Monday 7 May 2018

Literatur: Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam

LITERATUR 7

Judul : Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam
Nama Penulis : Nurizal Ismail
Tahun : 2014
Penerbit : Smart WR
Keterangan : Yogyakarta

Pendahuluan
Berbicara mengenai kehidupan manusia kita tidak bisa lepas dari aturan-aturan yang menuntun manusia untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera. Sebaliknya saat ini aturan-aturan yang dibuat oleh manusia hanya sebatas untuk memberikan keuntungan semata bagi manusia dengan menafikan adanya aturan-aturan atau nilai-nilai agama. Doktrin ini dikenal dengan sekulerisme. Paham ini sudah lama mendarah daging oleh kebanyakan orang baik Muslim atau non-Muslim yang tujuannya memisahkan antara hubungan dunia dengan agama. Sedangkan Islam memandang aspek kehidupan tidak hanya pada materi saja melainkan juga pada aspek spiritual. Sebab dunia adalah ladang amal bagi manusia untuk mencapai kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. QS Al-Qasas: 77. (hlm 1)

Definisi Harta (mal)
Secara etimologi, harta dalam Islam dikenal dengan kata mal, yang berarti condong, kecendrungan, dan kemiringan. Kecendrungan manusia untuk mencintai harta merupakan tabiatnya seperti yang dijelaskan dalam surah al-‘Adiyat, 8: “Sesungguhnya manusia sangat cinta kepada harta”. Adapun secara terminologi beberapa ulama telah mendefinisikannya secara jelas dan lugas.
1. Menurut ulama Hanafiyyah, harta adalah sesuatu yang kecendrungan kepadanya tabiat manusia yang memungkinkan penyimpanannya untuk dipergunakan pada masa dibutuhkan.
2. Menurut ulama Malikiyyah, harta adalah sesuatu yang mengakibatkan atasnya kepemilikan, yang pemilik memisahkannya dari yang lainnya apabila mengambilnya dari tempatnya.
3. Menurut ulama Hanabilah, harta adalah sesuatu yang dibolehkan pemanfaatannya secara bebas atau di setiap keadaan apapun.
4. Menurut Jumhur ulama, harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai materi diantara manusia, yang dibolehkan pemanfaatannya secara syariah dalam keadaan lapang dan ada pilihan, bukan dalam keadaan sempit dan bahaya.
Dari beberapa definisi dapat diambil kesimpulan bahwa harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai materi yang dapat dimiliki, dimanfaatkan dan disimpan menurut ketentuan-ketentuan syariah Islam. Harta yang dimaksudkan dengan dapat dimiliki adalah bahwa harta itu harus dicari oleh manusia dengan bekerja, berdagang atau memberikan jasa kepada orang lain. Sedang yang dimaksud dengan sesuatu yang dapat dimanfaatkan adalah harta yang dapat digunakan manusia untuk kehidupannya seperti untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Adapun yang dimaksudkan dengan dapat disimpan adalah harta yang dapat digunakan untuk kebutuhan akan datang dengan cara menyimpannya baik dalam bentuk tabungan atau investasi.

Hakikat Harta dalam Islam
Dari definisi diatas menjelaskan bahwa harta mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya manusia perlu bekerja dan yang selanjutnya dimanfaatkan untuk saat ini maupun untuk masa depannya. Tahapan seperti ini sudah banyak diketahui oleh kita sebagai manusia, tetapi terkadang kita terlupa apa sebenarnya hakikat harta dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, ada beberapa poin-poin penting tentang harta yang harus benar-benar dapat dipahami maknanya secara mendalam.

