Sunday 10 June 2018

Proposal: Fenomena Konsumerisme

2.3.1. Fenomena Konsumerisme

Fenomena konsumerisme dapat diamati dari sejarah konsumerisme, faktor-faktor yang menyebabkan konsumerisme, dan dampak-dampak yang diakibatkan oleh adanya konsumerisme. Bagian berikut akan menjelaskan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengemukakan fenomena tersebut.


A. Sejarah Konsumerisme

Stearns (2001) menjelaskan secara komprehensif sejarah konsumerisme di dunia, dimulai dari dapat ditemukannya tanda-tanda kecenderungan terhadap konsumerisme pada kebudayaan dunia sebelum masa modern pada tahun. Dilanjutkan pada era industri awal tahun 1780an hingga 1840an, dimana masyarakat sibuk bekerja dan memenuhi kebutuhan yang semakin mahal sehingga perkembangan konsumerisme melambat. Kemudian pada tahap kedua era industri barulah mulai dirasakan dampak perkembangan industri pada kemunculan konsumerisme modern yang dimulai di Eropa barat. Penyebab yang disebutkan adalah ketersediaan supply produk-produk baru, kenaikan pendapatan masyarakat secara umum yang menciptakan kebutuhan baru, serta pengaruh budaya perkotaan yang semakin kuat. Sudut pandang yang berbeda menyatakan bahwa perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, yang semakin banyak bekerja di pekerjaan yang tingkat rutinitasnya tinggi, kemudian melakukan kompensasi terhadap hal tersebut diluar pekerjaan yaitu dengan kegiatan-kegiatan hiburan dan mengkonsumsi barang-barang mewah yang dianggap dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Eropa sebagai wilayah terkuat saat itu, dan dengan perluasan perdagangan serta kolonialismenya ke seluruh dunia, membawa serta budaya konsumerisme yang dianggap simbol kesuksesan ke berbagai negara di dunia. Di berbagai belahan dunia, budaya konsumerisme diadaptasi dan disesuaikan dengan kondisi lokal. Amerika Serikat mengadaptasi budaya ini pada tahun 1800an bersamaan dengan kedatangan koloni-koloni Eropa ke Amerika, akan tetapi konsumerisme di AS mengalami perkembangan lebih pesat dibandingkan dengan di Eropa. Pada tahun 1850an, department store mulai banyak bermunculan di Eropa dan AS, dan menyebar ke Rusia, Asia Timur, serta wilayah-wilayah lain, diikuti dengan kemunculan katalog belanja dan iklan-iklan komersial. Perkembangan marketing dan periklanan pada tahun 1920an mulai memasuki berbagai media seperti kerjasama dengan sistem pendidikan dan pemerintah. (Stearns, 2001)
Peach dan Steindel (2000 ) menyajikan data tentang menurunnya tingkat personal saving di Amerika Serikat pada dekade terakhir mulai tahun 1990 awal hingga tahun 2000. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat telah melakukan pengeluaran secara sembrono, dan banyak orang yang memiliki gaya hidup yang lebih tinggi daripada pendapatannya. Jika pola konsumsi lebih besar dari pendapatan ini terus berlanjut dan dilakukan oleh masyarakat luas, dapat menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara umum. Akan tetapi data penurunan personal saving kemudian diikuti pula dengan data kenaikan pendapatan masyarakat secara umum, sehingga kondisi keuangan masyarakat tetap dapat dijaga.


