Monday 7 May 2018

In-depth Interview: Murniati Mukhlisin

KEY INFORMANT 2

Nama : Murniati Mukhlisin
Gelar (akademis & sertifikasi) : PhD
Profesi : Dosen

Perkembangan Konsumerisme

Memang dari sisi kondisi makro, baik itu dari lingkungan Indonesia secara nasional maupun hubungan dengan luar negri, mulai dari perdagangan maupun kerjasama internasional dan juga dari informasi-informasi yang didapatkan banyak pengaruhnya untuk menjadikan naik turunnya konsumerisme di kalangan masyarakat Indonesia. Yang pertama adalah kerjasama internasional, itu banyak pihak-pihak yang memberikan kerjasama kepada Indonesia itu menyarankan untuk win-win solution, artinya kalau Indonesia meminjam sesuatu dari pihak internasional, negara-negara lain pasti menginginkan sesuatu. Misalnya, kerjasama hutang, hutang dengan Jepang itu sampai sekarang belum habis-habisnya dan itu sudah merupakan suatu perjanjian, itu baru satu negara Jepang, belum lagi kita sebutkan G2G dengan Australia, belum lagi hutang kita dengan worldbank, belum lagi hutang kita dengan yang dulunya IMF, sekarang ini sudah tidak ada lagi, mungkin ada hutang lagi dengan negara-negara lain, itu dari segi makro. Nah syarat-syarat hutang biasanya menjadikan, seperti Jepang contohnya ya, harus ditaati oleh pihak Indonesia yang memerlukan bantuan hutang, contohnya pasokan kendaraan, itu harus ditaati, jadi tidak boleh kita menghentikan, misalnya karena kemacetan di Indonesia, kita tidak mau Indonesia itu mengimpor lagi barang-barang teknologi alat transportasi seperti mobil, karena sudah ada perjanjian dalam hutang, bahwa Indonesia harus patuh untuk membeli barang-barang produksi dari Jepang. Nah itu sebetulnya wajar saja karena sebagai seorang yang berhutang itu pasti tergantung kepada pihak lain. Nah dengan adanya kebijakan hutang tadi maka keleluasaan pihak Jepang untuk memasok barang-barang ke Indonesia menjadi lebih tinggi. Nah tentunya iklan juga harus lebih tinggi, masyarakat dipaksa untuk meningkatkan konsumerismenya, bank dipaksa untuk memberikan kredit-kredit lunak untuk para masyarakat supaya dapat menjembatani antara supply ke demand untuk bertemu. Nah disitulah konsumerisme yang kita lihat sekarang, fenomena di keluarga-keluarga yang hanya sebenarnya butuh satu mobil, bisa meningkat menjadi dua, tiga, empat. Nah, bagi orang yang mampu mungkin tidak masalah, walaupun punya dampak negatifnya kepada dampak sosial, seperti kemacetan lalu lintas, kalau kita bayangkan kalau satu keluarga bisa untuk pergi kepasar mobil lain, untuk pergi ke sekolah mobil lain, untuk pergi ke kantor mobil lain. Kita bayangkan kalau itu semuanya keluarga-keluarga itu ditiru oleh semua lapisan masyarakat kita bisa kelabakan. Nah bagaimana dengan keluarga-keluarga yang menengah kebawah, mereka juga terpaksa mengikuti arus konsumerisme yang begitu dahsyat di Indonesia saat ini, itu baru salah satu contohnya mobil, belum lagi handphone. Nah hutang kita dengan Amerika, walaupun kita tidak punya hutang secara langsung dengan negara tersebut tetapi hutang kepada donor-donor dari worldbank misalnya ya, worldbank kan tidak punya uang kecuali kalau negara-negara anggota memberikan kepada worldbank, bank dunia, kemudian memberikan kepada negara-negara yang membutuhkan, namanya worldbank, it’s like a bank, jadi dia mengambil dana dari donor memberikan uangnya kepada negara-negara hutang. Nah, syarat-syarat dari negara-negara donor ini harus dipatuhi oleh negara-negara lain juga, makanya ketergantungan kita kepada Amerika sangat kuat. Nah makanya seperti handphone, barang-barang elektronik yang lain, seperti alat-alat