1. Harta mutlak milik Allah SWT
Di dalam al-Qur’an telah banyak dijelaskan bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak seluruh kekayaan yang ada di langit maupun di bumi. Dijelaskan dalam Surah al-Maidah, 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Selanjutnya, manusia sebagai khalifah Allah SWT diberikan hak untuk memanfaatkannya dengan penuh amanah. Menurut Rodney Wilson, basis kepemilikan harta dalam Islam adalah kepemilikan dengan amanah (ownership by trusteeship), dengan Allah SWT sebagai pemilik mutlak kekayaan dan Manusia sebagai wakil-Nya di bumi ini. Karena harta sebagai amanah, maka manusia sebagai pemegang amanah tersebut akan mempertanggungjawabkan di akhirat nanti. Dalam sebuah riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.”
2. Harta sebagai nikmat Allah SWT
Harta yang diberikan sebagai amanah adalah sebuah nikmat yang patut disyukuri oleh manusia. Para ulama dahulu telah banyak berbicara tentang nikmat. Nikmat menurut Imam Ghazali terbagi menjadi 2, yaitu nikmat yang mutlak dalam segala keadaan dan nikmat yang muqayyad dalam segala keadaan. Kategori pertama seperti kebahagiaan akhirat dan keimanan. Sedangkan yang kedua kebanyakan berhubungan dengan kebahagiaan harta benda. Ibnu Qayim al-Jauziyah membaginya menjadi 3 macam, yaitu: 1) nikmat yang sedang di tangan; 2) nikmat yang diharapkan datangnya; dan 3) nikmat yang tidak disadari. Nikmat yang pertama adalah nikmat yang sedang dinikmati semasa hidup seperti harta, kesehatan, kedudukan, dan sebagainya. Bentuk yang kedua seperti kenaikan pangkat dan gaji, sukses dalam ilmu, perdagangan dan usaha. Yang terakhir adalah nikmat tubuh yang diberikan kepada kita yang sampai pada saat ini masih dapat digerakkan.
Nikmat adalah sesuatu yang halal dan baik yang diberikan oleh Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah al-Baqarah, 168: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.” Namun ketika nikmat harta yang dianugrahkanNya tidak disyukuri oleh hambanya bahkan malah mengingkarinya, maka azab Allah sangat pedih, sebagaimana di dalam firmanNya dalam Surah Ibrahim, 14: “dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku".
3. Harta sebagai pilar utama dakwah
Harta atau kekayaan yang dimiliki oleh manusia diharapkan dapat digunakan untuk jalan dakwah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sahabat-sahabat, dan tabi’in. Di masa Rasulullah SAW, sahabatnya Abu Bakar as-Siddiq rela mengorbankan hampir semua kekayaannya untuk mempertahankan Islam dan orang-orang miskin yang pada masa itu Islam masih mendapat ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan kedatangan Islam.
4. Harta sebagai ladang amal di akhirat nanti
Dalam Islam, manusia tidak hanya hidup di dunia saja, melainkan akan menghadapi kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Namun, hal tersebut banyak dilupakan oleh sebagian manusia. Padahal kita telah diperintahkan untuk mencapai pahala akhirat dari apa yang telah dianugerahkan Allah sebagaimana firmanNya dalam Surah al-Qashash, 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dari ayat ini sangat jelas bahwa segala kekayaan yang telah dianugerahkan kepada kita adalah ladang untuk mendapatkan pahala di akhirat nanti. Kekayaan atau harta yang kita dapat dan kemudian kita gunakan adalah untuk mencapai falah (kesuksesan dunia dan akhirat). Kompensasi pahala tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara yakni: shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak yang shaleh yang mendoakan kedua orangtuanya (HR Muslim no 1631 dari Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu). Ketiga perkara ini memerlukan harta untuk mendukungnya. Untuk memberikan shadaqah jariyah maka diperlukan kekayaan dengan cara bekerja. Begitu juga dengan ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang masuk dalam kategori pengeluaran pendidikan yang berasal dari kekayaan yang diterima oleh kita. Sungguh indah Islam menjelaskan hakikat harta yang digunakan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya dunia maupun akhirat. Jika semua mengerti secara mendalam arti dari harta tersebut niscaya keadilan di dunia dapat tercapai karena salah satu sumber permasalahan di dunia ini adalah ketimpangan kepemilikan harta yang beredar di antara manusia.

Perintah untuk Membelanjakan Harta

Di samping Allah SWT menganjurkan manusia untuk bekerja, Allah SWT juga memerintahkannya untuk membelanjakan kekayaan yang dimilikinya pada jalan Allah yang memberikan manfaat kepada dirinya, keluarganya dan orang lain. Islam menjelaskan secara terperinci langkah-langkah dalam membelanjakan harta. Langkah pertama dalam pembelanjaan kekayaan dengan tidak berbuat boros (mubazir) sebagaimana yang terdapat pada Surah al-Furqan, 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” Bahkan orang-orang yang berlaku boros diumpamakan sebagai saudaranya syaitan sebagaimana ditegaskan pada Surah al-Isra, 26-27: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Langkah kedua adalah membelanjakan hartanya untuk membantu orang-orang yang memang memerlukannya seperti orang-orang fakir dan miskin dengan memberikan sedekah, infak, zakat dan wakaf. Pada harta yang kaya itu ada hak bagi orang-orang yang miskin. Hal ini disebut dalam Surah al-Maarij, 24-25: “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),”. Kemudian dianjurkan pemberian tersebut dilakukan kepada kerabat-kerabat terdekat dahulu yang lebih memerlukan dan selanjutnya kepada yang lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam Surah al-Isra, 26: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
Langkah ketiga adalah melakukan persiapan-persiapan untuk masa depan karena manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang diperolehnya esok, namun demikian mereka diwajibkan berusaha, Allah SWT dalam Surah Lukman, 34 berfirman: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Melakukan penyimpanan (saving) harta adalah salah bentuk usaha pembelanjaan atau konsumsi yang akan digunakan pada masa akan datang. Nabi Yusuf as telah memerintahkan raja untuk melakukan penyimpanan (saving) untuk menghadapi masa paceklik yang sangat sulit berdasarkan mimpi sang raja mengenai 7 ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh 7 ekor sapi betina yang kurus dan 7 tangkai gandum yang hijau dan kering. Kisah ini berdasarkan pada Surah Yusuf, 47-48: “Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.”

