Sunday 10 June 2018

Proposal: Pandangan Islam tentang Harta dan Kekayaan

2.2.1. Pandangan Islam tentang Harta dan Kekayaan

Konsep harta dalam Islam didefinisikan sebagai seluruh apa pun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia, dalam bahasa Arab harta disebut al-maal atau bentuk jamaknya disebut al-amwaal, secara lebih spesifik harta adalah seluruh benda yang memiliki nilai uang atau nilai tukar (Sholahuddin, 2007). Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai amanah (titipan) dari Allah, sebagai perhiasan hidup, sebagai ujian keimanan, dan sebagai bekal ibadah (Syafi’i Antonio, 2001 ).

Syariat Islam mengajarkan kepada manusia agar menikmati kebahagiaan dan kebaikan hidup di dunia, kehidupan yang sejahtera secara ekonomi harus diupayakan. Keadaan ini dapat meningkatkan kualitas ibadah dan hubungan dengan Allah. Dorongan memperoleh harta secara berkecukupan bukan sesuatu yang hina, karena Allah menempatkan harta sebagai perhiasan dan kesenangan. Manusia tidak perlu menghindari harta karena tidak selamanya harta merupakan bencana bagi pemiliknya. Miskin dan kekurangan harta bukan simbol manusia takwa. Kedudukan harta sebagai perhiasan ditemukan dalam dalil berikut. QS Al-Kahfi (18): 46 “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Sedangkan dalil berikutnya menyatakan kedudukan harta sebagai kesenangan. Harta sebagai kesenangan hidup memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. QS Ali Imran (3): 14 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Selain sebagai perhiasan dan kesenangan dunia, harta juga merupakan ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. Sifat harta sebagai ujian kenikmatan dapat menghasilkan kesyukuran, atau kekufuran. Harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri. Ayat berikut menjelaskan kedudukan harta sebagai ujian. QS Al-Anfaal (8): 28 “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Kepemilikan harta secara hakiki ada pada Allah SWT, kemudian manusia diberikan hak kepemilikan sementara di dunia dengan maksud agar dapat dikelola sebagai fasilitas bagi kehidupan manusia. Harta bukan merupakan tujuan, tetapi merupakan fasilitas untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, dan ia merupakan pemberian dari Allah kepada manusia yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya yang ada di dunia tetapi pada hakikatnya tetap dimiliki oleh Allah. Ayat berikut merupakan landasan hukum tentang Allah sebagai pencipta dan pemilik harta yang hakiki karena menisbatkan kepemilikan harta langsung kepada Allah. QS An-Nuur (24): 33 “…dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…”

Manusia memiliki hak atas harta yang dikelolanya tetapi bukan merupakan hak mutlak dan memiliki batasan dan aturan dalam pengelolaannya yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pemilik sebenarnya, yaitu harta tersebut digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh Allah yaitu kebaikan hidup di akhirat. Harta dapat digunakan untuk membela agama Islam, dan jika didapatkan dan dikelola dengan cara yang sesuai dengan aturan Allah maka harta dapat meningkatkan keimanan seorang muslim karena dapat menggunakannya sebagai fasilitas untuk mencari ilmu dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya. Ayat berikut merupakan landasan hukum tentang harta sebagai fasilitas bagi kehidupan manusia. QS Al-Baqarah (2): 29 “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Konsep kekayaan dalam syariat Islam adalah kepemilikan atas harta yang banyak yang melebihi kecukupan manusia, dimana masyarakat menilai orang yang memilikinya sebagai orang kaya. Kekayaan itu sendiri sangat relatif dan berbeda dengan perbedaan tempat dan zaman bahkan individu. Islam membawa misi agar setiap individu masyarakat mencapai tingkat penghidupan hingga batas kecukupan dan layak walaupun tidak kaya. Ini adalah salah satu tujuan syariat dan kebutuhan asasi manusia. (Al-Asyaqar, 2006)

Referensi:
M. Sholahuddin, S.E., M.Si. 2007. Asas-asas Ekonomi Islam hlm 40-94. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Syafi’i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...