pestisida, barang-barang kebutuhan rumah tangga, kebutuhan dasar, jagung, bibit-bibit unggul itu didatangi dari luar negri supaya kita terus-terusan tergantung kepada negara mereka. Nah inilah yang menyebabkan konsumerisme di kalangan masyarakat menengah kebawah menjadi ikut-ikutan, sehingga kita lihat bagaimana ketika konsumerisme itu tinggi akhirnya dengan ketidakpandaian mengurus keuangan keluarga maka konsumerisme itu didahulukan oleh para keluarga-keluarga ini sehingga mereka terpaksa untuk, atau memaksakan diri untuk menggunakan kartu kredit, untuk tidak mematuhi peraturan keuangan keluarga, yang mendahulukan atau harus memberikan prioritas kepada yang dharuriyah, kalau di Islam ya, kemudian baru kebutuhan-kebutuhan yang lain. Karena gejolak konsumerisme begitu tinggi di Indonesia, dengan iklan, dibantu dengan iklan, kebijakan dan sebagainya, menjadi lengkap sudah berkembangnya hobi untuk berhutang, kriminal tinggi, karena memaksakan bagi yang tidak mampu berhutang sampai dikejar-kejar, atau bagi yang tidak mampu sama sekali, tidak mampu berhutang, terpaksa mencuri. Karena tadi, gaya konsumerisme, gaya materialism, hegemoni barat, kemudian gaya kehidupan yang mewah itu merasuk pikiran masyarakat.

Penyebab dan Dampak Psikologis Konsumerisme

Consumerism itu adalah gaya hidup, akhirnya menyulut gaya hidup, nah inilah, gaya hidup inilah yang diperangi oleh para konsultan keuangan keluarga, untuk supaya tidak, tetap stabil. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi contoh yang luar biasa dengan gaya hidup dari masa beliau yang penuh kaya raya sampai beliau miskin tetap sama, beliau tidak akan menunjukkan gaya hidup yang berlebih-lebihan, walaupun kepada anak kandungnya sendiri Fatimah yang begitu disayang oleh beliau, dan merupakan salah satu wanita dari empat wanita yang beliau sebutkan adalah wanita mulia dalam kehidupan. Nah, gaya hidup ini, diajarkan oleh Rasulullah kepada Fatimah, yang sebenarnya bisa saja beliau memberikan harta-harta rampasan perang, harta yang bisa diberikan kepadanya, tetapi tidak dilakukan oleh beliau. Nah ini yang menjadi panutan kita, apapun pendapatan yang kita punyai sebenarnya gaya hidup tidak bisa berubah, jangan sampai berubah. Jadi begini ketika kita berpendapatan 2 juta, walaupun consumerism kita dimana-mana godaannya luar biasa, orang ganti handphone menjadi iphone 7, kemudian pakai apple watch, kemudian pakaian macam-macam, tetapi gaya hidupnya tetap dengan gaya hidup 2 juta. Walaupun konsumerisme itu makin mengganggu kita, datang lagi kepada kita ketika gaji kita jadi 30 juta, itu tetap tidak berubah, tetap kita pergi ke, baju yang biasa-biasa aja, ga ke butik, kalau kita lihat kan butik bajunya bisa 1 juta 2 juta 3 juta, walaupun kita mampu dengan gaji 30 juta, tetapi karena tadi konsumerisme itu bisa kita tangkal dari segi gaya hidup tetap tidak kita berubah. Nah memang bagi orang-orang yang tidak merasakan kepuasan dari segi agama, keimanan dan takwanya agak tidak stabil, dan dia tidak banyak mengkaji bagaimana nikmatnya sebagai seorang yang hidup dengan sederhana, karena Rasulullah mengajarkan kepada Fatimah dan Ali adalah suatu nasehat, ketika Fatimah meminta Ali untuk meminta pembantu untuk didalam keluarganya, karena Ali membantu Fatimah untuk menggiling gandum dan sebagainya dan mungkin dengan sibuknya mengurus anak dan banyak hal kenapa engkau tidak minta khadimat, minta seorang budak, Fatimah mengatakan kepada ayahnya, tetapi Rasulullah tetap tidak memberikan, kemudian Rasulullah memberikan suatu nasehat yang begitu luar biasa. Kalau sekarang kan bukan nasehat