Sunday 10 June 2018

Proposal: Pengelolaan Harta dalam Islam

2.2.2. Pengelolaan Harta dalam Islam

Dikarenakan harta pada hakikatnya merupakan milik Allah, maka dalam mengelola harta seharusnya sesuai dengan aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Landasan hukum yang menyatakan hal ini ditemukan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, jilid 10, hal 8, no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 946 “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya”.

Jangan sampai dalam mengusahakan harta dilakukan tanpa mempertimbangkan sumbernya apakah sesuai dengan aturan Allah atau tidak. Keadaan ini disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang suatu masa, orang-orang tidak perduli dari mana harta dihasilkannya, apakah dari jalan yang halal atau dari jalan yang haram.” Menurut Tarmidzi (2013) hadits ini menggambarkan keadaan di masa modern ini. Seorang manusia dituntut untuk mengumpulkan dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya agar bisa hidup layak dan tenang menghadapi masa depan diri dan anak cucunya. Pada saat itu orang-orang tidak peduli lagi dari mana harta dia dapatkan .

Atsar yang dihasankan oleh syaikh Al Albani yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi bahwa khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, mengeluarkan perintah “Jangan berjualan di pasar ini para pedagang yang tidak mengerti dien (muamalat).” Hal tersebut dilakukan dalam rangka menghindari orang-orang yang tidak mengerti aturan muamalat untuk melakukan transaksi di pasar (Tarmidzi, 2013 ). Kisah ini menggambarkan bahwa khalifah menyuruh ummat, terutama yang melakukan perdagangan untuk mempelajari cara mengelola harta berdasarkan ajaran Islam.

Al-Asyaqar (2006) menjelaskan bahwa dalam rangka membelanjakan harta secara Islami , maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam diri pembelanja dan ketentuan dalam membelanjakan harta. Syarat untuk pembelanja adalah: iman kepada Allah SWT dan ikhlas karena Allah SWT, diperoleh dengan usaha yang disyariatkan dan baik, tidak membanggakan dan menyebut-nyebut harta yang diinfakkan kepada orang lain, dialokasikan pada tempat-tempat yang disyariatkan, tidak bersikap aniaya dan zalim kepada orang lain, serta menyadari dan mensyukuri nikmat kekayaan adalah dari Allah SWT.

Ketentuan mengalokasikan dana atau berinfak adalah: memulai dengan skala prioritas yaitu dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga dan kerabat yang paling dekat, jika ada kelebihan dari kebutuhan tersebut boleh berinfak kepada orang lain, menyegerakan melakukannya sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, dan sederhana. Ayat berikut menjelaskan tentang bagaimana alokasi pembelanjaan harta yang ideal menurut Islam. QS Al-Furqan (25) ayat 67 “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.

Yang dimaksud sederhana adalah kondisi pertengahan dan keseimbangan, yaitu menghindari: (1) sikap boros, mubadzir dan berlebihan, serta menghindari (2) sikap bakhil dan kikir. Pengelolaan harta dalam Islam bersikap pertengahan, adil, dan seimbang yaitu mengalokasikan infak pada tempatnya yang proporsional dan baik sehingga sistem masyarakat akan terbangun dan berjalan serta tidak terhenti. Pemborosan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sedangkan kikir berakibat pada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan pada orang-orang yang berhak.

Dalil berikut melarang pemborosan atau israf dan kewajiban bersikap sederhana dan adil. Definisi pemborosan (israf) adalah pembelanjaan dan penggunaan sesuatu melebihi kelayakannya yaitu membelanjakan harta pada tempat-tempat yang disyariatkan namun melebihi standar yang dibutuhkan. Definisi tabdzir adalah membelanjakan dan mempergunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya yaitu dapat diartikan pada hal-hal yang haram. QS Al-A’raaf (7) ayat 31 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Selain dilarang berlebihan, juga tidak dianjurkan untuk meninggalkan kebutuhan materi sepenuhnya karena hal itu merupakan hak bagi tubuh manusia yang dapat ditemukan landasannya dalam ayat berikut. QS Al-Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Definisi bakhil adalah menahan diri dari harta sendiri yaitu menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunnah. Definisi kikir (taqtir) adalah bagian dari sikap bakhil tetapi terlalu menyempitkan dan hemat atas nafkah keluarga hingga menyebabkan kelaparan. Dalil pelarangan sikap bakhil terdapat dalam ayat berikut. QS Ali Imran (3): 180 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalil-dalil berikut menjelaskan tentang skala prioritas yang harus diikuti dalam mengalokasikan harta yang dimiliki yaitu dari dirinya sendiri, kemudian keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungannya, dan kemudian bagi orang-orang lain yang membutuhkan dalam masyarakat (Al-Asyaqar, 2006):

a. Ayat berikut menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mengontrol harta bendanya yang dapat memenuhi kebutuhannya dan tanggungannya, dan bila masih tersisa melebihi batas kecukupan maka boleh diinfakkan.
QS Al-Baqarah (2): 219: “…Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”

b. Hadits Shahih Bukhari dan Muslim “Rasulullah SAW bersabda “Sebaik-baik sedekah adalah yang kamu keluarkan dari keadaan yang kaya, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”
Hadits ini menunjukkan sebaik-baik sedekah dan infak yang utama adalah harta benda yang dikeluarkan setelah menyisihkan sejumlah harta yang cukup untuk dirinya dan keluarganya.

c. HR Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah kalian!” seseorang berkata “aku punya satu dinar”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas dirimu sendiri”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas istrimu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas anakmu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “kamu lebih tahu (dimana kamu menginfakkannya).”
Hadits ini menunjukkan bahwa manusia harus menjamin terlebih dahulu kecukupan dirinya dan tanggungannya baru boleh bersedekah setelah itu dari kelebihannya.

Referensi:
Dr. Erwandi Tarmizi, MA., (2013). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor: PT Berkat Mulia Insani. Hlm 1. Hlm 9-10
Prof. Dr. Sulaiman Al-Asyaqar. 2006. Manajemen Harta (Hukmul Maal, diterjemahkan oleh Abu Haikal Fadhel Muhammad). Depok, Indonesia: Bina Mitra Press. Hlm 159-186. Hlm 21-26.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...