Prinsip-prinsip Dasar Konsumsi

Konsumsi yang sehat dan layak tidak hanya akan menjamin kelangsungan pembangunan yang akan menguntungkan generasi yang akan datang, tetapi juga mencegah kecendrungan inflasi. Islam telah mengatur aturan-aturan yang jelas mengenai konsumsi ini, yang optimal dan menghindari kerugian (mafsadah) bagi dirinya maupun orang lain. Dalam mencapai tujuan-tujuan konsumsi tersebut, perlunya pengetahuan akan prinsip-prinsip dasar konsumsi dalam Islam, yaitu (hlm 83):
1. Prinsip Halal
Seorang Muslim dianjurkan untuk makan hanya makanan yang halal (halal dan diijinkan) dan tidak mengambil apa yang haram (melanggar hukum dan dilarang). Al-Quran mengatakan: “Makanlah dari apa yang Allah telah berikan pada Anda sebagai makanan halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah di dalam Dia kamu percaya..” (Al-Maidah: 88). Pada ayat lain disebutkan tentang larangan barang haram, sebagaimana firman Allah: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya…” (Al-Maidah: 3). Prinsip halal dan haram juga berlaku untuk jenis-jenis pengeluaran selain makanan. Para pengikut Islam diharuskan untuk menghabiskan pendapatannya kepada sesuatu yang halal dan menjauhi sesuatu yang haram seperti anggur, narkotika, pelacur, perjudian, kemewahan, dll. Selain dari zatnya yang halal, maka prosesnya pun harus dilakukan dengan cara yang halal.
2. Prinsip kebersihan dan kebajikan (hlm 84)
Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat memerintahkan kepada manusia untuk melihat kepada kebersihan dan kebajikan dalam konsumsi. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepadaNya.” (Al-Baqarah: 172). Ayat ini menjelaskan dengan melakukan konsumsi dengan cara-cara yang baik merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT yang direalisasikan dalam syariat Islam. Sedang kata thayyibah menurut Yusuf Ali berarti hal yang baik (good thing), hal yang baik dan murni (good and pure thing) dan hal yang bersih dan murni (clean and pure thing). Karena Islam jelas memandang bahwa konsumsi terhadap sesuatu harus melihat aspek-aspek kebersihan, kebaikan dan kebajikan, sehingga dapat tercapai maslahatnya.
3. Prinsip moderat
Prinsip moderat berarti seseorang harus mengambil makanan dan minuman dengan menghindari kelebihan atau kekurangan dalam konsumsi. Dalam Surah al-a’raf, 31 berbunyi: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Prinsip moderat ini berlaku tidak hanya pengeluaran konsumsi barang dan jasa, melainkan pengeluaran untuk charity, dan hubungan antara pengeluaran dan tabungan. Prinsip moderat ini sangat berhubungan dengan permasalahan ekonomi yaitu kelangkaan (scarcity) yang dihadapi oleh manusia. Karena itu tujuan dari prinsip moderasi adalah untuk menghindari terjadinya kelangkaan barang yang beredar di masyarakat. Penerapannya dapat direalisasikan dengan penghematan dalam konsumsi, yang bertujuan keseimbangan ekonomi. Menunaikan nafkah untuk diri sendiri dan keluarga, sosial dan kebutuhan masa akan datang. (hlm 85)