yang diberikan kepada anak kita yang terus-terusan meminta supaya kebutuhan kepada konsumerismenya itu bisa dipenuhi, apakah uang atau kartu kredit yang kita berikan kepada anak-anak maka orangtuanya makin giat lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak-anak. Nah inilah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, apa yang Rasulullah katakan, ya Fatimah ya Ali aku berikan nasehat kepadamu yaitu dzikir takbir tahmid tasbih 10 kali setelah sholat dan 30 kali sebelum tidur. Nah ini yang Rasulullah berikan kepada Fatimah dan Ali yang mereka berdua tertegun. Dan ketika ayahnya meninggal, Fatimah tetap meminta harta warisan kepada Abu Bakar, apa yang Abu Bakar katakan, beliau sudah berpesan kepadaku bahwa tidak ada harta warisan yang diberikan kepada anaknya walaupun Rasulullah pada waktu itu meninggalkan warisan sebesar satu hak dinar, yaitu ternak keledai dan unta putih dan satu bidang tanah di Khaibar, satu bidang tanah besar. Kata Fatimah aku ini sebagai ahli waris satu-satunya, tetapi ayahnya tidak memberikan ahli waris kepada siapapun dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan, Fatimah ngambek pada waktu itu. Nah consumerism sudah ada sejak saat itu, artinya seorang Fatimah itu luar biasa akhlak terpujinya karena dibimbing oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri, tidak berhenti-berhentinya menggoda seorang Fatimah, apalagi kita. Nah jadi, mengapa Fatimah mau sebidang tanah itu, pasti ada keinginan, sesuatu rasa, untuk memiliki, mengkonsumsi, misalnya dijadikan berkebun, menjadikan sesuatu yang dimiliki oleh dia, dan anak-anaknya, pada waktu itu kan tanah-tanah kosong digunakan untuk makan kuda, jadi padang rumput kemudian kasi makan kuda, dan sebagainya, artinya untuk memenuhi kebutuhannya sebagai ibu rumah tangga pada saat itu, kan tidak dikabulkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kan itu menunjukkan bahwa, pertama, memang pesannya lain ya, karena nabi tidak menurunkan warisan kepada anak-anaknya, tetapi pesan itu bukan hanya itu, Rasulullah tidak ingin memberikan sesuatu yang berlebih-lebihan kepada anak-anaknya, apalagi Ali sudah bertanggungjawab kepada istrinya, dia sebenarnya seorang yang miskin betul walaupun pada saat yang bersamaan Rasulullah juga memberikan nasehat kepada seorang sahabat, Abdullah bin Ash yang mengenai warisan, artinya sebaik-baiknya adalah yang memberikan warisan yang baik kepada keturunan. Artinya harus balance gitu, kita tidak tahu apa alasannya, memang seorang Rasul tidak bisa disamakan dengan manusia biasa jadi dalam beberapa hal ya, nah jadi mengajarkan Fatimah demikian untuk tidak begitu malas tidak begitu manja dengan minta khadimat, itu kan menahan consumerism. Dan ternyata kalau kita amalkan ajaran Rasulullah tadi dzikir, dengan banyak-banyak berdzikir kepada Allah, ternyata memberikan kepuasan kepada kita, bukan materi, bukan mobil 4, kan tidak akan ada habis-habisnya manusia memenuhi kebutuhan konsumerismenya dengan materi di dunia, yang diajarkan oleh Rasulullah, apa yang dikatakan oleh Allah “tazkurunii, azkurkum”, ingatlah aku maka aku akan mengingatmu. Dengan berdzikir, bertasbih, bertahmid, bertakbir, Allah akan memenuhi kebutuhan kita, yang kita inginkan itu terpuaskan oleh Allah, kenapa sebenarnya kenapa, nafsu kan yang kita puaskan itu, secara dampak psikologis itu kan nafsu, dengan materi kita tidak akan senang dengan komputer ini, besok kita pengen komputer yang bagus lagi, terus-terusan hidup kita. Tapi dengan mengingat Allah, tasbih, takbir, tahmid, kita merasa sudahlah cukup ini juga lebih dari cukup.
