Monday 7 May 2018

Literatur: Rezeki

LITERATUR 10

Judul : Rezeki
Nama Penulis : Prof. Dr. M. Mutawalli Asy Sya’rawi
Tahun : 1993
Penerbit : Gema Insani Press
Keterangan : Judul asli “Ar Rizqu” diterbitkan oleh Maktabah Asy Sya’rawi Al-Islamiyah Muassasah Akhbarul Yaum 1990, Mesir

Apa Rezeki Itu?
Rezeki itu ialah apa yang dapat dimanfaatkan manusia, apakah halal atau haram, baik atau buruk. Semua yang tidak Anda manfaatkan, meskipun Anda memilikinya, ia bukan rezeki Anda, akan tetapi rezeki orang lain. Ada perbedaan antara hasil usaha dan rezeki seseorang atau antara kerja dan rezekinya. (hlm 11)
Banyak orang berkeyakinan bahwa modal harta kekayaan itu bisa melindungi dirinya dari kemiskinan, dan bahkan bisa membahagiakan. Mereka adalah orang yang telah disesatkan setan, jiwanya diliputi rasa takut dan gelisah karena kurang kuat imannya dan mudah tergoda setan yang menanamkan rasa takut miskin di hati manusia. Setan menakut-nakuti manusia sehingga menjerumuskannya ke dalam perbuatan maksiat demi maksiat, sehingga menjadi pekerjaan rutinnya, malah dianggapnya sebagai salah satu bagian dari kebutuhannya sehari-hari. Akhirnya, nafsunya mendorongnya melakukan maksiat tanpa bisikan setan lagi. (hlm 13)
Sementara orang mengira, bahwa yang ditakdirkan Allah Ta’ala itu hanyalah rezeki yang halal saja. Akan tetapi yang benar ialah rezeki yang halal dan yang haram juga. (hlm 12)
Rezeki itu apa yang dapat dimanfaatkan oleh orang itu atau oleh yang diberi rezeki. Manfaat itu ada dua bentuk (hlm 14):
Pertama: manfaat materi, untuk orang itu mempertahankan hidupnya.
Kedua: manfaat nilai-nilai, untuk memperkaya kehidupannya.

Rezeki dan Kehidupan
Rasulullah SAW bersabda: “Hartaku, hartaku. Apakah Anda punya harta lebih dari yang Anda makan dan Anda lenyapkan, atau yang Anda pakai dan Anda rusakkan, atau yang Anda sedekahkan dan Anda abadikan?”
Demikianlah perjalanan rezeki anak Adam itu, hanya menuju ke tiga arah saja, seperti yang dijelaskan Rasulullah SAW. Jadi, rezeki anak Adam tidak keluar dari tiga arah itu: apa yang dimakan jadi kotoran, apa yang dipakai jadi sampah, dan apa yang disedekahkan jadi tabungan abadinya di akherat. Sedangkan harta kekayaannya yang lain, yang dikatakan orang hasil jerih payah dan pencahariannya, bukan rezekinya. Ia hanya diamanahkan mencarinya, menjaganya, dan menyerahkannya kepada pemiliknya yang asli kelak. (hlm 26)

- Pencaharian itu bukan rezeki.
- Apabila nilai-nilai lenyap, maka runtuhlah peradaban.
- Kerohanian itu rezeki.
- Berbagai rezeki, karunia, dan bakat lainnya.
- Rezeki itu merupakan dasar-dasar keterkaitan.
- Gerak kemasyarakatan dan kontinyuitasnya.
- Meningkatkan mutu merupakan rahasia keindahan alam ini.

Harta dan Rezeki

Harta yang tidak memberi manfaat kepada Anda, ia bukan rezeki Anda. Harta warisan yang Anda tinggal mati, ia bukan rezeki Anda. Harta yang Anda timbun di berbagai bank, ia bukan rezeki Anda dan bukan harta saja yang dinamakan rezeki. Akan tetapi, segala karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepada Anda adalah rezeki juga. Karena Anda dapat memanfaatkannya dan mencukupi kebutuhan Anda juga. Apa yang Anda sedekahkan kepada makhluk Allah lainnya adalah rezeki; sehat dan afiat juga rezeki, pandangan jauh dan sempit juga rezeki, kemurahan hati dan kepelitan juga rezeki. Rezeki itu ialah semua yang dapat Anda manfaatkan dan nikmati secara mutlak. (hlm 42)
Sesungguhnya orang kikir itu orang yang paling dermawan. Karena mereka memiliki dunia, namun tidak memanfaatkannya. Mereka tidak keberatan memberikan sebagian yang dimilikinya. Kecuali karena ingin memberikan semua yang ditimbunnya. Segala sesuatu di alam ini punya kepentingan dan itulah rezeki karena kita dapat manfaat darinya. (hlm 43)

Ada dua macam rezeki, rezeki positif yang penghasilannya selalu lebih, dan ada pula rezeki negatif, di mana rezeki ini tidak dinafkahkan untuk hal-hal yang tidak penting sekali, sehingga habis seluruhnya. (hlm 44)
Contoh pertama, rezekinya sedikit lalu Allah memberinya berkah meskipun sedikit. Seseorang yang mempunyai penghasilan yang halal ketika anaknya sakit diberi aspirin dan segelas teh saja bisa baik dengan izin Allah. Contoh kedua, rezekinya banyak, akan tetapi Allah menjauhkannya dari berkah karena diperoleh dari berbagai jalan, tidak peduli apa namanya yang penting uang. Allah membuka berbagai pintu pengeluarannya, sehingga uangnya segera ludes dengan membuatnya panik dan ketakutan lalu anaknya dibawa kerumah sakit dan diperiksa hingga menghabiskan biaya ratusan ribu padahal penyakitnya hanya influenza. (hlm 45)