B. Penyebab Konsumerisme

Di Indonesia, Nurist dan Surayya (2010) menjelaskan fenomena budaya konsumen dengan diawali modifikasi sebuah pernyataan filosofis populer “Cogito ergosum—aku berpikir, maka aku ada” menjadi “I shop therefore I am” --aku berbelanja, maka aku ada yang dianggap dapat mewakili keadaan masyarakat saat ini. Berikutnya dijelaskan mengenai definisi konsumsi dan konsumerisme serta kedudukannya di masyarakat bahwa bahwa konsumsi telah terkonstruksi dalam rasionalitas masyarakat global dunia sehingga konseptualisasi mengenai diri dan dunia dipengaruhi atau—pada level akutnya—dibentuk oleh konsumsi. Adanya pengaburan nilai guna (use value) menjelaskan bahwa masyarakat berkonsumsi bukan sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan (needs), namun lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire). Kebutuhan mungkin dapat dipenuhi dengan konsumsi objek, sebaliknya, hasrat justru tidak akan pernah terpenuhi. Dalam sistem masyarakat saat ini, simbol dan citra memang semakin mengalahkan kenyataan. Penampakan lebih penting dari esensi. Citra mampu mengubah objek yang fungsinya sama menjadi berbeda. Citra membedakan satu objek bisa bernilai tinggi dibanding yang lainnya. Citra juga yang membuat orang rela berkorban lebih besar untuk konsumsi sebuah benda yang tidak signifikan fungsinya.
Selanjutnya dijelaskan fungsi periklanan dalam budaya konsumen bahwa media massa berperan sangat signifikan untuk mentransfer dan menyebarkan nilai simbolis—symbolic value—pada masyarakat. Iklan menciptakan simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari objek dalam masyarakat, serta mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang dimanipulasi dan menekankan apa yang bisa didapatkan atau diperoleh konsumen dari objek yang dikonsumsi. Dalam masyarakat konsumen, orang-orang mengenali dirinya dalam komoditi mereka, mereka menemukan jiwa mereka dalam mobil, perangkat hi-fi, rumah, perabotan, dsb. Gaya hidup juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi. (Nurist dan Surayya, 2010)
Heryanto (2004) juga menjelaskan bahwa salah satu penyebab munculnya konsumerisme di Indonesia adalah pengaruh dari budaya Barat yang membawa modernisme. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa pembangunan di Indonesia menggunakan teknologi dan modal dari Barat sehingga secara tidak langsung menimbulkan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang menggeser kebudayaan tradisional. Pergeseran nilai tersebut juga sejalan dengan meluasnya konsumerisme di kota-kota besar maupun pedesaan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan multinasional telah memaksakan sistem sosial baru yang kadang-kadang tidak sejalan dengan kebudayaan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, sehingga terjadi pergeseran nilai dan konsumerisme di tengah krisis ekonomi di Indonesia.
Di satu sisi, masyarakat digempur dengan informasi yang mempromosikan budaya konsumerisme. Tetapi di sisi lain, perkembangan teknologi informasi sebagai sarana marketing dan promosi serta perkembangan produk-produk keuangan tidak diimbangi dengan pendidikan personal finance yang memadai. Pendidikan personal finance akan dapat memberikan bekal kepada para konsumen dan calon konsumen untuk mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan konsumsi (Morton, 2005). Ketiadaan program ini di dalam sistem pendidikan formal menjadi salah satu penyebab menyebarluasnya konsumerisme yang berlebihan di masyarakat. Masyarakat hanya mendapatkan pendidikan personal finance dari sumber-sumber informal, terutama dari contoh yang dilihat dalam lingkungan keluarga dan masyarakat bahwa kegiatan konsumsi adalah suatu kenikmatan, tetapi hal ini juga tidak sering diikuti dengan edukasi dari keluarga tentang pengelolaan keuangan personal.
Krishna, dkk (2009) menjelaskan bahwa tingkat literasi finansial seseorang menentukan sikap dan opininya dalam memilih keputusan keuangan yang tepat, semakin tinggi tingkat literasinya maka semakin banyak pilihan keputusan keuangan yang tepat dilakukan. Literasi finansial ini juga dipengaruhi oleh faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, asal program studi, dan pengalaman kerja. Mereka juga berargumen bahwa literasi keuangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang agar terhindari dari masalah keuangan, dimana masalah ini bukan hanya berasal dari rendahnya pendapatan, tetapi juga dari kesalahan pengelolaan keuangan. Literasi keuangan, bersama dengan kemampuan membaca dan kemampuan matematik merupakan kunci untuk dapat menjadi konsumen yang cerdas.
Kasser, dkk (2004) menjelaskan penyebab masyarakat menjadi materialis dari sudut pandang ilmu psikologi yaitu: insecurity, keterpaparan dengan teladan dan nilai-nilai materialistik, periklanan dan penyebaran kapitalisme, competence, relatedness, dan autonomy, dimana faktor-faktor penyebab ini saling berkaitan satu sama lain. Perasaan insecure dalam diri seseorang merupakan satu atau gabungan antara beberapa perasaan negatif lainnya seperti: kekhawatiran dan keraguan (tidak percaya diri) atas kemampuan untuk mengatasi tantangan secara efektif dan keamanan serta keselamatan diri di dunia yang tidak dapat diprediksi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa insecurity dapat disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar psikologis seseorang seperti autonomy yaitu perasaan tentang adanya pilihan, kepemilikan, dan keterlibatan tinggi atas aktivitas seseorang. Hal ini diantaranya dapat disebabkan karena ketidakbahagiaan dalam keluarga yang dapat disebabkan karena gaya parenting yang kurang baik, atau perceraian, dan sebagainya.
Penelitian lain (Cohen, 1996 ; Kasser, 1995 ; Abramson & Inglehart, 1995) juga menyebutkan bahwa orang-orang dari latar belakang ekonomi yang kurang sejahtera lebih materialistis dibanding orang-orang yang memiliki kecukupan dan kesejahteraan. Keterpaparan dengan teladan dan nilai-nilai materialistik menjelaskan pengaruh eksternal terhadap munculnya nilai-nilai materialistis dalam diri seseorang. Pengaruh eksternal yang dimaksud dapat berasal dari keluarga, lingkungan masyarakat, media seperti televisi dan popular culture lainnya, serta kebudayaan dalam skala yang lebih besar, dimana kesemuanya menampakkan pentingnya harta dan kepemilikan dalam lingkungan sosial. Termasuk didalam pengaruh eksternal ini adalah dengan berkembangnya periklanan (advertising) dalam kehidupan masyarakat yang dapat menimbulkan perasaan insecure dan menyebabkan masyarakat terus melakukan konsumsi sebagai kompensasi. Disebutkan lebih lanjut bahwa perekonomian pasar bebas yang menyebabkan konsentrasi harta di tangan sedikit orang menyebabkan disparitas tinggi antara komunitas kaya dengan komunitas miskin.
Para ahli ekonomi (kapitalis) bersepakat bahwa pertumbuhan ekonomi pasar bebas didorong dengan adanya peningkatan profit yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi. Penyebaran sistem ekonomi kapitalis terus berlanjut ke seluruh dunia, diikuti dengan budaya konsumerisme yang semakin banyak memasuki kehidupan masyarakat. Pesan yang disampaikan dari berbagai pihak seperti pemerintah, sistem pendidikan, tokoh-tokoh budaya, dan seterusnya sama yaitu bekerja keras untuk mendapatkan lebih banyak uang agar dapat menghabiskan lebih banyak uang baik dengan konsumsi maupun dengan investasi untuk menghasilkan lebih banyak uang. Saat ini, sebagian besar masyarakat hidup dalam budaya konsumsi dan sulit untuk lepas dari hal tersebut. (Kasser & Kanner, 2004)