Didalam konsep pengelolaan keuangan keluarga tidak boleh berubah, yang saya rasakan sebagai konsultan perencana keuangan, dan juga pemakai, itu pernah merasakan, gimana gaji 3 juta 5 juta, pernah mendapatkan gaji 50 juta, tetapi tetap saja belanja ke pasar Pemda, ketika masuk ke butik yang di Bandung, Safira, ingat gaji suami sudah sampai 50 juta, masuk ke butik itu ada harga bajunya 1 juta, coba kita lihat bajunya, pas lihat harga 1 juta mundur padahal dengan gaji 50 juta sanggup. Dan pada waktu itu saya tidak habis makan 50 juta, hanya menghabiskan seperti semula ketika bergaji 5 juta, 10 juta, dan banyak perubahannya di investasi lebih banyak, makanan pun sama tidak berubah, hanya dengan inflasi tiap tahun. Tapi sisa uang itu memang kita keluarkan, tidak nganggur aja, tapi kita investasikan dalam bentuk rumah, makanya bisa punya rumah 3, dan mobil pada waktu itu hanya ada Avanza yang masih belum selesai kreditannya itu pakai murabahah dari BTN. Tetap tidak tiba-tiba keluar dengan mobil BMWnya misalnya, walaupun misalnya bisa dengan menyicil dari dana itu, itu tidak tergoda. Nah ini harus sepakat suami istri dan seluruh anggota keluarga. Jadi anak-anak kita juga tidak kita biasakan, pernah mereka minta mainan di Toys r us ketika pergi ke Kuala Lumpur, minta sebenarnya yang ada pendidikannya di Toys r us sekali gitu, sekali. Bukannya kemudian dengan gaji segitu kita merasa bisa tiap bulan beli, tidak. Sepatu tetap kita pergi ke Donatello, ga kemudian berubah menjadi ke Sogo di Jakarta. Nah, kartu kredit samasekali anti, hanya satu kartu kredit yang dipake itu untuk kebutuhan Tazkia, yang bayar Tazkia cuma saya yang megang sebagai orang yang bertanggungjawab, tidak pernah untuk urusan pribadi. Pernah punya kartu kredit syariah, untuk kebutuhan pergi keluar kota karena diperlukan oleh kantor. Artinya tidak ada desakan untuk consumerism itu karena apa, sudah kami tata di awalnya, karena tidak akan habis habis nafsu kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi, jangan sampai mubazir, jadi kita praktekkan dari awal pernikahan. Jadi seperti inilah yang dipromosikan ke keluarga-keluarga baru, keluarga-keluarga yang sudah dekat sama kita, keluarga-keluarga yang ada di luar negri, supaya ternyata bisa hidup, ternyata nikmat hidup itu, ternyata tidak merasa rugi kalau kita itu lebih banyak berhemat. Buktinya ketika mendapatkan keluar negri, ke UK, bisa mendapatkan dana untuk membawa keluarga sekalian, karena beasiswa yang ada kan tidak mendukung keluarga, jadi perlu dana untuk keluarga. Ada dana yang kemarin kita taro ke bentuk mata uang asing akhirnya bisa keliling Eropa karena sudah diinvestasikan. Yang tadinya berlebih-lebihan, bagusnya, ketika sudah merasakan gaji yang tadi 2 juta jadi 10 jadi 50 sekarang turun lagi karena sekarang lagi kuliah dan ga bekerja lagi, dapat gaji seadanya dari Tazkia tapi suami tidak bergaji lagi, coba bayangkan, tidak ada gejolak padahal hampir turun ke titik nadirnya, banyak bergantung dari beasiswa yang diberikan oleh kementrian agama yang sebenarnya hanya cukup untuk diri sendiri saja, bagaimana