Monday 7 May 2018

Literatur: Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik

LITERATUR 6

Judul : Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik
Nama Penulis : Ikhwan Abidin Basri, MA
Tahun : 2007
Penerbit :
Keterangan :


Teori Konsumsi Menurut Imam As Syaibani (hlm 79-81)
Ajaran Islam datang untuk mengubah gaya hidup (lifestyle) yang berlebihan, flamboyant, arogan, dan pamer menjadi sebuah gaya hidup yang sederhana, bersahaja dan zuhud. Gaya hidup yang ditawarkan oleh Islam ini tidak memungkinkan pelakunya mengekspolitasi sumber-sumber daya alam secara berlebihan dan mubazir.
Imam Muhammad bin Al Hasan Assyaibani membagi kebutuhan pokok fisik menjadi empat seraya menulis “Kemudian Allah menciptakan anak cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik) mereka tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara yaitu makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal (rumah)”

Hirarki Konsumsi Menurut Imam As Syaibani (hlm 82-85)
Secara global Imam Assyaibani nelihat tiga tingkatan dalam konsumsi. Dua tingkatan yang pertama memiliki rentang wilayah bawah dan atas. Artinya, pada tingkatan tersebut dimulai dari tingkat bawah kemudian naik ke atas.
Tingkatan konsumsi yang pertama adalah Al-Mutadanni. Tahapan ini dimulai dengan tingkat konsumsi sama dengan nol. Artinya tidak melakukan konsumsi apa-apa. Gaya hidup dengan kecenderungan konsumsi nol adalah bunuh diri dan haram hukumnya dalam Islam. Di samping itu Rasulullah juga bersabda bahwa sesungguhnya diri kita memiliki hak yang harus kita penuhi yaitu dengan memberinya makan dan minum agar dapat hidup dan menjalankan kewajiban ibadah. Diawali dengan kosumsi sama dengan nol , tahapan ini meningkat ke atas mencapai level sedikit di atas di mana konsumsi dilakukan hanya sebatas mengganjal perut dengan kadar yang memungkinkan orang melakukan ibadah dan ketaatan. Menurut beliau tahapan ini hukumnya fardhu ‘ain karena dengan memenuhi hak jasmani ini, individu dapat menjalankan ibadah meskipun dalam keadaan yang lemah. Karena itu maka individu masih dituntut untuk meningkatkan nutrisinya melebihi kadar sada arramq dengan menambahkan menu yang lebih tinggi lagi sehingga tingkat kesehatan dan kekuatan jasmaninya terjaga dengan baik. Namun wilayah konsumsi yang brada di atas level sad arramq bersifat sunnah, bukan fardhu ‘ain.
Tingkatan kedua dalam kategorisasi Imam Assyaibani adalah kecukupan (kifayah). Tahapan ini dimulai dari batas teratas tingkatan pertama dan berakhir pada derajat sarof. Dalam hal ini ada satu hal yang sangat menarik yaitu Imam Assyaibani secara tegas menentukan batas bawah dengan istilah yang diambil dari Alqur’an yaitu taqtir (kikir) batas bawah dan Sarof (berlebihan) pada batas atas. Keseluruhan wilayah tingkatan kedua ini hukumnya mubah. Sekalipun demikian, beliau sendiri cenderung mengutamakan pemenuhan tuntutan konsumsi pada batas bawah dari tingkatan kifayah. Inilah gaya hidup sederhana yang dicontohkan oleh para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan pola konsumsi seperti ini dapat dilihat bahwa fungsi konsumsi dalam model Imam Assyaibani merupakan bagian kecil dari keseluruhan pendapatan. Pola konsumsi ini juga sangat berbeda dari pola konvensional baik model Keynesian maupun lainnya seperti permanent income hypnothesis yang memperlihatkan porsi besar konsumsi dalam permintaan agregat.
Tingkatan konsumsi ketiga menurut Imam Assyaibani adalah Israf (berlebih-lebihan). Tingkatan ini dimulai dari ujung atas dari tingkatan kedua. Keseluruhan wilayah ini tidak diperbolehkan bagi hamba yang beriman dan yang menyerahkan dirinya kepada Allah. Pada masa itu gaya hidup berlebih-lebihan tampak dalam pola makan dan berpakaian. Karena itulah beliau menyoroti keduanya dengan sorotaan tajam. Sorotan ini merupakan kritikan beliau terhadap perilaku sebagian masyarakat yang dinilai telah menyimpang dari pola konsumsi yang Islami.

