Sunday 10 June 2018

Proposal: Solusi Konsumerisme

2.3.2. Solusi Konsumerisme

Konsumerisme merupakan permasalahan yang tidak sederhana dan faktor penyebabnya berasal dari berbagai sumber serta dampaknya mempengaruhi segala aspek dalam kehidupan manusia, maka solusi yang diajukan juga harus komprehensif sehingga dapat mengatasi permasalahan tersebut secara tuntas. Diantara aspek-aspek yang harus diperhatikan adalah penyebab dan dampak secara ekonomis dan psikologis. Islam yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai agama yang komprehensif seharusnya dapat menawarkan solusi yang tepat (Syafi’i Antonio, 2001 ). Sebelum membahas solusi komprehensif dari sudut pandang Islamic Wealth Management, akan ditinjau lebih dahulu solusi-solusi yang ditawarkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.


A. Pandangan Ajaran Agama terhadap Konsumerisme

Varul (2008) menjelaskan hubungan antara konsumerisme dengan ajaran agama, yaitu bagaimana agama Islam dan agama Kristen menyikapi fenomena budaya konsumen yang telah meluas saat ini. Beberapa tokoh pemikir relijius memiliki kekhawatiran bahwa nilai-nilai relijius telah digantikan dengan konsumsi berlebihan ala hedonisme, idola masyarakat bukan lagi Tuhan tetapi digantikan oleh konsumsi dan pemuasan diri, serta tidak lagi mencari nilai-nilai transendental di tempat-tempat ibadah melainkan memenuhi tempat-tempat konsumsi seperti tempat perbelanjaan dan wisata.
Varul (2008) telah menjabarkan bahwa agama Islam dan agama Kristen sebenarnya dapat, dan telah melakukan adaptasi pada lingkungan modern yang didominasi oleh budaya konsumerisme. Secara sekilas, agama Islam dan agama Kristen terlihat anti-konsumerisme, tetapi dapat tetap bertahan di tengah budaya konsumsi. Islam banyak membahas tentang gaya hidup Islami beserta hal-hal yang dilarang untuk dikonsumsi seperti babi, minuman keras (alcohol), pornografi, hal-hal yang merusak kesehatan, dan hal-hal lain yang bila dikonsumsi akan dapat menjauhkan manusia dari mengingat Allah SWT. Akan tetapi di sisi lain, Islam juga tidak menolak adanya kecenderungan atau desire manusia terhadap kesenangan duniawi seperti makanan enak dan keinginan seksual. Islam tidak mengenal adanya pelepasan sepenuhnya dari kesenangan duniawi seperti yang ada dalam sistem kebiksuan dan kependetaan, ia mengizinkan hal tersebut untuk dinikmati manusia selama dilakukan dalam jalur-jalur dan cara-cara yang halal dan benar menurut Islam. Bahkan kesenangan-kesenangan duniawi tersebut merupakan salah satu karunia dari Allah SWT pada manusia di dunia. Islam tidak menentang konsumerisme bahkan ia menganjurkan gaya hidup hedonis yang moderat, fakta adanya hal-hal yang dilarang untuk dikonsumsi dianggap untuk kebaikan manusia itu sendiri, serupa dengan anjuran hidup sehat yang dipromosikan oleh pemerintah (government health advice).
Secara umum, gaya konsumsi Protestan (Kristen) lebih sederhana dibandingkan dengan Katolik, dan disebutkan adanya asketisisme Kristen terhadap hal-hal duniawi, tetapi tidak ada larangan untuk mengkonsumsi barang-barang tertentu. Di sisi lain, Kristen dan konsumerisme telah melakukan interaksi dan bersinergi dalam menciptakan tempat perbelanjaan dan wisata relijius seperti “Heritage Village”. Upaya pencarian keuntungan dunia dan konsumsi berkelanjutan telah berakar dalam agama Kristen, oleh karena itu ia dapat dianggap sebagai salah satu pemicu revolusi industri dan revolusi konsumsi. Kesuksesan bisnis seseorang dianggap sebagai suatu kehormatan dan meningkatkan status seseorang, akan tetapi tidak dilakukan untuk mendukung gaya hidup mewah. (Varul, 2008).
Mujahidin (2013) menjelaskan bahwa Al-Qur`an menurut Tafsir al-Misbâh menyerukan paradigma baru dalam konsumsi. Harta dipandang sebagai hal yang pokok dan vital dalam kehidupan, namun tidak menjadi sesuatu yang terpenting. Konsumsi bahkan terhadap barang-barang mewah tidaklah dilarang, namun manusia harus mengendalikannya, karena kecintaannya pada harta benda akan melupakannya pada nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Nilai-nilai yang harus dipelihara oleh orang beriman dalam konteks pengendalian konsumsi adalah harmoni hubungan antara yang kaya dan yang lemah. Islam memandang infaq tidak hanya hubungan kedermawanan yang bersifat pribadi dari si kaya namun harus didasarkan pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara sesama manusia.


B. Edukasi Personal Finance Sebagai Bekal Konsumen

Solusi lain yang diajukan adalah dengan melakukan edukasi pengelolaan personal finance sehingga masyarakat memiliki bekal untuk menempatkan budaya konsumerisme secara proporsional di dalam kehidupan keuangannya. Morton (2005) menjelaskan tentang kebutuhan akan edukasi mengenai tema personal finance di lembaga-lembaga pendidikan formal termasuk tingkat sekolah dasar, menengah, hingga universitas karena kemampuan ini dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Kebutuhan ini juga dikarenakan industri keuangan telah berkembang sedemikian canggihnya dengan produk-produk yang bermacam-macam dan dengan skema-skema yang rumit, dan informasinya disebarluaskan dengan bantuan teknologi informasi yang juga tidak kalah cepatnya berkembang. Akan tetapi tidak banyak didapati lembaga pendidikan formal yang memiliki perhatian dan dapat mengakomodasi kebutuhan ini, padahal edukasi tersebut merupakan bekal bagi calon konsumen untuk meningkatkan financial literacy sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi .
Rekomendasi yang sama juga dikemukakan oleh Krishna, dkk (2009) setelah melakukan penelitian terhadap tingkat literasi keuangan di kalangan mahasiswa di Indonesia yaitu bahwa untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan personal finance masuk ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian dari sistem pendidikan di Universitas baik untuk program studi Ekonomi maupun non Ekonomi. Pendidikan personal finance dapat juga diberikan dalam bentuk penyelipan materi dalam pembekalan mahasiswa seperti dalam pelatihan kepemimpinan, workshop pengembangan diri, dll.


Referensi:
- Syafi’i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
- Varul, Matthias Zick (2008). After Heroism: Religion versus Consumerism. Preliminaries for an Investigation of Protestantism and Islam under Consumer Culture. Artikel dalam Islam and Christian-Muslim Relations April 2008: ResearchGate diunduh tanggal 4 Juli 2015.
- Mujahidin, Anwar (2013). Konsumerisme Dan Konsumisme Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur`an. Laboratorium Studi Al-Qur'an Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung .
- Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education. Artikel dalam jurnal Social Education 69(2), pp. 66-69 diterbitkan oleh National Council for the Social Studies.
- Krishna, Ayu dan Maya Sari dan Rofi Rofaida. Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Survey pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia).

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...