dengan keluarga itu kan harus dengan perencanaan yang baik sekali, jadi tidak ada gejolak disitu. Orang yang biasanya mengikuti gaya hidupnya, gaya hidup konsumerismenya yang kemudian sesuai dengan pendapatan dia, akan terasa ketika dia turun, dan tidak ada jaminan dari Allah bahwa kita hidup akan diatas terus, banyak sekali cerita orang ketika harus ke titik nadirnya, ulang lagi, bangkit lagi, mungkin ada contoh satu dua orang yang mungkin ketika hidupnya happy happy saja, tetapi tidak bisa kita jadikan ukuran. Ini tidak ada gejolak samasekali dalam keluarga, kita tetap happy, kenapa, karena baju, misalnya tetap pakai baju yang di pinggiran, kalau misalnya sempat ke pasar Cibinong tetap ke pasar Cibinong sekarang belanja disitu. Beli baju pun dari mahasiswa dan alumni Tazkia yang dagang. Jadi hidup kami biasa seperti itu, dan anak-anak pun kita latih seperti itu. Nah sekarang bagaimana cara melatih anak-anak, ini kan bicara personal finance, personal finance kan ada dua berarti ya bisa personal finance untuk diri sendiri sebagai seorang yang hidup dalam satu entities, satu unit, jadi satu orang tidak menikah dan tidak ada keluarga, satu lagi personal finance untuk family kan, nah itu harus kerjasama seluruh anggota keluarga.

Menyikapi Kebutuhan yang Meningkat Seiring Perkembangan Tahap Hidup Keluarga

Nah inilah yang menjadikan suatu perencanaan yang baik. Jadi ketika, terpaksa harus memberikan contoh ya, karena fenomena-fenomena pengantin baru, misalnya, sebenarnya kan aqil baligh, mumayyiz, kan tingkatan-tingkatan manusia itu dari lahir, bayi, kanak-kanak, remaja, kemudian aqil baligh kan, tapi belum tentu dia bisa mandiri, yang disebut mandiri adalah mumayyiz, mumayyiz inilah yang menjadikan dia misalnya sekitar 18 tahun, sebenarnya harus keluar, bangsa Yahudi, Nashara, itu sudah melakukannya, atau orang-orang atheis yang sekarang di dunia barat, biasanya tidak 18 tahun, tapi 20 tahun sudah hidup sendiri tidak lagi bergantung pada orangtuanya karena memang konsep keluarga tidak ada disana. Tapi kita disini sampai S2 pun kadang-kadang harus dibantu oleh keluarga. Nah artinya ada sesuatu yang tidak kita pelajari dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Rasulullah hidup mandiri, prihatin, bisa-bisa saja Allah menjadikan Rasulullah seorang yang dari keluarga yang mampu, keluarga yang kaya, tetapi tidak dijadikan oleh Allah seperti itu, melainkan seorang Rasulullah yang yatim dan piatu, yatim ketika masih dalam kandungan, yatim piatu kemudian ketika masih kanak-kanak, diasuh oleh kakeknya, diasuh oleh pamannya. Pamannya pun punya anak banyak, Ali bin Abi Thalib banyak saudaranya, artinya dia dihadapkan pada suatu kehidupan yang prihatin, di usia 7 tahun dia berebut-rebut makanan, kehidupan yang begitu prihatin, tapi apa yang kita ajarkan kepada anak-anak kita sekarang, kita bawa ke mall, kita ajarkan kehidupan yang lebih baik karena merasa kita dulu kehidupannya tidak baik, padahal itu suatu pertanda yang tidak baik, artinya kita ajak ke mall tetapi dibelikan buku, jangan dibelikan mainan, jangan dibelikan kemewahan, ketika ke