Monday 7 May 2018

In-depth Interview: Yulizar D. Sanrego

KEY INFORMANT 3

Nama : Yulizar D. Sanrego
Gelar (akademis & sertifikasi) : Dr.
Profesi : Dosen

Mengenai faktor yang menyebabkan konsumerisme.
Saya pikir, lifestyle, dari lingkungan, yang menjadi determinant factor, faktor yang paling utama yang sangat berpengaruh atas konsumerisme.

Mengenai dampak konsumerisme.
Kalau saya sih melihatnya, kalau makro sih sudah pasti positif ya, karena semakin banyak masyarakat melakukan konsumsi, akan bagus untuk makro. Cuma kalau dampak buruknya ya kepada si person itu sendiri karena konsumerisme kan dimaknai sebagai excessive consumption. Artinya ketika demandnya excessive, namanya excessive ya ga positif, ya negatif lah begitu, karena dia melebih apa yang seharusnya dia konsumsi. Cuma kalau dari perspektif makro ya positif donk karena semakin banyak orang berkonsumsi semakin naik GDP Indonesia. Asumsi konsumsi ini dilakukan semua kalangan, dimana letak ketimpangannya. Harus ada pembatasan kerangka populasi, bahwa yang dimaksud dengan consumption adalah apa.

Mengenai solusi konsumerisme.
Solusinya harus betul-betul memahami prioritas seseorang dalam melakukan planning. Harus jelas juga kerangka populasi dengan asumsi sudah punya keluarga berapa, harusnya membuat skala prioritas dengan personal financial planning, rujukannya adalah untuk kepentingan keluarga.

Komentar mengenai usaha edukasi finansial dari OJK.
Industri ke ini juga dilakukan kok, misalkan ke dosen-dosen kemudian ke guru SMA, dengan harapan dosen itu nanti akan mendestinasikan hasil pelatihan tersebut kepada mahasiswanya. Kemudian guru SMA juga sama dengan harapan nanti akan terjadi transfer of knowledge gitu kepada anak didiknya di SMA. Materinya termasuk personal financing, termasuk saya juga pernah jadi, diundang jadi narasumber bagaimana cara mengelola investasi ya.

Mengenai logika pemahaman mengenai solusi orang yang merasa kekurangan dianjurkan sedekah karena sedekah menambah kekurangan.
Itu sih masalah keyakinan ya, itu masalah keyakinan itu, semakin banyak sedekah semakin banyak rezeki yang didapat. Itu masuk kepada wilayah kajian orang-orang sufi itu, tasawuf, give and take ya. Kalau itu kan memang janji Allah kan, tinggal permasalahannya kita yakin apa ngga. Itu bukan kata saya, itu kata Al-Qur’an menyatakan kalau memang kita melakukan sedekah, gantinya adalah akan diberikan lebih, itu janji Allah itu, bukan kata saya itu mah, bukan kata Yusuf Mansyur. Cuma cara, apa, cara menyampaikannya itu yang perlu di, apa namanya, dibahasakan dengan cara yang lebih elegan lah, misalnya jangan gini, jangan apa namanya nih, jangan maksa gitu ya, nanti supaya dapet pahala yang banyak kita harus kumpulin anak yatim gitu ya, kan harusnya kan doa itu free, siapapun punya hak yang sama untuk minta kepada Allah tanpa harus ada wasilah berupa uang kan, itu cara yang tidak pas, menurut saya ya. Cuma bahwa niat kita, atau malah keputusan kita untuk memberikan harta kepada siapapun yang berhak, itu memang janji Allah, gitu ya, dengan janji akan ada yang lebih, itu janji Allah, cuma kita yakin apa ngga.

