Monday 20 May 2019

Landasan Teori: Teori Konsumsi (3)

C. Definisi Konsumerisme dan Istilah-istilah Terkait

Swagler (2005) menyebutkan bahwa pada masa kemunculan istilah konsumerisme di tahun 1970an ia memiliki definisi yang netral yaitu sebagai: (1) konsep bahwa konsumen adalah sebagai pengambil keputusan di pasar dan harus memiliki akses terhadap informasi tentang pasar tersebut, (2) konsep bahwa pasar yang bertanggungjawab untuk memastikan adanya keadilan sosial melalui adanya kegiatan ekonomi yang adil, (3) istilah yang ditujukan untuk menjelaskan bidang studi yang mempelajari, membuat regulasi, atau bagaimana cara berinteraksi dengan pasar. Pada dasarnya ketiga definisi tersebut menjelaskan bahwa konsumerisme adalah pembahasan mengenai kegiatan konsumen.
Ketika definisi tersebut tengah berkembang, muncul definisi baru dengan konotasi yang lebih negatif. Konsumerisme dijelaskan sebagai kegiatan konsumsi dan mengumpulkan barang yang dilakukan secara egois dan sembrono yang didorong oleh kekuatan pasar yang dapat merusak individualitas dan membahayakan kondisi masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah konsumerisme digunakan untuk menjelaskan kondisi materialisme yang berlebih-lebihan dan pembuangan sumber daya (Swagler, 2005).
Stearns (2001) memperkuat pendapat tersebut dengan menyebutkan bahwa konsumerisme merupakan keadaan dimana suatu masyarakat yang dalam memformulasikan tujuan yang harus dicapai dalam hidupnya termasuk dengan membeli barang yang tidak dibutuhkan tetapi hanya untuk dipamerkan. Pilihan barang yang dibeli dianggap dapat merepresentasikan status sosial seseorang sehingga faktor utama yang menentukan konsumsi barang bukan berdasarkan kebutuhan tetapi berdasarkan keinginan. Semakin mahal suatu barang semakin dianggap bagus walaupun berdasarkan fungsi sebenarnya tidak lebih baik, karena tujuan utamanya adalah memamerkan harta yang dimiliki dan menjadikannya sebagai identitas diri.
Konsep materialisme menjadi nilai utama yang mendasari nilai-nilai konsumer lainnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa cara untuk mewujudkan nilai seseorang adalah melalui konsumsi. Semakin banyak konsumsi yang dilakukan oleh seseorang maka semakin tinggi nilai orang tersebut dalam pandangan materialisme. Titik berat materialisme ada pada kecukupan individu dibandingkan dengan golongan. Hal ini bertolak belakang dengan nilai-nilai kekeluargaan dan keagamaan. Konflik antara kedua nilai dapat menjadi salah satu alasan orang-orang yang memiliki nilai material tinggi biasanya lebih tidak bahagia. Kategori yang digunakan untuk mengukur materialisme terdiri dari kesuksesan, centrality, kebahagiaan (Solomon, 2013).
Kasser, dkk (2004) juga mengemukakan hal yang sama dengan merepresentasikan budaya konsumsi dengan istilah materialistic value orientation (MVO). MVO adalah orientasi nilai-nilai materialistis yang menggambarkan bahwa pencapaian tujuan-tujuan kesuksesan keuangan berdasarkan standar sosial adalah hal yang penting, beserta dengan status sosial seseorang yang dianggap lebih tinggi jika memiliki harta. Pandangan materialistis ini dianggap mendasari budaya konsumsi dengan tujuan, nilai-nilai, pandangan, dan perilaku yang semuanya berorientasi pada hal-hal materialis.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...