mall sebulan sekali, jangan tiap-tiap minggu, ke mall ketika ada sesuatu yang bermanfaat, bukan untuk gaya hidup, nah itu suatu kesalahan fatal di keluarga-keluarga di Indonesia. Nah kemudian apalagi yang dilakukan oleh Rasulullah, pada usia 12 tahun Rasulullah sudah mulai mengikuti pamannya berdagang dan memantau perdagangan pamannya sampai kemudian terlibat secara langsung membawa dagangan, sehingga pada usia yang sangat muda, di usia 20an beliau sudah menjadi mudharib kepada Siti Khadijah, kemudian pada usia 25 tahun kemudian menikah sudah merupakan suatu pengusaha yang sukses, bayangkan di usia yang sangat muda Rasulullah sudah menjadi orang yang sangat independen. Apa yang kita ajarkan kepada anak kita yang berusia 12 tahun, kita biarkan mereka berleha-leha dirumah, kita berikan mereka course sebanyak-banyaknya, tapi kita tidak ajarkan kemandirian, tidak ada, atau sangat sedikit sekali keluarga muslim yang mengajarkan mereka berbisnis. Jadi sekarang mulai coba anak-anak dari 7 tahun diberi perdagangan satu-satu, 3 orang itu diberikan perdagangan masing-masing, bisnis masing-masing, mereka kita terjunkan, kita bombing, capek memang, tetapi itulah usaha kita untuk menjadikan mereka mandiri. Dan ternyata luar biasa, setelah 5 tahun misalnya, atau ada yang sudah 8 tahun sekarang diceburkan ke dalam bisnis. Pertama mereka merasa malas, saya rasa Rasulullah pun merasa capek kalaulah dia seorang manusia biasa, tapi memang Rasulullah diciptakan seorang manusia yang tidak pernah mengeluh, selalu baik kepada orang, tapi kan kita manusia-manusia biasa, anak-anak kita juga mengeluh, bisnisnya kan mami yang mau, tetapi lama kelamaan mereka merasa enjoy, karena apa, ada sedang bagi hasil, ada membayar zakat, ada sebagian menyalurkan infaq kepada anak-anak yatim yang tidak senasib seperti mereka, itu luar biasa. Selama 8 tahun Layina, Rayyan 6 tahun, kemudian 5 tahun, itu berdampak bagi mereka, dan sekarang apa yang mereka bicarakan sesama mereka, saya curi dengar, if I have my own company, I will become the designer, I would like to design new office, I would like to design exterior design, I would like to do the marketing. You will be in charge in finance, and you will be in charge on legal status because you like to speak. Jadi mereka sudah bicara soal itu. Coba apa yang dibicarakan anak-anak kita sekarang di usia yang sangat muda. Jarang sekali mereka bicara untuk kemandirian. Paling setelah S1 baru merasa, orangtuanya sudah susah. Padahal Rasulullah di usia 12 tahun sudah berhasil mencari makan untuk sesuap nasinya sendiri. Di sistem pendidikannya juga, kita sih ada dulu ya istilahnya PKK ya, laki perempuan masak ya, SD umum ya. Keterampilan hidup itu sudah diajarkan di usia-usia dini di Inggris misalnya, di tingkat SD kelas 1 dia sudah belajar bagaimana memasak makanan, bagaimana bisa membersihkan mencuci, bagaimana bisa memotong makanan dengan higienisnya, ada lab khusus, bagaimana mereka bisa menyalurkan karyanya, sebagai musisi, sebagai ahli bernyanyi, dan sebagainya, sepak bola, atau sebagai apa, sudah diajarkan pada usia SMP. Ada disiapkan