Mengenai buku keuangan personal yang akan diterbitkan oleh Bapak Rego.
Permasalahan utamanya, oke satu, masalahnya, saya melihat, banyak literatur-literatur financial planning atau Islamic financial planning itu tidak melibatkan apa namanya, nilai-nilai Qur’ani, atau termasuk nilai-nilai sunnah Rasul, jadi langsung kepada portofolio gitu, compare to reksadana kemudian tabungan, deposito, kemudian beli saham, which one the biggest return, banyakan seperti itu, kalau di konteks minimum risk dibandingkan suatu produk investasi.
Terus yang kedua, jadi itu ya yang memaksa saya, dalam tanda kutip menerbitkan buku itu. Jadi dalam beberapa literatur langsung bicara tentang how to choose investment portofolio, sementara konsep yang basic, itu apa namanya, perlunya membuat perencanaan, gitu lho, nah itu gimana, termasuk dalam proses merencanakan keuangan itu harus cerdas dalam mengelola keuangan, begitu.
Jadi selain tadi tidak banyak melibatkan peran normatif Qur’aninya, tidak mengaitkan isu kecerdasan dalam mengelola keuangan personal dan keluarga, sebenarnya itu yang diajarkan Rasul, cerdas.

Mengenai Pembatasan Konsumerisme pada Keuangan Personal
Berarti masih membolehkan tindakan konsumerisme, cuma pada level mana itu masih dibolehkan. Soalnya yang namanya consumerism itu by default artinya berlebih-lebihan, artinya ada konsensus dalam dunia akademis, bahwa yang dimaksud dengan consumerism itu adalah excessive consumption. Artinya begini, kalau misalnya bicaranya berlebih dalam rangka planning itu ga masuk ke consumerism karena masih berada dalam kerangka manageable gitu lho, maksudnya masih dalam manageable lah kira-kira begitulah. Artinya ketika itu manageable dalam pengertian ada ukuran yang bisa dipertanggungjawabkan secara hitungan planningnya begitu, maka itu sebenernya ga masuk excessive donk gitu. Misalkan ya antara budget bulan ini dengan budget bulan depan misalkan, ternyata budget bulan ini dibandingkan dengan budget bulan kemaren itu misalkan naik 200% misalkan, apakah itu bisa dikatakan excessive, bisa ya bisa ngga, ketika dia dipahami keluar dari cara pengelolaan, dalam rumusan financial planning maka itu bisa dikatakan excessive, cuma ketika dia masih manageable artinya dia masih bisa diukur resiko dan semua segala bentuk excess yang muncul saya sih tidak memahaminya sebagai, tidak kemudian masuk wilayah excessive, karena masih manageable. Cuma ketika meyakinkan pembaca, consumerism itu by default, by concept, itu excessive, gitu. Yang mungkin perlu dipahami adalah as long as it is manageable eventhough pengeluaran bulan ini besar daripada bulan kemaren maka saya melihatnya itu ga excessive karena masih manageable misalkan tau-tau apa namanya nih anak kuliah misalkan anak yang satu kuliah yang satu masuk penerbangan misalkan, budgetnya kan membengkak, apakah itu dinamakan excessive, kan ngga, karena memang itu sudah diperhitungkan, manageable gitu, tapi by default ketika bicara consumerism ga bisa tu, biaya kuliah sama biaya, bicara biaya anak untuk masuk kuliah sama anak untuk masuk SMA dikatakan consumerism dalam kerangka berlebih-lebihan, ngga juga, itu. Yang namanya consumerism adalah melaksanakan sesuatu yang memang tidak sesuai dengan kebutuhan. Consumerism itu adalah, pokoknya excessive, pasti ada negative effect, cuma kalau bahasanya excessive dalam kerangka memenuhi kebutuhan, saya sih tidak melihat itu dikatakan sebagai consumerism. Jadi lebih, excessive disini perlu diclearkan, excessive dalam konteks apa, kalau misalkan sifatnya yang dibutuhkan dan kelebihan itu dibandingkan dengan pengeluaran sebelumnya memang lebih, menurut saya sih itu ga termasuk dalam konteks ini. Consumerism itu untuk sesuatu yang tidak termasuk prioritas, kalau masuk prioritas itu kan tidak termasuk consumerism.

No comments:

Post a Comment

Kerangka SNLKI OJK 2017

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (Revisit 2017) Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Menuju Masyarakat Indonesia yang Well-literate...