemen Harta (Hukmul Maal, diterjemahkan oleh Abu Haikal Fadhel Muhammad). Depok, Indonesia: Bina Mitra Press. Hlm 9-10, 32-34, 39. Hlm 14-26. Hlm 120-152
Achmad Firdaus. 2014. Maslahah Performa (MaP): Sistem Kinerja untuk Mewujudkan Organisasi Berkemaslahatan. Yogyakarta: Deepublish. Hlm 56-74

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...