bagaimana hobinya menjahit, hobinya merajut, itu disiapkan dengan bahan dengan barang yang bisa dibawa pulang. Jadi dari sisi, itu sekolah pemerintah ya, artinya pemerintah sudah mengarahkan keterampilan bagi anak-anak usia dini karena memang mereka harus mandiri ketika usia 18 tahun. Jadi kalau mereka pisah rumah, mereka sudah bisa mencuci baju, dan menggosok, diajarkan semua, menggosok, mencuci, mencuci piring, memasak makanan, jadi kalau mereka tinggal dengan pacarnya, atau partner ya istilahnya, pacar itu mereka kan bebas, siapa tau mereka bisa tinggal dengan pasangan homo, lesbian, tapi bukan itu intinya, kemandirian, mereka tidak lagi “mama, how to cook this one,” mereka sudah bisa, “mama, how to wash this?” anak-anak kita ketika masuk S1, “wah ini gimana nih gorengnya, S2 pun begitu, ketika kerja pun begitu, ketika punya istri baru istrinya kalang kabut gimana bisa masak.

Mengenai Inti Permasalahan dan Solusinya

Permasalahannya adalah perencanaan keuangan syariah ini sangat diperlukan untuk masyarakat muslim di Indonesia, atau masyarakat non muslim sekalipun, kan rahmatan lil alamin, artinya berlaku siapapun. Karena luar biasa, ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan tentunya dengan bimbingan Al-Qur’an, Rasulullah berhasil menunjukkan jalan-jalan hidup umat Islam as a way of life itu betul-betul ditunjukkan, itu bukan hanya sebagai ibadah yang khusus kepada Allah, artinya yang mahdhah, yang ada ritual, tapi juga Islam sebagai pedoman ternyata luar biasa, pedomannya bukan hanya untuk dari segi makan sampai ke jantung, itu ada pedoman untuk mengurus kita. Tetapi sayang sekali tidak banyak keluarga-keluarga muslim memanfaatkan yang sudah dimilikinya, yaitu warisan yang sudah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Al-Qur’an dan sunnahnya. Jadi marilah kita sama-sama sebagai akademisi, memberikan kontribusi kepada masyarakat Indonesia dan terus-terusan mempromosikan dengan tulisan, dengan program-program tausyiah atau training, workshop dan sebagainya, supaya banyak lagi keluarga-keluarga Indonesia terdidik. Begitu juga dengan konsultan-konsultan keuangan, membimbing keluarga Indonesia, bukan hanya dari sisi investasinya saja, seperti yang dilakukan oleh konsultan-konsultan keuangan konvensional, kalau hanya untuk bagaimana mencari kekayaan di dunia, itu tadi, tidak akan ada habis-habisnya, tapi bagaimana memanage keuangannya, bagaimana mengatur keuangan keluarga supaya lebih syariah lagi, supaya lebih patuh syariat dan kemudian diberkahi oleh Allah sehingga dapat meningkatkan kita ke surga itu yang luar biasa. Kalau bagaimana menaikkan investasi, bagaimana supaya dapat untung sebanyak-banyaknya, itu sudah basi. Bagaimana cara menggiring rakyat Indonesia, keluarga-keluarga Indonesia, keluar dari jeratan hutang, keluar dari kehidupan consumerism, bagaimana supaya mereka hidup bisa berperilaku syariat, bagaimana mereka bisa bervisioner, masyarakat muslim yang visioner, insyaAllah surga menjadi tujuan, itu yang harus kita berikan kepada masyarakat.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...