Gaya Hidup Sederhana Menurut Imam As Syaibani (hlm 86-87)
Dalam menggambarkan fenomena Sarof (berlebih-lebihan dalam konsumsi) beliau menulis : “Karena dengan makan berlebih-lebihan itu hanyalah untuk memenuhi manfaat dirinya sendiri padahal tidak ada gunanya sama sekali makan melebihi kenyang, justru malah berbahaya. Orang yang berbuat demikian seperti orang yang membuang makanan ke tempat sampah bahkan lebih buruk dari itu. Di samping itu, orang yang makan melebihi hajatnya pada hakekatnya ia telah menahan hak orang lain di dalamnya. Sekiranya ia berikan kelebihannya itu untuk orang laindengan gratis atau dengan imbalan, niscaya orang yang lapar akan dapat mengisi perutnya. Karena itu dengan menahannya, ia telah melanggar hak orang lain.”
Dengan demikian makan dan berpakaian berlebihan tidaklah dipandang hanya pada batas pribadi saja. Ia adalah aksi pribadi yang berdampak ekonomi dan sosial. Berdampak ekonomi karena mengakibatkan sumber daya mengalami mis-alokasi sehingga sebagian masyarakat mampu menikmatinya secara berlebihan dan tak terbatas, namun sebagian lainnya tidak kebagian sama sekali. Hal ini berhubungan dengan pemerataan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil (equitable distribution of income and wealth). Pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan serta upaya minimalisasi kesenjangan kekayaan dan pendapatan tidak akan dapat dicapai. Kedua, dalam sebuah perekonomian Islam, keharmonisan hubungan antar individu harus dipertahankan dengan cara di luar mekanisme pasar yang normal, misalnya dengan mendorong ZISWAF. Faktor-faktor redistribusi inilah yang sebenarnya hilang dari sistem kapitalisme, namun sangat dianjurkan dalam Islam.

Falsafah dan Urgensi Ekonomi Islam Menurut Imam Al Ghazali
Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk menggapai keridhoan Allah dan mencapai keselamatan di akhirat. Sedangkan salah satu sarana dan media untuk mencapai tujuan tersebut adalah harta yang halal dan kegiatan ekonomi. Hakekat hubungan ini adalah hubungan antara sarana dan tujuan. (hlm 113)
Dalam pandangan Al Ghazali metode yang paling tepat untuk mencapai tujuan adalah menggunakan wasilah ini (harta dan semua kegiatan ekonomi) secukupnya saja (al-qodr al-kafi). Ini berarti bahwa dalam rangka melakukan aktivitas ekonomi untuk memakmurkan dunia manusia harus membatasi wasilahnya hanya pada batas-batas dhoruriyat saja. Penekanan ini terjadi karena dominasi sufisme dalam diri al Ghazali. (hlm 114)
Beliau hendak menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang amat erat antara ilmu (dan tentunya pendidikan secara umum) dengan masyarakat, dunia usaha, industri dan keterampilan dalam rangka mewujudkan suatu keseimbangan (equilibrium) global multidimensional. Hal ini penting untuk menegakkan kewibawaan umat dan mengendalikan arah peradaban supaya tidak melenceng ke arah materialisme seperti yang terjadi dalam falsafah kehidupan Barat modern. Ilmu-ilmu yang dikembangkan di barat dilandasi oleh falsafah materialisme anti Tuhan sehingga tidak membawa kepada keimanan, malahan mengajak kepada kekufuran dan atheisme. (hlm 116-117)

Teori Konsumsi Menurut Imam Al Ghazali (hlm 117-123)
Masalah ekonomi merupakan persoalan yang sangat penting dalam kehidupan, untuk itu tidak mungkin Islam sebagai agama yang komprehensif tidak mengaturnya. Dalam masalah konsumsi, Islam mengatur mengenai apa yang boleh dikonsumsi (halal) dan apa-apa yang tidak boleh dikonsumsi (haram). Konsumsi yang halal pun bukan berarti tanpa aturan dan batasan. Di samping halal, yang kita konsumsi juga harus thayyib (baik). Selain itu, dalam konsumsi, manusia tidak boleh berlebih-lebihan, bermewah-mewahan dan pamer.

Hakekat Konsumsi Menurut Imam Al Ghazali (hlm 117-119)
Dalam pengertian mikro, konsumsi erat berkaitan dengan konsep kebutuhan (hajat), keinginan (raghbah) dan nafsu (syahwat). Beliau menyampaikan bagaimana memenuhi hajat itu tidak sekedar hanya memenuhi, tetapi dalam rangka memenuhi kebutuhan tetap berada dalam koridor ibadah sehingga tetap mendapat pahala dari Allah. “Jika manusia mengetahui hakikat penciptaan dirinya, keberadaan Tuhannya dan rahasia penciptaan dunia, maka ia akan mengetahui bahwa semua yang ada di dunia itu diciptakan untuk dirinya dalam kerangka beribadah kepada Allah. Ini (beribadah) tidak dimungkinkan kecuali dengan adanya ketahanan fisik (baqa’). Sementara itu tidak mungkin mendapatkan ketahanan fisik (badan) kecuali dengan memberi makanan, minuman, pakaian ataupun tempat tinggal kepada badan. Sebagaimana tidak mungkin kita melaksanakan haji tanpa menunggang onta dengan memberinya makan dan minum.”
Imam Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi sehingga tidak kosong dari makna dan steril. Konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah. Berbeda dengan pandangan konvensional yang materialis melihat bahwa konsumsi merupakan fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa memedulikan dimensi spiritual karena hal itu dianggapnya berada di luar wilayah otoritas ilmu ekonomi. Tidak ada yang dapat menghalangi perilaku homo economicus kecuali tebal koceknya sendiri. Tidak ada perasaan apakah konsumsi sekarang akan berpengaruh kepada masa depan dirinya sendiri (misalnya mengkonsumsi alkohol dan merokok), masa depan umat manusia (misalnya, menguras minyak bumi, menebangi hutan, proses industri yang menimbulkan polusi udara dan air) apalagi masa depan kelak di akhirat.