Kerja adalah rezeki waktu Anda, sedang rezeki hajat Anda, mungkin terdapat dalam kerja itu dan mungkin juga tidak.
Anda ketika memperoleh rezeki, mendapatkannya secara totalitas. Akan tetapi, Anda tidak tahu pasti berapa besar rezeki Anda, rezeki istri dan anak-anak Anda, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Namun, ketika Anda membelanjakan uang itu, rezeki itu membagi dirinya sesuai dengan ketentuan yang memberinya. Ia sampai kepada alamatnya masing-masing secara detail, seperti yang dikehendaki kodrat iradat Allah Ta’ala. (hlm 50)

Rezeki Yang Haram

Rasa takut dari kemiskinan itu bisa menipu orang, bahwa sebab musabab materialisme itulah yang mampu memberikan rezeki kepada seseorang. Ia mengelabuinya, bahwa rezeki itu sepenuhnya tergantung pada jerih payah manusia semata-mata, dan bahwa ia bisa menambah rezekinya lebih banyak lagi sesuai dengan kesempatan dan kemungkinan yang ada. (hlm 73)
Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada daya upaya dalam rezeki dan tidak ada syafaat dalam kematian.” Artinya, bagaimana daya upaya manusia untuk mendapatkan rezeki, biarpun berusaha keras menggunakan seluruh tenaga jasmani dan akalnya, tidak akan mendapatkan rezeki jauh lebih dari yang sudah ditakdirkan Allah untuknya. (hlm 74)
Terdapat perbedaan antara penghasilan dan rezeki. Adakalanya uang haram yang diperoleh karena rasa takut dari kemiskinan merupakan penghasilan, namun bukan rezeki. Artinya, anda telah mendapatkannya, namun anda tidak dapat memanfaatkannya. Harta haram yang Anda peroleh tidak Anda nikmati, sedang dosanya tetap menyertai Anda. (hlm 76)

Karunia Rububiyah dan Karunia Uluhiyah
Di dunia ini, semua manusia bisa memilih pakaian yang disenanginya sesuai dengan rezeki dan seleranya. Kita wajib menyadari keadilan Allah dalam membagi-bagikan rezeki-Nya kepada semua lapisan masyarakat, karena mereka mempunyai kesempatan untuk memperoleh puncak tertinggi rezeki-Nya yang ada ditengah-tengah masyarakatnya. (hlm 81)
Rezeki adalah soal ghaibi. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengaturnya. Meskipun sudah menjadi kewajiban bagi yang kuat untuk bergerak dan mencarinya, berusaha dan berjerih payah untuk mendapatkannya, malah berkewajiban untuk melipatgandakan upayanya itu, sehingga dapat membantu orang yang tidak mampu untuk bergerak dan berusaha. (hlm 82)
Yang mungkin bertambah itu ialah penghasilan, dan ia membutuhkan berbagai sarana dan sebab-musabab. Penghasilan bukan rezeki, karena apa yang Anda miliki belum tentu rezeki Anda.

Pada dasarnya, ketetapan rezeki itu tidak tunduk pada sebab-musabab manusia, karena ia tunduk kepada kodrat iradat Allah Ta’ala sendiri. Selama Allah memberi rezeki kepada siapa pun yang dikehendakiNya tanpa dihisab, maka kodrat iradat Allah itu mutlak adanya. (hlm 85)
Allah Ta’ala telah memberikan kehormatan pada kebijakan mereka dalam mencari dan membelanjakan rezeki itu seluruhnya dari Allah Ta’ala. Namun dia telah menjadikan sementara makhluk-Nya sebagai pengelola dan pemberi rezeki itu kepada sesamanya. Seorang ayah menafkahkan hartanya kepada anak-anak dan keluarganya, karena rezeki mereka tersalur dalam rezekinya. Orang-orang saleh menafkahkan hartanya kepada para fakir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya. (hlm 86)
Kita wajib memahami perbedaan antara mengadakan dari tidak ada dengan penyaluran barang yang ada di tangan Anda kepada orang lain. Bedanya antara pemberian Allah Ta’ala dan pemberian manusia, bahwa pemberian Allah itu diberikan dari yang tidak ada, sementara pemberian Anda diberikan dari yang sudah ada. (hlm 87)

Mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala bukan hanya menunaikan shalat, zakat, berpuasa, dan berhaji, akan tetapi ia merupakan suatu metode hidup yang saling melengkapi. Memakmurkan bumi ini, menjalin hubungan dengan semua makhluk Allah Ta’ala, terutama dengan sesama manusia. Semua peristiwa hidup kaum muslimin masuk ke dalam metode Allah tersebut, mulai dari takut kepada Allah dalam memperoleh rezeki dan bekerja, dengan mengindahkan titah perintah Allah, baik di rumah maupun dalam hubungannya dengan orang lain, dengan senantiasa menyertakan Allah dalam melakukan apa pun, meskipun hanya untuk menyingkirkan gangguan dari jalanan. (hlm 97)

Allah SWT berfirman “Kehidupan kalian di muka bumi ini terbatas, dan rezeki kalian juga terbatas, karena usia orang didalamnya pendek, sedang kesenangan yang ada hanya sedikit. Akan tetapi, rezeki kalian, umur kalian, dan kehidupan kalian di akhirat, terdapat kenikmatan yang abadi yang tidak pernah meninggalkan kaum Mukminin dan mereka tidak pernah meninggalkannya. (hlm 98)

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...