Skala Prioritas Konsumsi dalam Tinjauan Maqashid Syariah
Dalam berkonsumsi seorang Muslim harus mempertimbangkan aspek-aspek yang membawa manfaat (maslahat) dan bukan kerugian (mafsadah). Hal ini berhubungan dengan kajian maqashid syariah yang terdiri dari dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dalam konsumsi, ketiga elemen ini merupakan skala prioritas yang harus dilakukan oleh manusia dalam konsumsi Dharuriyat merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia, yaitu kebutuhan akan pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Contoh-contoh kebutuhan dharuriyat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan dalam menjaga agama seperti memperdalam ilmu keagamaan, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
2. Kebutuhan dalam menjaga jiwa seperti sandang, pangan, papan, eksistensi diri dan kesehatan.
3. Kebutuhan dalam menjaga keturunan seperti pengeluaran perkawinan dan keluarga.
4. Kebutuhan dalam menjaga akal seperti pengeluaran pendidikan.
5. Kebutuhan dalam menjaga harta seperti pengeluaran tabungan, investasi dan asuransi.
Sedang dalam hajiyat memberikan kemudahan-kemudahan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Fungsi hajiyat adalah untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyat) manusia. Contohnya, pengeluaran zakat, infak dan sedekah merupakan kebutuhan yang dapat merealisasikan aspek ritual (hifzh ad-din). Ketiga, tahsiniyat atau kamaliyat adalah segala sesuatu yang tujuan tidak untuk merealisasikan maqashid al-khamsah dan tahsiniyat melainkan untuk menjaga kehormatan dari maqashid al-khamsah itu sendiri. Pada tingkatan ini lebih difokuskan kepada etika manusia dalam berkonsumsi dengan landasan nilai-nilai Islam.
Beberapa ulama Islam dahulu telah memberikan penjelasan mengenai skala prioritas dalam konsumsi. Omar (2009) dalam tulisannya yang berjudul “Infaq Model based on Al-Shaybani’s Levels of al-Kasb”. Level pengeluaran berkesesuaian dengan konsep al-kasb nya Syaibani, yaitu: 1) Fard al-‘ayn, 2) Mandub, dan 3) Mubah. Pada tingkatan pertama, pengeluarannya mencakup kebutuhan dasar (untuk diri sendiri, anggota keluarganya dan orang tuanya), penyelesaian hutang dan tabungan. Tingkatan kedua dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari kerabat dekat, tetangganya dalam bentuk bantuan. Adapun yang terakhir adalah pengeluaran di luar kerabat dekat yang diwujudkan dalam zakat, infaq, sedekah dan kebajikan-kebajikan yang lainnya. Dari pemikirannya dihasilkan model infaq secara umum yaitu: IQ = f ( Ifa + Imd + Imb). Maka Ifa adalah Fard al-‘ayn (kewajiban) Infaq, Imd adalah mandub (rekomendasi) infaq dan Imb adalah mubah (dibolehkan).
Ismail (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Ibn Sina’s Economic Ideas” juga menyinggung tentang model infaq (pengeluaran) yang berasal dari pemikiran Ibnu Sina. Menurut Ibnu pengeluaran dibagi menjadi tiga. Pertama, infaq (pengeluaran) untuk manusia ittu sendiri dan keluarganya dengan tidak melakukan kekikiran, kelalaian dan pemborosan. Pengeluaran ini disebut dengan infaq ijtima’I atau ‘am.
Kedua infaq (pengeluaran) untuk pintu-pintu kebajikan (al-ma’ruf abwab), shodaqoh, dan zakat. Pengeluarannya disebut dengan infaq dini atau khas. Ketiga, al-iddikhar (tabungan) untuk kejadian-kejadian dimasa akan datang. Dari pemikirannya dihasilkan model infaq teori secara umum yaitu: IQ = f ( Ii + Id + Iid). Maka Ii adalah infaq ijtima’I, Id adalah infaq dini dan Iid adalah al-iddikhar.
Dapat disimpulkan bahwa infaq mewujudkan individu, sosial, material, dimensi spiritual, moral dan hukum dalam pengambilan keputusan dan perilaku pengeluaran individu. Tingkatan pemenuhan kebutuhan oleh Syaibani menjelaskan pentingnya skala prioritas yang didahului oleh suatu yang wajib, mandub, dan mubah. Begitu juga dengan pengeluaran model Ibnu Sina yang memprioritaskan pengeluaran diri sendiri dan kemudian dilanjutkan kepada pemenuhan pengeluaran karena agama dan tabungan masa depan. Keduanya mempunyai ide yang sama bahwa dalam melakukan konsumsi harus memperhatikan skala prioritas. Elemen-elemen pengeluaran ini selaras dengan elemen-elemen maqashid syariah yang lima, yang harus dipenuhi sebagai kebutuhan dasar dalam hidup. Kemudian juga hajiyat dan tahsiniyat yang menjadi pemeliharaan dan memperindah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Karena itu dalam konsumsi Islam prioritas maslahat harus menjadi perhatian oleh manusia Muslim, sehingga tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah) dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

Kesimpulan
Konsumsi merupakan pengeluaran yang didapat dari pendapatan yang diterima oleh seseorang. Pendapatan dapat diterima melalui banyak jalur seperti dengan pekerjaan, perdagangan atau warisan. Islam telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim dalam memperoleh hartanya dan bagaimana mengeluarkannya. Hasil yang diterima dan dirasakan dari konsumsi adalah manfaat atau kegunaan dari barang dan jasa, yang dalam Islam dikenal dengan konsep maslahat (manfaat). Konsep ini berhubungan dengan konsep dasar maqashid syariah yang telah diasaskan oleh para ulama terdahulu. Beberapa pemikiran tentang yang dihasilkan oleh Syaibani dan Ibnu Sina juga menjelaskan tentang skala prioritas dalam konsumsi yang berkesesuaian dengan maqashid syariah.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...