Kebutuhan dan Keinginan Menurut Imam Al Ghazali (hlm 119-121)
Kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Selain melihat kebuuhan sebagai sesuatu yang independen dan objektif beliau juga memandangnya sebagai sesuatu yang subjektif bahkan mungkin penjelasannya lebih luas pada kasus kedua dari yang pertama. Ini dapat dijelaskan, misalnya, dengan melihat kebutuhan makanan untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun individu harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan misalnya, (syahwah al-tho’am) adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Beliau selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.
Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas antara keinginan (roghbah dan syahwat / wants) dan kebutuhan (hajat / needs). Pemilahan dan pembedaan antara keinginan dan kebutuhan dapat menunjukkan perbedaan ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi konvensional. Ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu merisaukan adanya perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi buta dan menciptakan ketidakseimbangan ekologi yang gawat. Maka tidak heran sekarang terjadi bermacam-macam bencana alam yang mengerikan disebabkan karena doktrin keinginan sama dengan kebutuhan.

Tingkatan Konsumsi Menurut Imam Al Ghazali (hlm 121-123)
Penyusunan tingkatan konsumsi ini menjadi menarik karena Islam memberikan norma-norma dan batasan-batasan (constraints) pada individu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Norma dan batasan ini pada gilirannya akan membentuk gaya hidup (life style) dan pola perilaku konsumsi (patterns of consumption behavior) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari gaya hidup yang tidak diilhami oleh ruh ajaran Islami.
Imam Al Ghazali membagi tiga tingkatan konsumsi yaitu sadd al-Ramq dan ini disebut juga had ad-dhorurah, yang kedua had al-hajah dan yang tertinggi adalah had at-tana’um.
1. Had ad-dhorurah adalah batasan darurat yaitu tingkatan konsumsi yang paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya mampu bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Gaya hidup seperti ini dapat meruntuhkan agama karena tidak mampu melaksanakan kewajiban agama dengan baik dan akan meruntuhkan sendi-sendi keduniaan, padahal dunia adalah ladang akhirat.
2. Had al-hajah merupakan area yang keseluruhannya halal dan mubah. Perbatasan daerah ini adalah ujung yang berdekatan dengan perbatasan dhorurah dan ujung lainnya yang berdekatan dengan tana’um. Jika mendekati batas tana’um individu dianjurkan untuk waspada karena secara tidak sadar dapat terjerumus pada hal yang membuat terlena dan melalaikan tugas beribadah pada Allah. Al-Ghazali menganjurkan untuk menetap di had al-hajah dengan sedekat mungkin pada had ad-dhorurah untuk meneladani para Nabi dan Wali.
3. Had at-tana’um: individu pada tahapan ini melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebuuhannya, tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang dan bernikmat-nikmat. Gaya hidup ini tidak cocok bagi seorang mukmin yang tujuan hidupnya untuk mencapai derajat tertinggi dalam ibadah dan ketaatan. Gaya hidup seperti ini tidak seluruhnya haram, sebagiannya dihalalkan yaitu ketika individu menikmatinya dalam kerangka menghadapi nasib di akhirat, walaupun ia tetap akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Kesimpulannya, meninggalkan had at-tana’um tidak diwajibkan secara keseluruhan dan menikmatinya tidak dilarang semuanya.

Inflasi dan Strata Sosial Masyarakat Mesir menurut Allamah Al Maqrizi (hlm 166-168)
Hiperinflasi di Mesir pada tahun 806-808 H disebabkan karena perubahan penggunaan mata uang dari yang didominasi oleh dinar kemudian beralih menjadi dirham dan beralih menjadi fulus yang dapat dicetak oleh siapa pun dan mata uang tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sehingga perekonomian nyaris hancur. Faktor non ekonomi juga mempersulit kondisi ini seperti: penguasa yang korup, administrasi negara yang kacau, melemahnya komitmen penguasa untuk menegakkan syariat, peperangan antar sesame muslim dan lain-lain.
Kelompok yang terkena dampak inflasi dibagi 7 yaitu penguasa dan para pembantunya, pengusaha dan pedagang yang hidupnya mewah, golongan menengah dari pengusaha dan pedagang (kaum professional), petani di pedesaan, golongan fakir seperti mahasiswa dan prajurit, pekerja kasar dan para pelayan, golongan papa dan peminta-minta. Pelajaran dari hiperinflasi di Mesir dan pembagian yang terkena dampak inflasi terburuk dan yang tidak merasakan dampak inflasi padahal pada hakikatnya purchasing power mereka menurun karena inflasi meningkat, tetapi karena memang nominalnya banyak tidak terlalu terasa.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...