C. Dampak Konsumerisme

Salah satu dampak dari perubahan gaya hidup masyarakat global terutama di perkotaan, adalah menurunnya kualitas hidup masyarakat. Bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat mengesampingkan kebutuhan pokok karena adanya dorongan untuk mengkonsumsi kebutuhan yang pada dasarnya tidak termasuk kebutuhan pokok. Contohnya adalah adanya kebutuhan untuk membeli peralatan elektronik yang sedang populer tetapi belum tentu dibutuhkan, sehingga sampai mengurangi alokasi konsumsi kebutuhan pokok. (Alfitri, 2007 )
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kasser, dkk (2004 ) yang menjelaskan hasil beberapa penelitian sebelumnya bahwa diantara dampak-dampak materialisme pada remaja dan dewasa adalah rendahnya tingkat personal well-being dan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis. Hal itu ditandai dengan: rendahnya tingkat well-being (kebahagiaan), self-acceptance atau kepuasan atas diri sendiri dan kepercayaan diri, affiliation atau community feeling yaitu merasa sebagai bagian dari suatu komunitas sosial tertentu, rendahnya tingkat kualitas hidup, timbulnya depresi, menurunnya tingkat produktivitas sosial, munculnya narsisme, timbulnya penyakit-penyakit fisik, terjebak dalam penyalahgunaan obat-obatan, meningkatnya resiko terpapar pada penyakit-penyakit mental (personality disorders), menurunnya kualitas relationship, dan rendahnya tingkat kepuasan hidup, serta dampak-dampak psikologis lainnya bagi keadaan kehidupan pribadi, keluarga, dan lingkungan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang-orang yang materialistis tidak dapat memenuhi kebutuhan psikologis dasar yaitu: competence, relatedness, dan autonomy. Perasaan memiliki competence tidak dapat dipenuhi karena rendahnya kepercayaan diri, tingginya tingkat narsisme, ketergantungan pada pendapat orang lain dan membanding-bandingkan keadaan sosial, yang dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman dengan keadaan dirinya sendiri, bahkan jika tujuan-tujuan materistiknya telah tercapai tetapi tetap tidak memiliki rasa percaya diri dan kebahagiaan hakiki. Dampak lanjutan adalah hubungan keluarga dan persahabatan yang tidak hangat serta kurang harmonis dan langgeng dikarenakan kurangnya rasa percaya (trust) dan kebahagiaan pribadi serta keinginan untuk berbuat baik, sehingga muncul budaya kompetisi dan kurangnya budaya kerjasama, rendahnya empati dan kemampuan interpersonal, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan relatedness. Autonomy, yaitu perasaan memiliki serta tingkat keterlibatan dalam melakukan aktivitas, tidak dapat dipenuhi karena orang-orang melakukan sesuatu bukan karena adanya keinginan dan kecenderungan yang memuaskan diri sendiri dan tidak melakukan sesuatu sepenuh hati, tetapi karena adanya motivasi untuk mendapatkan reward berupa harta, serta dorongan perasaan bersalah dan tekanan eksternal .
Kasser, dkk (2004) juga menjelaskan dampak sosial dari tingginya tingkat materialisme yaitu adanya perilaku yang membahayakan kesehatan suatu komunitas dan ekologi dunia, karena suatu komunitas yang sehat adalah yang didasarkan pada saling tolong menolong, bekerjasama, dan adanya saling percaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang materialis tidak memiliki tingkat kepedulian sosial yang mencukupi, tidak memiliki keinginan untuk menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih baik, tidak memperhatikan kebutuhan orang lain, memiliki tendensi untuk berperilaku manipulatif dan anti-sosial, serta lebih banyak berkompetisi dibandingkan bekerjasama. Kesemua perilaku tersebut merupakan perilaku yang membahayakan bagi kerukunan hidup komunitas. Tingkat kepedulian terhadap lingkungan (environment) juga rendah, yang ditunjukkan dengan banyaknya perilaku yang merusak lingkungan, dikarenakan nilai-nilai materialistis berlawanan dengan nilai-nilai yang dapat melindungi lingkungan, serta identik dengan sifat serakah dan berlebihan dalam melakukan konsumsi.
Bauman (2005) menjelaskan pergeseran budaya etos kerja menjadi budaya estetika konsumsi sehingga menciptakan definisi baru tentang kemiskinan. Jika kemiskinan di masa lalu diidentikkan dengan pengangguran, maka kemiskinan di masa ini merupakan ketidakmampuan untuk melakukan konsumsi (flawed consumer). Orang-orang yang termasuk sebagai flawed consumers menjadi korban konsumerisme. Mereka tidak memiliki sumber daya yang mencukupi standar sosial, sehingga mengalami berbagai tantangan dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena pergeseran hubungan antar manusia yang terjadi dalam budaya konsumerisme.
Prabowo (2013) berargumen bahwa konsumerisme menyebabkan orang terjerembab ke dalam persoalan krisis identitas. Ini disebabkan karena konsumerisme menyebabkan seseorang terjatuh pada egoisme dan tidak acuh terhadap kehidupan sosial mereka. Kesimpulan tersebut didapatkan setelah mendiskusikan budaya modern dari kacamata filsafat etika yang dikembangkan Ibn Miskawaih, dengan mempertanyakan apakah kebahagian yang dilahirkan konsumerisme adalah sejati. Budaya modern yang dimaksud adalah budaya konsumerisme yang lahir dalam masyarakat modern. Kalangan yang mendukung konsumerisme berpendapat bahwa kebahagiaan individu tidak dapat diwujudkan melainkan melalui kemerdekaan individual dan hak asasi manusia, utamanya dalam menikmati komoditas yang mewah.
Dowd (2009) mengatakan bahwa kapitalisme telah berhasil meluas dan mengakar di dunia selama 200 tahun terakhir. Globalisasi dan perkembangan sektor keuangan dapat memberikan dampak buruk bagi ratusan juta orang. Sejak tahun 1980an, ideologi neo-liberal juga berkembang pesat bersamaan dengan inequality. Inequality atau ketidakmerataan ini terjadi pada pendapatan, kekayaan (wealth), dan kekuasaan (power). Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmerataan semakin meluas adalah budaya konsumerisme dan media yang membantu menyebarluaskannya.


Referensi:
- Stearns, Peter N. (2001). Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire. London: Routledge.
- Peach, Richard dan Charles Steindel (2000). A Nation of Spendthrifts? An Analysis of Trends in Personal and Gross Saving. Federal Reserve Bank of New York, Current Issues in Economics and Finance Volume 6 Number 10.
- Heryanto, Januar (2004). Pergeseran Nilai dan Konsumerisme di Tengah Krisis Ekonomi di Indonesia. Nirmana Vol. 6, No. 1, Januari 2004 hlm 52-62.
- Morton, John S. (2005). The Interdependence of Economic and Personal Finance Education. Artikel dalam jurnal Social Education 69(2), pp. 66-69 diterbitkan oleh National Council for the Social Studies.
- Krishna, Ayu dan Maya Sari dan Rofi Rofaida. Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Survey pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia).
- Kasser, Tim dan Allen D. Kanner. Ed.(2004). Psychology and Consumer Culture: The Struggle for a Good Life in a Materialistic World. Washington, DC: American Psychological Association.
- Alfitri (2007). Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Diterbitkan dalam Majalah Empirika Volume XI No 01.
- Bauman, Zygmut (2005). Work, Consumerism and The New Poor: Second Edition. England: Open University Press.
- Dowd, Douglas (2009). Inequality and the Global Economic Crisis. USA: Pluto Press .
- Prabowo S., M. Nur (2013). Meretas Kebahagiaan Utama di Tengah Pusaran Budaya Konsumerisme Global: Perspektif Etika Keutamaan Ibnu Miskawaih. Jurnal Studi Islam .

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...